Kisah Cinta yang Nehi-nehi....

kontributor: nashi ben koto

Dia tidak cantik mak…
Dia tidak jelek mak…

Dulu saya mengira lagu dangdut manis yang dinyanyikan oleh Iwan, penyanyi Malaysia yang lahir di Medan itu tidak hanya sebentuk bangunan rasa percaya diri pada kekasih, tapi juga kehernihan inspirasi.

Tentu saja saya sering menyanyikan lagi itu dan mencintainya sepenuh hati.

Tapi kau akan dilanda rasa heran sekaligus bingung begitu film India yang berjudul Mann diputar. Airmata akan berhenti sejenak begitu lagu Tina Tik Tana mengalun. Apa pasal? Mak oi, kedua lagu itu mirip dan persis sama. Tentu liriknya saja yang berbeda.

Ini bukan analisis kelatahan dan kebiasaan mencontek—sebagaimana sinetron dan film kita semakin hari semakin merapat pada Jepang dan Korea. Jadi jangan tanya saya siapa yang lebih dulu mempopulerkan lagu tersebut. Jawab saya…. “nehi… nehilah….” Saya hanya ingin mengatakan, siapkan ember, selembar tisu, dan cemilan keras ketika Mann sampai di tanganmu. Karena adegan deraian bawang Bombay segera akan dimulai.

Begini ceritanya saudara-saudara:
Dev dan Priya bertemu di sebuah kapal pesiar luar negeri dan saling jatuh cinta satu sama lain. Mereka berdua akan menikah, dengan pasangannya masing-masing. Dan sepenuhnya sadar akan hal ini, mereka berpisah di akhir pelayaran, dan berjanji bertemu lagi sesudah setahun. Pertanyaannya, apakah cinta mereka akan hidup terus setelah setahun tidak berjumpa?

Selesai? Nei, nei, nei…

Di antara adegan itu, lagu-lagu sendu yang tak melewatkan goyangan tentu bermunculan. Aamir Khan berjoget di tempat yang berbeda-beda dengan Manisha Koirala dalam judul lagu Mera Mann. Anda tentu juga boleh ikut menari atau tersedu seperti Manisha Koirala yang cemburu. Ho.. ho.. ho.. lagu rancak ketika kapal mereka berhenti di pelabuhan, dekat tempat tinggal nenek si Dev di sebuah pulau. Jadilah lagu Kushiya aur gham yang sendu itu dengan arasemen piano yang rancak bana.

Sampai bagian ini bersiap-siaplah kau tersedu-sedu. Tapi cerita belum berakhir, sayang.

“Valentine nanti aku ingin kita bertemu di sana,” kata si Dev pada Priya menunjuk sebuah gedung pencakar langit di pinggiran pantai dengan bahasa Hindi yang fasih… Waktu itu mereka masih di kapal.

Intinya begini saudara-saudara, mereka janjian bertemu pada malam valentine beberapa waktu mendatang. Jadi, alamat dan nomor telpon menjadi tak penting. Duh… kok bisa gitu ya?

Selanjutnya adalah adegan pengisi waktu. Di mana Dev bekerja membikin mural, dia pelukis lo. Dan Priya bersibuk-sibuk di rumah menunggu tunangannya pulang. Bukan pelem India namanya jika tak ada adegan seperti ini: si Priya harus berkata jujur pada tunangannya yang namanya (katakanlah) Ajai—gak mungkinlah Agung, Jejen, Perca, atau Gusmuh kan?

Dan cerita pun bergulir. Ini baru dua disk kawan, jadi sabarlah. Nikmati aja lagu Tina Tik Tana ini dengan mengikuti lirik Iwan tadi. Dia tidak cantik mak… dia tidak jelek mak... dan bersiap-siaplah meluncur dengan mobil masing-masing menuju tempat yang dijanjikan.

Apa kata saya, kejutan belum berakhir. Sebuah mobil celaka tiba-tiba merusak kemesraan kita. Priya ditabrak begitu saja, kakinya harus diamputasi. Si Dev sebal, melempar bunga dan pergi. Lu sih, disuruh minta nomor HP gak mau.

Adegan selanjutnya adalah kesedihan dan kesedihan. Siapkan ember Anda, ukurlah seberapa besar simpati Anda pada seseorang.

Priya begitu murung dan tertekan. Hidupnya hanya diisi dengan mengajar anak-anak kecil menari, melukis, dan bernyanyi. Dia duduk di kursi roda ditemani Ajai yang setia. Sementara Dev? Dia rajin melukis bro. Dia akan melelang dan setelahnya dia akan pindah ke pulau di mana dulu neneknya pernah tinggal.

Tapi pertemuan itu terjadi juga. Pada sebuah pementasan yang entah apa. Ternyata India begitu kecilnya. Seusai pementasan Dev mendekati Priya yang masih duduk di bangkunya. Dev berkata-kata pedas dan memaki. Priya menanggapinya dengan tenang dan kesabaran tanpa ampun. Ini bagian yang paling banyak menguras tangis. Ember, udah penuh belum?

Setelah puas mencerca, Dev berlalu.

Dan tiba-tiba suatu hari, menjelang kepindahannya ke pulau, Dev muncul di rumah Priya. Perempuan itu tetap duduk di sofa agar Dev tak tahu kalau kakinya telah tak ada akibat perjanjian pertemuan mereka yang celaka itu.

“Seorang cacat telah membeli lukisan saya,” katanya di antara cercaan, makian, dan juga kata-kata sendunya.

Sebelum pergi dia berbalik dan berkata. (sebagai saran, tariklah napas Anda. Ini adegan yang jauh lebih sendu lagi). “Oh ya. Nenek sudah meninggal. Dan dia minta seseorang mau memakai gelang kaki darinya. Seseorang itu adalah kamu!” Begitulah kira-kira kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Priya terpekik. Dan…. “Saya juga penasaran dengan orang cacat yang memberi alamat di rumah ini,” kata Dev. Dan ia masuk ke kamar Priya. Lukisannya ada di sana. Bersegeralah Dev mendekat. Hendak memasang gelang kaki dan ingin tahu ada apa dengan Priya.

“Dev, please, jangan. Gue gak bisa….” begitu kira-kira kalau diterjemahkan ke bahasa anak muda.

“Tapi gue ingin memasangkan kalung ini ke kaki lu, sebagaimana pesan Oma sebelum jatuh di alam baka.”

“Tapi gue gak bisa Dev. Please deh ah....”

Pertengkaran dan paksaaan semacam itu membuat airmatamu akan terus mengucur. Dan….

Dev terpekik begitu tahu, Priya sudah tak punya kaki. Tak perlu kata-kata, Dev. Tak perlu penjelasan, Priya. Kebahagiaan ada di ruang tamui ini.

Adegan selanjutnya? Tentu saja Dev menggendong Priya dari pelaminan setelah sumpah sehidup-semati.

Puas… puas...puas…????!!!!

MANN
Sutradara: Indra Kumar
Produser: Indra Kumar & Ashok Thakeria
Pemain: Amir Khan, Manisha Koirala, Neeraj Vohra, Mushtaque Khan, Sharmila Tagore (bukan Robindranat lo), Anil Kapoor, Rani Mukherjee, Shama Gesawat, Deepti Bhatnagar, dan Dilip Tahil
Musik: Sanjeev Darshan
Tayang: 1999


Film Romantis yang Bikin Ngakak

kontributor: kotho ben punjabi

“Aku mau film Endonesia saja. Yang cinta-cinta gitu,” kata seorang teman sambil menjulurkan uang 2000 perak kepada saya. Uang itu keluar setengah terpaksa dan ancaman yang jelas. 2000 kok mintanya macam-macam.

“Inneke Koesherawati mau?” kataku kesal.

“Ada po?” tanyanya.

“Pelem-pelem yang kayak betina gitu, atau Novel Tanpa Huruf R, Daun di Atas Bantal, Sumanto atau Mai heel(my hearth maksudnya) boleh juga, tuh.” Celoteh teman saya yang satu, sok cerdas. “Agak berat tuh. Tapi keren...”

“Kau dah nonton pelem-pelem yang kau sebut tadi?” tanyaku.

“Belum semua sih, paling juga Novel Tanpa Huruf er sama Daun di Atas Bantal. Keren abis. Saya sampai tidak mengerti jalan ceritanya,” katanya bangga. Oh, jadi pelem bagus itu pelem yang tak dimengerti ya? O, Tuhan, ampuni hamba dari dosa-dosa ini!

“Ha.. Cinta Pertama aja, Bunga Citra Lestari pemainnya.. yang Lagunya Sani..sani gitu. Orangnya, aktingnya, wuihh,.. mantap. Dia itu dulu sebenarnya....” kebiasaan dia kalau sudah ngomong selalu begitu. Entah menyombongkan kebohongannya atau dia memang terlalu pintar ndobisinnya? Sok tahu segalanya.

Jadilah malam itu satu pelem Indonesia, empat pelem luar, dan dua pelem porno teronggok di depan komputer.

Saya mengalah, teman-teman saya berebut nonton Cinta Pertama dan saya pindah kamar, liat Finding Neverland. Sesekali saya terbahak mendengar dialog pelem di seblah kamar yang ada kata-kata, “lu-gue, lu-gue"nya itu.

Pelem saya duluan selesai. Mereka belum. Sepertinya mereka nggak langsung tancep ke Cinta Pertama, tapi muter pelem porno lebih dulu. Aku mengintip. Duh mak, ini pelem apa sinetron? Begitu komentar saya pertama kali. “Gue tidak suka pelajaran sejarah waktu SMA. Lu gak tau kan? Berarti masih banyak yang lu belum tau tentang gue,” begitu kata si cewek yang bernama Alya itu. Dan aku tergelak besar. Tak suka sejarah? Kenapa? Tidak ada penjelasan bung. Sok-sokan aja kali, mengikuti selera penulis skenario yang sok paham situasi politik di tanah air ini.

Kesalku memuncak ketika ada dialog, kira-kira berbunyi begini, “Gue menyukai dia, seperti gue menyukai gerimis,” Alamak... sekatrok-katroknya saya, saya itu penyair juga. Tapi denger itu, mau muntah saya dengan penggalan yang sok dramatis ini. Aku menungging di depan komputer (terbayang kan kalo sy udah nungging?).

Saya dengar teman yang banyak omong tadi mulai sesegukan bawang bombay. “Yah udah kalau lu tak suka. Tapi jangan ganggu kesedihan gue dong.” Ha? Dia ngomong sudah pakai gue segala?

Bayangkan, sepanjang pelem itu diputar, yang kita tangkap adalah suasana muram dan kelam. Sebentar saja kita akan diingatkan pada setting film-film romantis Jepang atau Korea. Kapas berterbangan, daun berguguran, sementara angin tak terlihat keras sama sekali. Lalu hujan. Hujan di bulan Mei, Sapardi. Bukankah Mei adalah bulan di mana kemarau baru saja mengetuk pintu? Tapi di pelem itu, selama ujian akhir berlangsung sampai pengumuman kelulusan, hujan tak lepas-lepas dari adegan.

Pusat cerita adalah buku harian. Ini betul-betul mengutip adegan film Jepang, bergaya sama yang saya lupa judulnya. (Ira Komang Jageg, apa judulnya?) Belum lagi alur maju mundur, di mana buku tersebutlah yang bercerita. Tapi di pelem ini maju mundur alur ini makin mengacaukan imaji kita.

Izinkanlah saya sok cerdas menulisnya begini: cerita ini berpusat pada Alya dan buku hariannya. Waktu SMA dia jatuh cinta pada seorang pemain basket sekolah tapi tak bisa main basket.(Garingkan? Garing Nugroho kali). Selesai SMA si cowok kuliah ke kota lain, gak tau tu kemana. Trus adegan terputus panjang sekali. Tiba-tiba si cewek sudah bertunangan. Entah berapa tahun peristiwanya sejak mereka lulus SMA. Entah cowok dari mana pula yang jadi tunangannya itu. Tak ada penjelasan.

Setelah pertunanganan itu, suatu pagi si cowok datang ke rumahnya. “Alya lagi tidur tuh. Bangunin aja.”

Duh mak... lagi tidur aja dandanannya menor begitu apalagi bangun ya? Tidurnya gak di ranjang lagi. Semalaman dia tidur di luar kali... tapi kok gak masuk angin. Oh, Tuhan bagaimana ini.

Ketika dibangunkan, kepala si cewek miring ke kanan. Si cowok kaget. Adegan berpindah cepat ke rumah sakit. Ceweknya bunuh diri? No. katanya sih pendarahan otak gitu. Dan cerita mulai berputar-putar seperti itu. Mulai dari membaca diari, rasa cemburu, pencarian Sunny yang ternyata sudah menikah. Juga upaya Sunny membangunkan Alya.

Jangan bertanya banyak dan berharap lebih dari sini deh. Adegan yang sengaja dibikin suram, bahkan rumah sakit tampak seperti ruang jagal. Untung sutradaranya bukan Rizal Mantovani (betul gak nih namanya?). Bisa-bisa muncul bayangan putih dari balik kaca. Hiii.....

Keseluruhannya, ini pelem yang saya pikir konyol dan berlebihan. Anak muda Jakarta sekarang masa gak punya hp? Lalu nikmat cinta pertama seperti apa yang dipertahankan? Gak ada dialog dan gambar yang merujuk pada peristiwa istimewa sehingga patut dikenang dsb, dsb. Apa yang ingin disampaikan pada peristiwa ini? Dialognya yang sok romantis? Atau beberapa adegan tampak dibikin-bikin itu?

Bayangkan, si Alya sakit, pendarahan otak yang konon sudah lama dialaminya. Tapi demi tuhan yang maha pemaaf, tak ada adegan yang memperlihatkan dia kepayahan dan sakit. Dia melonjak-lonjak terus, tertawa-tawa, menangis, sedih, murung dan gembira dengan mimik yang nyaris sama. Lalu tiba-tiba entah karena apa penyebabnya, jadilah sepanjang cerita dia terbaring di rumah sakit yang pengap dan suram itu. Sepanjang cerita. Wuihh.. gila.

Atau simak adegan si cowok yang mengajarkan si cewek cara belajar yang efektif. Mulailah dia bercerita tentang sejarah di Eropa Timur... di kantin dan tengah malam pula. Jadilah sepanjang pelem ini diputar saya ngomong dan tertawa terus. Hampir setiap adegan selalu ada yang membuat saya tertawa.

Besoknya saya mengajak pacar saya menontonnya.

“Hus.. jangan cerewet. Jangan menonton dengan verbal, pakai rasa,” kata pacar saya sambil mengusap airmata. Sedih dia. Saya usap airmatanya itu. Hihihi, kok jadinya seperti pelem India.

Dan rasa, katanya, saudara. Rasa? Apakah saya harus melakukannya? Sekarang, sayang?

CINTA PERTAMA
Pemeran: Bunga citra lestari. Ben Joshua, Richard Kevin, Ratna ruchia
Sutradara: Nayato fio naula
Sekenario: Titin watimena
Produksi: Maxiuma fictured 2006

Bulu Dada James Bond

kontributor: arya “sim card” perdana

James Bond kita kali ini berbeda dengan James Bond yang dulu-dulu. Kalo dulu, Sean Connery atau Pierce Brosnan tampil kalem dan flamboyan, kini yang tampil Daniel Craig, pria Inggris yang-kata perempuan yang nonton sama saya: “Lambe-nya itu loh…. Jadi inget lolipop!”

Coba ingat-ingat lagi saat Connery atau Brosnan mengucap kalimat perkenalan khasnya, "My name's Bond. James Bond." Dengan setelan hitam yang rapi klimis licin, Bond ala Connery dan Brosnan memang elegan, charming, dan semerbak melati mewangi.

Tapi Bond cap Daniel Craig jauh beda. Ia kasar, ganas dan dingin. Berantakan, emoh mikir ruwet-ruwet. Dan satu yang penting, Bond generasi terbaru ini senang betul mengumbar bulu dada ke penonton. Para penonton bisa bingung: Ini James Bond atau Rhoma Irama yang di pelem-pelemnya dulu juga doyan banget pamer bulu dada sambil nyanyi dan nari-nari!

Gara-gara sering lihat Bond pamer bulu dada inilah saya menemukan kesimpulan. Gini: bulu dada Bond yang diperankan Daniel Craig ini ternyata halus dan lurus sama kaya rambutnya, sementara bulu dada Rhoma Irama keriting ngglundung, sama juga kaya rambutnya yang ngglundung kriting. Kesimpulannya: kriting atau tidaknya bulu dada ditentukan oleh kriting atau tidaknya bulu rambut (mari kita bertanya pada Rudi Hadisuwarno yang bergoyang).

Perhatikan gayanya waktu pesan minuman martini. "Stir, not shake," bilang Bond versi Brosnan. Tapi Bond versi Craig dengan sengaknya ngomong , "stir or shake, I don't give a damn!". Hahaha. Benar-benar nggak nurut pakem si Bond satu ini.

Sebenarnya, inilah prekuel dari film-film Bond sebelumnya. Di sinilah dipaparkan kenapa agen Bond ini kok bisa jadi agen andalan MI-6, agen rahasia Inggris yang tentu saja bukan intel Melayu.

(PERINGATAN: INI BAGIAN SPOILER/BOCORAN FILM)

Ceritanya, Bond dikirim ke Madagaskar (ini saudara jauh Makasar). Ia diminta memburu seorang teroris pembuat bom bernama Mollaka (bedakan dengan Tan Malaka!), di kota Nambutu. Di sinilah terjadi adegan seru. Kejar-kejaran Bond vs Mollaka di crane yang tingginya naudzubillahi mindalik. Bond si agen MI-6 benar-benar nekat. Jantung saya berdebar lebih kencang saat kamera mengikuti aksi Bond bertarung di crane yang tingginya lebih dari 300 meter di atas tanah.

Mollaka ini menghubungkan Bond dengan Alex Dimitrios, pembantu dekat buruan utama Bond, pria dengan satu bola mata yang terbikin dari kaca, Le Chiffre. Dia pake sepatu biasa, sebab kalau sepatunya juga ikut-ikutan terbuat dari kaca, namanya pasti Cinderella.

Singkat cerita, Bond bikin gagal rencana Le Chiffre buat meledakkan sebuah pesawat saat sedang diluncurkan di kota Miami. Bond juga bisa membunuh Dimitrios (setelah sebelumnya hampir meniduri istri Dimitrios, Solange, yang tubuhnya bakal bikin lelaki normal maupun abnormal ngeces-ngeces kaya burung walet).

Bond pun terlibat taruhan gede-gedean lawan Le Chiffre di Casino Royale, Montenegro (negara yang dulu pernah begitu rasis tapi memakai kata Negro). Bond pake duit Pemerintah Inggris. Makanya, setiap pengeluaran Bond diawasi benar sama bendahara Vesper Lynd (Ini masih sepupuan sama pemilik pabrik motor Vespa), si gadis Bond yang agak keluar kebiasaan karena digambarkan sebagai wanita pintar (berarti yang sebelumnya nggak pinter donk? Kan gak penting, yang penting semok. Hihihi…).

Kembali ke laptop….

Ngaku-ngaku pinter main poker, Bond justru kalahan pada awalnya. Duitnya habis. Tekor. Minta duit lagi sama Vesper, eh nggak dikasih. Akhirnya, Bond dipinjami duit sama CIA. Entah gimana ceritanya, Bond pun menang poker (soalnya saya nggak ngerti cara main poker, ngertinnya main gaplek di pos ronda). Tapi Le Chiffre sukses menyandera Vesper dan memancing Bond buat main kejar-kejaran pake mobil sport di jalanan mulus berkelok di Montenegro.

Kayaknya, Bond ini nggak semahir supir metromini kalo soal kejar-kejaran pake mobil. Bond celaka dan ditangkap Le Chiffre. Bond ditelanjangi, disiksa, dan dipecuti. Ada humor segar saat Bond disiksa begini. Ia malah minta Le Chiffre buat memecut "biji"nya. Argggghhhhhhh....serem! Membayangkan sakitnya membikin perut saya mules tiba-tiba.

Toh, pertolongan buat Bond tiba juga. Sosok misterius bernama Mr White muncul dan membunuh Le Chiffre. Bond pun berlibur sama Vesper-yang akhirnya jadi pacarnya-di Italia.

Di ujung cerita, peran Vesper dan Mr White pun kemudian terungkap. Siapa sebenarnya mereka akhirnya diketahui Bond. Film ditutup dengan adegan berisi tagline populer yang sudah saya sebut di atas: "My name's Bond. James Bond".

SPOILER/BOCORAN FILM BERAKHIR DI SINI

Gampang buat menggambarkan kesenangan nonton film Bond di bioskop. Adegan seru, desing peluru saat adu pistol, kejar-mengejar dengan mobil sport mahal, perempuan-perempuan bahenol yang bakalan nangkring di otak untuk setidaknya 1 pekan ke depan, dan gambaran akhir bahwa kebaikan akan menang melawan kejahatan.

Itulah sebabnya nonton James Bond itu terasa komplit. Adegan kebut-kebutan dan tembak-tembakkan akan menyeret pada memori daun pisang (hehehehe), persisnya memori masa kecil yang senang tembak-tembakan. Sementara adegan belai-belaian cewek seksi mengingatkan kita pada adegan beberapa hari silam di kamar kost atau di Paragkusumo. (baca dengan ekpresi mengedipkan mata: “Twink… twink….” Sambil lirik Ismanto tentu saja!)

Judul: Casino Royale (2006)
Sutradara: Martin Campbell
Aktor: Daniel Craig, Eva Green, Mads Mikkelsen, Jesper Christensen, Caterina Murino
Produser: Michael G Wilson

Takutnya Beda Banget dengan Rahasia Ilahi

kontributor: isman tho le'

Nonton ini felem Apocalypse Now memang bikin takut. Gak percaya? Tonton aja sendiri. Di situ nanti kita bisa lihat gimana orang pinter-pinter kok jadi sakit jiwa gara-gara perang. Saya jadi takut pinter gara-gara nonton felem ini. Bayangkan, Marlon Brando, pemeran Kolonel yang mesti dibunuh tokoh utama itu, tahu dan hapal puisinya TS Eliot: “The Hollow Man”: ... We are the hollow man. Terus ada lagi lagunya The Doors, The End: This is the end, my only friend, the end, of all our elaborate plan, the end.

Saya jadi mikir, kalau begitu, buat apa saya baca banyak-banyak buku, lihat lukisan, banyak nulis, nonton felem-felem bermutu maupun yang gak bermutu, mencintai musuh-musuh saya, kalau akhir-akhirnya saya nanti jadi orang superpinter kayak sang kolonel itu, tetapi sakit jiwa?

Pokoke felem ini bikin takut, tapi takut yang asyik dan cerdas (hehehe, ada juga jenis takut!!). Jenis yang ini ni bukan takut kayak kalau nonton felem horor jaman sekarang yang sama sekali gak hororable, tapi malah hornible (abis ceweknya cakep-cakep). Mo dibandingkan apa lagi: Suster Ngesot atau Rahasia Ilahi. Aduh, kok jeglek sekali bandingannya.

Ceritanya, ada seorang tentara, pangkatnya kapten AD Amerika, ditugasi mencari seorang kolonel jenius yang menjelma jadi pembunuh berdarah dingin. Ketemu, dan si tokoh utama berhasil membunuh kolonel itu. Mission accomplished, tapi jiwa sang kapten not accomplished.

Gimana gak? Dia sempat ngobrol sama si kolonel, dan dia jadi tahu alasan kenapa si kolonel berubah jadi pembunuh. Alasan yang bisa dibilang masuk akal bisa juga dibilang gak masuk akal, tapi tetap nyambung (pokoke nyambung, gak tahu gimana. Pokoknya nyambung dan saya juga dikit bingung).

Sekali lagi, the last (sumpah deh), felem ini memang bakal bikin penontonnya takut, takut kepada diri sendiri, karena kita jadi sadar bahwa kita yang selama ini mengagungkan diri sebagai makhluk mulia, pilihan Tuhan, gak taunya juga punya sisi-sisi gelap yang tidak diakui oleh peradaban kita.

Padahal, apa susahnya sih mengakui sisi-sisi gelap itu? Bukankah kita terus bisa tahu apa yang kurang pada diri kita, terus kita bisa memperbaikinya (ceile... sok pilsup).

He he he, sori, yang ini bener-bener terakhir. Nonton ini felem memang bikin takut. Gak percaya? Tonton aja sendiri. Menyebalkan ya ulasan saya. Kalau iya, maapin deh.

Judul: Apocalypse Now
Sutradara: Francis Ford Coppola
Pemain: Martin Sheen, Marlon Brando, Robert Duvall, Harrison Ford, dll
Produksi: Zoetrope Studio, 1979

Mon... Jadi Intel Kok Kamu Tetap Ganteng, Toh?

kontributor: maulida(n)abi

Matt Damon. Wajah gantengnya hilang di balik karakter dingin Edward Wilson, dedengkot agen kontraintelijen pada Central Intelligence Agency (CIA). Walaupun kegantengannya seperti hilang, paling gak masih ganteng dari rata-rata intel Melayu. Intel CIA gitu loch...

Simaklah perkataan Brocco, asistennya saat akan mulai bekerja. Saat itu Brocco tidak diberi tahu siapa nama bos yang akan ditemuinya. Wilson bertanya bagaimana Brocco tahu bahwa ia tidak salah orang. Jawabnya, “They said you were a serious SOB that didn't have any sense of humor. There can't be two of you.”

SOB ini artinya Son of Bitch. Kalau dia intel Melayu, pasti kodenya bukan SOB tapi AJ (Anak Jablay). Kalo kebetulan dia intel kelahiran m’Bantul, kodenya pasti jadi AK (Anak’e Keple).

Sikap dingin Wilson tampaknya seiringan dengan dinginnya hubungan Amerika-Soviet. Saking datar dan lambatnya, saya menghentak-hentakkan kaki saya di bioskop gara-gara bosan. Tapi masih gak separah cewek-cewek di film India yang nggoseh-nggoseh di tanah sambil menghamburkan gerimis air mata.

Film ini sungguh datar. Bayangkan, selama 2 jam saya menonton film dengan dialog yang membutuhkan konsentrasi. Alurnya pun maju-mundur-maju-mundur tapi gak kena-kena (emang film warkop DKI: Maju Kena Mundur Kena)

Kepusingan saya bertambah karena jaringan 21 memotong beberapa adegan, mungkin karena aslinya kepanjangan, 160 menit. Bagaimana saya tahu? Tentu saja setelah menontonnya ulang dari DVD bajakan. Oya, suasana di bioskop saat itu masih ditambah ulah Seni Apriliya, teman saya yang tidak berhenti mengoceh, “aku mah ga ngerti, aku mah pusing.”

Belum lagi ocehan senada dari lelaki yang duduk di sebelah yang bergumam nyaris sama, “Aku pah ga ngerti, aku pah pusing.”

Jadilah sebelah kanan kiriku seperti dialog sinetron Indonesia: Pah... Mah... Pah... Mah.... Papah... Mamah.....

Tapi bosan dan bingung itu ternyata diselipi kekaguman atas akting Damon. Tidak bisa tidak. Ia berhasil menghidupkan tokoh Edward Wilson, tokoh rekaan di tengah fragmen kelahiran agensi intelijen mata-mata terbesar. Selain kesempurnaannya dalam dunia spionase, Damon juga berhasil memunculkan konflik pribadinya dengan istri dan anaknya yang traumatik.

Film ini juga menggambarkan betapa tak enaknya sebuah keluarga yang dikepalai oleh lelaki yang juga seorang intel. Gimana gak sebel, “Polisi Tidur” aja udah menyebalkan, apalagi ini intel yang gak pernah tidur. Fuihh!

Semua ini bermula dengan bergabungnya Wilson dalam Skull and Bones, perkumpulan rahasia di Universitas Yale. Namanya “ditemukan” Federal Bureau Intelligence (FBI) untuk kemudian diminta memata-matai guru sekaligus dekan sastra, Fredericks, yang ditengarai dekat dengan Jerman pada Perang Dunia II.

Setelah tugas pertama, ia kemudian direkrut pada perang dunia dan berlanjut di perang dingin. Dari mata Wilson, kita bisa melihat Amerika dan Uni Soviet saling meracik formula yang paling baik untuk dihidangkan. Tidak berhadapan, tidak pula di negaranya masing-masing. “Pertempuran” itu terjadi di Jerman, di Kuba, atau negara lain.

Edward Wilson tentu agen tangguh, tidak mudah tergiur atau terancam, dan setia pada agensi (serta negara). Juga gak tergiur sama perempuan macam James Bond. Ini bedanya dengan intel melayu yang “digoda” para penari yang cuma pakai cawat doang aja udah gelap mata, padahal para penari itu anggota RMS. Iya toh? Hooh toh?

Sesuai dengan biasanya, Hollywood memunculkan tokoh yang patriot. Dan fasis juga kalau di mata saya. Sikap fasis khas Amerika itu dapat terlihat dari dialognya dengan Jimmy Palmi, imigran Italia sekaligus kriminal yang segera dideportasi.

Palmi: Let me ask you something. We Italians we got our families and we got the church. The Irish they have their homeland. The Jews, their trdition. Even the Niggers they got their music. What about you people, Mr. Carlson? What do you have?

Wilson: (Diam sejenak) The United States of America. The rest of you are just visiting.

Kisah patriotik Wilson berbeda dengan agen lain yang penuh pengkhianatan. Dengan mudah seorang agen bisa berubah pikiran dan menyeberang. Hari ini kawan, besok jadi pacar, lusa jadi istri dan entah apa lagi. Orang-orang datang dan pergi... oh begitu saja (Loh kok jadi nyanyi Letto?)

“Jangan percaya siapapun” adalah ayat ampuh pada bibel seorang intel. Mereka memegang teguh itu. Dan Wilson terus maju dengan pilihan yang diambilnya. Ia berusaha menjadi ayah sekaligus agen yang baik. Tentu, tentu saja ia tak mampu mendapat semuanya. Ia membayar dengan pengorbanan besar. Keluarganya sendiri. Mengharukan. Mirip film India ya? Hiks... hiks....

Menonton The Good Shepherd, kita bisa tahu bahwa kesempurnaan berarti kesendirian. Seorang agen Inggris yang kemudian di pihak Soviet, Arch Cummings, mengutip sebuah puisi Irlandia. A friend for today is tomorrow's heartbreak. Sebuah larik yang mewakili lakunya.

Di atas semua itu, Matt Damon tetap tampil dengan ganteng. Aku berdesir-desri tiap kali matanya menatap lurus ke dapan dengan tajam.

Oh, Mon... wajahmu itu loh....


Judul Film The Good Shepherd
Sutradara Robert de Niro
Aktor Matt Damon, Angelina Jolie, Alec Baldwin, Robert de Niro, Tammy Blanchard, Michael Gambon
Produser Jane Rosenthal

Maaf, Saya Hampir Me*ek

kontributor: agung be ha

Jujur!!! Ini film serius. Sangat-sangat serius. Hingga karena terlalu serius, Nagabonar (Deddy Mizwar) menarik-narik tangan patung Jendral Sudirman yang menghormat. Patung Jendral dengan ikat kepala dan mantel yang berdiri tegap menghormat entah kepada siapa.

“Siapa yang kamu hormati Jendral?” lanjut Nagabonar, “apa mobil-mobil itu?”

Saya sempat tertegun melihat adegan itu. La tiba-tiba kok saya kasihan pada Jendral Sudirman. Kok tiba-tiba saya ingat pepesan guru PMP, “Apa sumbangsihmu bagi negara?” Dan anehnya ada yang mengganjal di tenggorokan. Ada yang menggumpal dalam dada. Nafas saya tersengal. Di kelopak mata, seperti ada yang ingin keluar. Sesuatu itu saya tahan.

Saya malu mengeluarkannya. Sebab saya saat itu di 21. Apa kata dunia, jika saya sampai mengeluarkan sesuatu yang seperti buliran itu keluar. Apa kata cewek berparfum menggoda melihat lelaki di samping kanannya me....

Bioskop yang gelap menyelematkan saya dari malu. Dari ingus bening yang keluar dari hidung. Dari mew.... ah saya berhasil menahannya.

Mungkinkah saat nasionalisme saya tergugah? Waduh!!! Ini terlalu serius. Ngomongin nasionalisme di jaman Tukul Arwana tenar. Ngomongin nasionalisme di jaman tentara di sepelemparan ketapel dari Monumen Nasional lebih suka bergoyang dangdut daripada perang.

Tapi mungkin ini yang hendak disampaikan Babe Kalah Perang (Deddy mis-war) kepada penonton. Di tengah semarak film horor yang bikin terbahak. Bahwa, mungkin menurut Babe, Indonesia ini bukan saja hanya milik para pejuang, para tentara, dan para pahlawan. Tapi, barangkali, juga milik orang-orang yang dipilih Yang Maha Rahim lahir di tanah air ini: Indonesia. Dan generasi 3G ini sudah luntur nasionalismenya.

Ini juga bukan jamannya orang diteror dengan film horor. Tapi jaman Indonesia yang serius tapi juga bisa tertawa.

Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya pembaca, maaf jika dua paragraf di atas, saya terlalu serius. Tapi itu yang saya tangkap dan rasakan dari film ini. Film tentang kesenjangan nilai antar dua generasi. Tentang generasi Bonaga (Tora Sudiro) dengan jaman ketika Nagabonar yang mantan copet bisa jadi Jendral di jaman Revolusi Fisik.

Saya tak hendak berargumen masalah kesenjangan nilai antar generasi ini. Sebab kuping saya, yang sebulan sekali dikorek, (kadang juga lupa) ini masih bisa mendengar gadis disamping kiri saya di 21 ngomong sama yayangnya, “Yang apa dulu Nagabonar jadi Jendral?”

“Waduh!!! Mbaknya nonton Naganobar Jadi 2 pasti gara-gara pengaruh iklan,” batinku. Sejenak saya ingat pada kategori para penonton film di Janji Joni. Jika dikategorikan, Mbaknya ini pasti masuk golongan penonton berisik. Dan saya pun akan dicomot dan dimasukkan dalam kategori kritikus amatir. Weladalah!!! Saya kok main kategori-kategorian to ini.

Tapi tak apalah, sang dalang (sutradara) Pak Deddy Mizwar memang membuat saya jadi seperti itu. Membuat saya harus menilai, menimbang dan memutuskan. Bahwa dalam perkara dakwah, Pak Deddy seperti Sunan Kalijaga. Dia ceramah lewat seni dan budaya pertunjukan. Jika Sunan Kalijaga dulu dakwah dengan wayang kulit, maka Pak Deddy ini dakwahnya lewat wayang modern, film namanya.

Dan Wulan Guritno yang tampil anggun itu cuma pemain. Yang dia harus berperan m,enjadi wanita sempurna. Berparas ayu, cerdas, mulus (lemu tur alus, gemuk dan halus), punya mobil sedan mewah, tinggal di rumah mewah juga.

“Apa kata dunia?”

“Wahai lelaki!!! Diwajibkan atas kamu untuk ngiler pada wanita macam itu,” kata saya.

Tuan-tuan dan Nyonya-Nyonya!!! Maafkan saya, kritikus amatir ini, lancang mengkritik Pak Deddy. “Nagabonar jadi 2” memang bagus. Tapi gaya sinetron tetap saja ada. Seperti juga Mbak Wulan yang memerankan wanita sempurna itu. Juga tentang Mas Tora yang jadi executive muda. Dan Tukang bajaj harus ditampilkan dengan wajah memelas. Waduh!!! La kok kayak sinetron bikinan Om-om Punjabi. Nehik lah ya.

Jika boleh saya menilai, adegan terbaik dalam film ini adalah ketika Nagabonar berhasil mencopet jam tangan pengusaha Jepang.

Apa kata Nagabonar?

“Tak tahu lah Kau Bonaga, Jepang itu dulu merampas negeri kita lebih dari jam tangan ini.”

Itu baru satu contoh. Satu contoh adegan terbaik lainnya ketika film ini usai. Nagabonar yang tua, memerintahkan kepada Tora dan kawan-kawannya untuk segera membayar permadani Mushala. Semua pemuda itu tampak tergeragap. Lari tergesa-gesa.

Penonton di 21 itu pun terbahak. Entah apa yang mereka tertawakan. Sebab tawa itu segera reda. Lampu mulai di 21 itu pun dinyalakan. Penonton pun bubar.

Sekali peristiwa, ketika film itu usai, sehabis nonton film ini dua lelaki kebingungan cari pintu keluar di Ambarukmo Plaza. Mereka nyasar sampai di lower ground.

Mewekkah mereka?

Dua lelaki itu akhirnya meringis, setelah mereka melihat Jalan Solo, Yogyakarta. Jujur!!! Cerita ini tak mengada-ada.

Sutradara: Deddy Mizwar
Pemain: Deddy Mizwar, Tora Sudiro, Wulan Guritno, Lukman Sardi, Uli Herdiansyah
Penulis: Musfar Yasin
Produksi: PT Gisela Citra Sinema (2007)

Dari Bolly ke Holly Lalu Singgah di Pasar Senen

kontributor: titik khan kartinehi

Suatu siang yang mengantuk. Saya datang ke lantai empat, redaksi majalah life style.

“VCD apaan tuh ?” tanya seorang teman yang bergaya alumni Wanadri padahal bukan sama sekali. Sepatu tracking, celana lapang tambalan sekana abis dibarut tebing Himalaya plus pisau lipat Victorinox yang selalu menggantung di celana.

“Ashoka,” jawabku.

“Yang main siapa?”

“Shah Rukh Khan.”

“Hua..ha..ha..ha...nehi..nehi...nehi...” gelak temanku itu diikuti gerakan mengangkat satu tangan sembari menekuk lutut. Yang lainpun jadi ribut. Barangkali nama Shah Rukh Khan seperti aib jika disebut di lantai yang selalu meresensi film Hollywood itu.

Dia mengambil VCD dari tanganku lalu menyetelnya dengan ekspresi ingin mencari hinaan yang lebih ampuh.

Sebuah pedang melayang menembus sarang burung, menancap di tanah dengan bercak darah dan bulu yang melayang pelan. Orkestra bernada minor mengalun. “Pedang yang lepas dari sarungnya selalu akan mencari mangsa...” Seorang anak dengan tatapan shocked melihat bulu burung yang melayang pelan.

Teman saya duduk di kursi dengan tangan bersedekap

Setting kerajaan Magadha 273 SM – 232 SM. Perebutan tahta. Seorang perempuan tua yang nampak bijak bertapa membisu. Ashoka (Shah Rukh Khan) harus pergi meninggalkan kerajaan karena sang ibu selir itu tidak ingin ada pertumpahan darah. Pertarungan antara Pangeran Sushima yang ambisius dan Pangeran Ashoka harus dibatalkan. Di India, seorang ibu begitu berwibawa. Ashoka-pun menurut. Menanggalkan atribut kerajaan, berpakaian rakyat jelata dengan kadi dan celana kombornya, berkuda putih, sang pangeran meninggalkan gerbang kerajaan.

Muncul screen Kalinga Border. Banyak anak-anak berkepala botak sedang tersenyum riang. Shah Rukh Khan memotong rambutnya yang semula gondrong. Menjadi pendek rapi dan murah senyum. Sembari membagikan buah-buahan kepada para bikhu cilik itu.

“Kau orang baru di sini. Tetapi sinarmu takkan tertutupi oleh awan,” kata seorang bikhu tua.

“Hemmm..apakah saya seorang pangeran dengan pedang panjang. Atau seorang maharaja?!” canda Shah Rukh sembari menirukan lagak pendekar.

“Nasibmu lebih baik dari maharaja.”

“Wow... siapakah yang lebih baik dari seorang maharaja?”

“Seorang musafir yang telah mengakhiri perjalanannya,” kata bikhu itu sembari menjauh. Suara lonceng berdentang. Senja pun berubah menjadi malam.

Ketika layar memancarkan cahaya. Muncul hamparan pegunungan nan hijau. Kareena Kapoor menari dengan baju seksi.

‘San sanana Na Na...Ja Ja Re Ja Re ... Ja Ja Re Ja...Ja Re Pawan...’

Teman saya nyengir. Beranjak menyedu teh. Dengan asap panas mengepul di gelas, teman saya itu kembali duduk tersenyum lebar. Kurasa, dia telah menemukan fragmen hinaan yang lumayan.

Ashoka mengajari Putri Kaurwaki (Kareena Kapoor) yang saat itu sedang dalam pelarian, untuk memainkan pedang.

“Pandanglah musuh di satu titik. Pedang harus menyatu dengan jiwa. Gerakannya senafas dengan nafas kita...” Jurus-jurus pedang layaknya The Last Samurai.

Teman saya duduk memegang dagu. Satu teman yang lain ikut duduk.

Adegan perpisahan yang membuat terharu bombay bombay.

“Saya harus pergi. Ibu saya sakit,” kata Ashoka yang menyamar menjadi warga biasa dengan nama Pawan. “Percayalah, aku akan kembali menjemputmu. Dengan ribuan kuda dan ratusan gajah. Kau adalah ksatria putriku.” Lagu sendu mengalun. Mereka pun tak lagi pernah bertemu. Ashoka menemukan tempat persembunyian Kaurwraki telah menjadi abu. Ashoka mengira, Kaurawki mati dengan tragis. Ashoka kembali ke watak semula. Menjadi beringas dan tak terkendali. Pembunuh yang keji. Penakluk yang ambisius.

Teman saya melupakan tehnya. Wajahnya kaku menatap layar monitor. Teman yang lain melongo dengan wajah paling bloon yang pernah ditunjukkan.

Puluhan ribu tentara. Ribuan kuda. Ratusan gajah. Berkumpul dalam satu pertempuran. Antara Magadha dan Kalingga. Panglima perang yang gagah berani. Shakh Rukh Khan dengan rambutnya yang tiba-tiba gondrong, berhadapan dengan prajurit Kalinga. Tanpa sepengetahuan si Shakh Rukh..bahwa pemimpin pasukan Kalingga adalah Kaurwaki.

Di antara bangkai yang berserakan. Kereta yang patah rodanya. Senjata yang kehilangan tuannya. Ashoka berdiri dalam sunyi.
“Aku telah memenangkan pertempuran. Tetapi sebenarnya aku telah kalah...” Tokoh kita menunduk. Di antara setting bekas pertempuran yang mengerikan layaknya Brave Heart. Hingga tiba-tiba Kaurwaki muncul. Dengan amarah yang meluap. Kekecewaan yang tiada tara. Lalu roboh di tanah. Mereka berpelukan. (penonton tersenyum.. hiks seandainya itu gue gitchu loh..). Kemudian muncul anak kecil. Pangeran Arya, calon pemegang tahta Kalinga.

“Pawan, apakah pangeran itu jadi kembali? Dengan ribuan kuda dan ratusan gajah. Apakah pangeran dan putri itu akhirnya menikah ? apakah mereka hidup bahagia ?”

Wajah garang Shakh Rukh Khan lenyap diganti uraian airmata.

“Ya..mereka hidup bahagia.” Brug. Bocah laki-laki itu roboh tengkurap. Di punggungnya puluhan anak panah menancap. (Mati lo !) Film selesai.

Ashoka. Film yang diproduksi dan disutradarai Shakh Rukh Khan. Settingnya keren. Humornya canggih. Yang melibatkan ribuan orang, 6.000 kuda, dan 400 gajah. Menjadikan Ashoka sebagai film kolosal terbesar abad ini....

“Gila...ini sekelas Hollywood...gila....!” teriaknya sembari menatap layar yang menampilkan nama-nama kru film dalam huruf berjalan, seakan berharap tiba-tiba film itu muncul sekuelnya. Atau bersambung seperti sinetron ‘Tersanjung’ yang sambung menyambung itu. Lama ia tercenung sembari geleng-geleng kepala.

“Dimana lu beli ?”

“Pasar Senen... nape ?”

Temanku melongo. Nah lo!

“Lo kok abis. Sambungannya mane.”

“Sambungannye ya, kopaja itu lu tahan trus pulang deh peluk2 bantal. Hehehehe.”

Judul: Ashoka
Produksi: Bollywood, 2001
Sutradara: Santosh Sivan
Produser: Shah Rukh Khan
Pemain: Shah Rukh Khan, Kareena Kapoor




Ismail dan Pelacur Kencur

kontributor: gus muh ismailiyah

Samaritan Girl
Sutradara: Kim Ki Duk
Pemain: Seo Min-jung, Gwak Ji-min, Lee Eol, Gweon Hyeon-min, Oh Yong
Produksi: 2004 (juga diputar di bioskop para kutu www.kutubuku-ngomongin film.blogspot.com)

Saya sedang menonton film pemenang Berlin International Film Festival 2004 untuk Sutradara Terbaik ini, saat membaca potongan-potongan perdebatan antara Hudan Hidayat dan Taufik Ismail perihal Gerakan Syhawat Merdeka dan Fiksi Alat Kelamin di Harian Jawa Pos.

#1
Dua anak SMU di Korea Selatan. Kulit pualam dan daging-daging tubuh masih liat pejal. Keduanya mengejar impian ke suatu tempat yang jauh. Dan diam-diam keduanya menyiapkan sejumlah uang dengan cara yang nista sekaligus manis.

Dan, “Astaghfirullah,” suara parau Taufik Ismail tertahan di kerongkongan membaca esai Hudan Hidayat “Sastra yang Hendak Menjauhi Tuhannya” (6/5/2007). Lalu ia tak ambil peduli. Taufik mengambil pisau dapur dan mengiris bawang merah. Ia mulai melantur tentang praktik bejat sastrawan yang disebutnya Fiksi Alat Kelamin.

#2
Keduanya, cewek ingusan ini, sebagaimana galibnya dua pelacur profesional, membagi tugas. Jae-Young yang tampil feminin bertugas tidur dengan lelaki, sementara rekan dan sahabat karibnya, Yeo-Jin ambil tugas sebagai germo, manejer, dan sekaligus kasir dari semua keringat yang diperas Jae-Young. Satu lagi tugas Yeo-Jin: mencatat dalam diari mereka berdua kapan dan dengan lelaki yang mana Jae-Young melacur hari ini. Mereka pun mengincar motel. Jae-Young di kamar lantai tiga. Yeo-Jin di selasar untuk mengintai aparat keamanan yang selalu datang merazia transaksi seks yang dilakukan makhluk-makhluk di bawah umur.

Seperti polisi moral dunia akhirat, Taufik Ismail meneteskan airmata. Orang ini memang terkenal dengan mewekannya. Seakan-akan, sosoknyalah nabi baru yang menyelamatkan Indonesia ini dari kebrutalan Fiksi Alat Kelamin. Di usianya yang sudah magriban ia tampak gagah, tapi sekaligus cengeng. Ia sangat tahu bahwa tangisnya adalah modalnya untuk menaklukan hati siapa saja untuk bergerak melarang. Kalau sastrawan-satrawan Lekra dulu melarang semua yang tercela dari garis revolusi dengan suara lantang-lantang serak, kini Taufik Ismail melakukannya dengan menghamburkan airmata dan dengan suara serak-trenyuh menghiba-hiba belas kasih. Seorang diri maju tak gentar mengganyang sastra yang tak diridoinya. Ck. Ck. Ck.


#3
Beberapa kali memang Jae-Young dan Yeo-Jin bebas dari razia di motel itu. Namun rupanya dua petugas keamanan sudah mencium praktik itu. Praktik banal itu digerebek. Tapi Jae-Young cepat turun tangga belakang motel dan berlari bersama Yeo-Jin melintasi pasar yang ramai. Jae-Young hanya memakai beha berlari-lari di pasar kelontong itu.

Dulu, sebelum Taufik menjadi—dalam istilah Hudan Hidayat—nabi tanpa wahyu, adalah pengecam keras praktik-praktik kejam yang dilakukan sastrawan-sastrawan Lekra dan tanpa penjelasan yang njlimet melekatkan kepada Lekra stigma seratus prosen Partai Komunis Indonesia. Di mata Taufik, nyaris tak ada yang baik yang dilakukan sastrawan Lekra. Bacalah buku yang disusunnya, Prahara Budaya, niscaya Anda akan berkesimpulan: Lekra tak lain adalah segerombol algojo haus darah. Padahal, apa yang ia kampanyekan hari ini sudah dilakukan Lekra 52 tahun lalu. Bacalah Harian Rakyat di bundel Fabruari 1955 bagaimana Lekra Jogja mengumumkan jihad akbar terhadap pakaian-pakaian bikini di hadapan umum.

Baca pula artikel Iecha Akulara di lembar “Lentera” Bintang Timoer edisi Jum’at 2 Nopember 1962 yang diasuh Pramoedya Ananta Toer. Di sana Rendra dikecam habis-habisan karena menulis sajak-sajak kelamin. Setelah mengulas 6 sajak Rendra, artikel “Puisi Erotik: Bingkisan Ulangtahun Rendra” itu diakhiri dengan kesimpulan: “Tapi kita masih bisa merasa beruntung, karena erotika tak tumbuh subur dalam sastra Indonesia. Erotika jang berlebih2an hanja merugikan moralite bangsa kita, jang sedang sibuk dalam taraf pembangunan semesta berentjana. Dan sebaiknja dalam hal ini kita mengikuti pendirian dr. K. Heeroma, jang mengatakan bahwa puisi erotis adalah puisi hina. Sastra jang sematjam inilah jang mesti segera dibabat!”

Rupanya Taufik Ismail tak mau mengutip guntingan artikel itu supaya suatu saat akan dipraktikannya secara leluasa tanpa ada yang tahu. Generasi saya yang hadir belakangan betul-betul terkelabui. Sialan.



#4
Jae-Yung bernasib baik dan selalu bisa kabur dari razia yang pada akhirnya bunuh diri pada penggerebekan ke sekian kalinya. Bukan lantaran aparat ia meloncat dari lantai tiga, melainkan karena Yeo-Jin tak ingin dia mencintai teman kencannya. Yeo-Jin cemburu. Lantas karena itu Jae-Yung memilih mati. Tapi kematiannya adalah perubahan jalan hidup Yeo-Jin. Dia adalah anak aparat polisi moral Kota Seoul, Yeong-gi. Seusai diasupi ayahnya setiap pagi dengan masakan kesukaan almarhum ibunya, dia segera berangkat ke sekolah lalu melacur. Dia hubungi semua teman kencan Jae-Young untuk menidurinya di lantai tiga motel. Usai bercinta, dia ucapkan terimakasih dan uang pemberian lelaki kepada Jae-Yung dikembalikannya.

Ayahnya resah setelah tahu bahwa anaknya lonte. Dibunuhnya satu per satu lelaki yang meniduri anaknya. Kalau Yeo-Jin melacur untuk nazar membersihkan rasa bersalahnya melarang Jae-Young jatuh cinta, maka ayahnya membunuh semua lelaki girang itu karena martabat sebagai seorang ayah dan polisi. Selanjutnya film ini tak banyak bicara. Semuanya berjalan dingin dan tak mudah ditebak ujung emosi dan hubungan ayah dan anak ini. Yeo-Jin memang menyelesaikan nazarnya dan mencoret nama terakhir yang mengencani Jae-Young dan ayahnya juga mengakhiri pembataiannya atas lelaki terakhir dalam buku diari itu dengan cambukan borgol dan hentakan batu bata yang menghamburkan seisi kepala lelaki bejat itu. Yeo-Jin tersedu di kaki gunung. Ayahnya dengan tatapan kosong meninggalkan Yeo-Jin di gigir sungai yang teduh menuju penjara dengan dakwaan pembunuhan.




Di dapur rumahnya, Taufik Ismail terus berlatih menangis. Ia bawa juga tangisnya di ruang sidang DPR dan tangis itu berbuah kata PKI dilarang masuk kurikulum pelajaran sejarah SMP-SMU. Ia tumpahkan pula tangis itu di ujung-ujung mikrofon atas nama pidato kebudayaan; audiens terharu dan ia berharap dukungan membabat 13 aliansi Sastra Syahwat Merdeka. Tangisnya itu pula yang ia sebar di halaman-halaman koran dan huruf-huruf di koran pun luntur.

Politik tangis itu pula yang membuat saya iba hingga saya terkadang tak lagi mengenali siapa sih sejatinya Taufik Ismail ini. Masihkah ia seorang Humanis Universal atau Humanis Unilever. Masihkah ia seorang penyair yang melahirkan puisi pamflet Benteng dan Tirani, walau gaya realis itu sudah menjadi makanan sehari-hari penyair-penyair Lekra yang dia kutuk hingga ke liang lahat selama bertahun-tahun lamanya.

Saya berharap mewekan Taufik Ismail di atas hanya fiksi belaka dan salah satu adegan persiapan syuting film Ratapan Anak Tiri 3 yang penuh hujan airmata. Sebab jika terjadi di panggung kebudayaan yang sebenar-benarnya, Taufik Ismail hanyalah epigon dari salah satu projek Lembaga Kebudayaan Rakyat yang sudah teralpa: buang ke tong sampah majalah Playboy, singkirkan sastra yang mengabuti moralitas revolusi, pria berkeluarga haram hukumnya selingkuh dengan perempuan lain, dan perempuan berbikini dilarang berlenggak-lenggok di ruang publik karena merusak jalannya revolusi.

Arie, Kasian Amat Lu Jadi Anak

kontributor: gus hanggara

Sutradara: Frank Rorimpandey; Pemain: Deddy Mizwar, Joice Erna, Yan Cherry Budianto, Cok Simbara; Skenario: Arswendo Atmowiloto; Produksi: PT Manggala Perkasa FIlm dan Tobali Indah Film. (Sedang diputar juga di bioskop berkilau milik pecandu buku: http://kutubuku-ngomongin-film.blogspot.com/)

Film Arie Hanggara (1985), menurut data yang ditulis di belakang CD-nya, adalah kisah yang diputar dengan sorot balik. Maksudnya, prosesi pekuburan dan pengadilan bapaknya si Ari dulu ditampilkan, baru menyusul cerita bagaimana rangsang penyiksaan Ari lewat adegan rekonstruksi. Tahu apa yang terjadi saat saya menonton film itu sewaktu saya duduk di kelas dua SD di biskop tua kampung saya terjauh sana? Saya nyaris tak menikmati film ini. Maksudnya menangis ria berjamaah bersama penonton yang lainnya. Saya bingung dan kebingungan itu terus mengganjal di setiap pergantian rol. Saya menggerutu jangan2 pembawa rol film ini—yang biasanya naik film jenis enduro kayak motor balapan—salah ngambil karena pingin cepat-cepat atau ceroboh. Soalnya, mosok dikubur mati dulu baru ada penyiksaan. Yang benar kan ya disiksa dulu baru mati. Iya kan?

Hingga saya dapatkan CD film ini di Glodok Jakarta di sebuah kios penjual khusus CD-CD film jadul Indonesia (kios itu kini sudah raib dan diganti kios film-film pendek atau sekeping). Di situlah baru saya tahu bahwa ada yang namanya alur sorot balik. Jadi saudara, sampai umur saya 27 tahun saya terus dibuntuti kebingungan. Katrok nggak itu.

Padahal kata orang-orang ahli, film yang diproduksi pada 1985 ini bagus. Buktinya aktor terbaik untuk Piala Citra FFI 1985 disabet Dedy Mizwar yang berperan sebagai Tino Ridwan, ayah Arie Hanggara. Untuk musik yang digarap Idris Sardi dan skenario yang ditulis Arswendo Atmowiloto juga dapat Citra. Sementara pada Piala Kartini 1986 penghargaan untuk Pemeran Anak-Anak Terbaik jatuh di tangan Yan Cherry Budiono yang berperan sebagai Arie Hanggara.

Film ini diambil dari kisah nyata setelah warga Jakarta dihebohkan kasus meninggalnya seorang bocah 8 tahun akibat penyiksaan orang tuanya. Media massa meliput penuh gempita kabar ini. Wajar kemudian ketika difilmkan, Arie Hanggara menjadi film juara satu untuk penonton terbanyak. Menurut data Perfin pada 1986, penonton Arie Hanggara sekira 382.708.

Film ini memang menguras airmata—walau pertama kali nonton saya tidak. Berkisah tentang seorang penganggur kelas berat bernama Tino Ridwan (Deddy Mizwar). Bangun selalu siang, tukang janji kelas kakap, dan pembuat anak yang kuat. Sampai-sampai saudara dari pihak istrinya menggunjinginya sebagai pejantan yang hanya kuat membuat anak. Bayangkan anak-anaknya Cuma selisih setahun. Selama lima tahun pekerjaan uatama istrinya adalah bunting.

Karena tak punya kerjaan dan disertai dengan jaim yang tinggi, sementara Jakarta meminta terlalu banyak, beriteganglah si Tino ini dengan istrinya. Sang istri kembali ke Depok dan Tino menitipkan anak-anaknya ke rumah neneknya untuk kemudian diambil lagi sewaktu dia sudah hidup bersama dengan pacarnya, Santi (Joice Erna). Ceritanya dua orang ini kumpul kebo.

Di rumah kontrakan kecil ini hiduplah lima orang manusia. Tino dan Santi serta tiga anak Tino dari istri pertamanya: Anggi (tertua), Arie, dan Andi (si kecil).

Dasar memang laki-laki bergaya parlente, jaim tinggi, dan ngomongnya selalu muluk-muluk kayak pegawai kantoran bergaji tinggi, dia cuma lantang-luntung aja di rumah. Untung Santi memiliki pekerjaan. Untuk menopang kegengsiannya, uang Santi pun dibelikannya mobil rombengan dengan tangan tetap menengadah untuk beli bensin dan onderdil. Lama-lama Santi sebel juga punya pacar seperti ini. Kalau Santi lagi menghitung penghasilannya di meja makan, si Tino ini uring-uringan saja di samping Santi sambil nunggu uang sisa.

Si Tino sadar betul dengan profesinya sebagai penganggur. Tapi bagaimana lagi. Dia kan malu. Teman-temannya sudah bekerja semua. Tak kuat nanggapi omelan pacarnya, dia pun sehabis ngantar istri ke kantor, dia lamar kerja di sana dan di sini. Tapi nggak dapat-dapat juga. Teman-teman dihubungi, tapi semuanya menolak. Padahal di rumah rokoknya terus mengebul dan omongannya juga besar.

Heh, apa nggak stres begini. Pacar udah mulai cerewet, kerja nggak ketemu juga, anak-anak di rumah kian bandel saja. Si Tino selalu menetapkan aturan yang keras kepada anaknya. Apa saja harus diatur. Tapi Arie Hanggara, si anak kedua ini, selalu memandel dengan aturan ini. Wajah si Yan Cherry Budiono yang memerankan Arie ini memang wajah memelas. Sosoknya pendiam. Tapi diamnya Arie adalah diam yang meresahkan Tino.

Tino si penganggur heroik ini sebetulnya sayang juga sama anak ini. Santi juga nggak kejam-kejam amat. Namun itu tadi dia mulai cerewet dan nyindir-nyindir Tino atas kenakalan anak-anak yang diproduksinya dengan seksama. Lama-lama dia mulai jengkel, terutama kepada Arie. Mula-mula kalau semuanya berkumpul di meja makan malam hari, Tino tak sudah-sudah memperingati dan memaklumkan aturan supaya jangan nakal dan jangan nakal.

Eh, Arie Hanggara tetap membandel dengan aturan itu. Awal dipukuli, si Arie ini masih mengaduh, tapi lama-lama anak ini menjadi adiktif dan seperti meminta untuk dihukum. Apalagi sehabis penghukuman, bersenandung instrumentalia murung Idris Sardi menemani Arie belajar dalam gelap.

Lantaran takut melanggar, Arie sering berbohong. Dipukul lagi. Sampai-sampai kepala sekolah Arie, Bu Khodijah (Mien Brodjo), marah besar, geram dengan si Tino penganggur melihat wajah Arie lebam2 karena ditampar....

Berkali-kali si ibu kepsek ini memperingati si Tino jangan terlalu jaga gengsi yang pada akhirnya menghancurkan anak sendiri. Tapi dasar si Tino... no no... pengangggur katrok. Nggak mudeng-mudeng. Gengsinya aja tinggi, kantongnya cekak. Dia itu jalannya petentang-petenteng. Anak-nya tahu bahwa dia itu bos... Lha setiap pagi ngantar pacarnya ke kantor dengan pantolan necis, bersih, dan bekas setrika yg lancip-lancip. Tak tahunya ia itu sopir pribadi si Santi...

Di sekolah, si Ari jadi pendiam, asosial, dan jadi senang ngincar dompet teman-temannya. Ya, kayak si Nagabonar satu-lah. Nggak jauh-jauh. Maka jadi bulan-bulananlah dia. Kena gampar, tubuh tripleksnya terlempar-lempar.

Peran si Santi di sini tidak seperti ibu tiri yang dipandang sebagai iblis. Tak tega juga dia lihat Arie dipukuli si Tino penganggur darurat ini di hadapannya. Dia tak keras-keras amat. Hanya bebebrapa kali menggertak, menyambak, dan juga memukul... hehhehe sama saja ya.

Karena merasa “sakit prilaku” Arie sudah tak bisa diobati di sekolah SD Negeri, Tino pun berencana membawa si Ari ke pesanntren di Jawa Timur. Nggak disebut sih apa ke pesantren Tebu Ireng di Jombang atau Tambak Beras tempatnya para gus itu bernaung dan bersarung....

Tapi sayang sebelum dia dibawa ke pesantren, dia harus melakukan kesalahan lagi. Tapi kali ini kesalahan kakaknya. Tapi Arie ngaku bahwa dialah yang melakukannya. Ini anak memang sudah adiktif dengan pukulan. Bahkan dia minta digantung saja atau tangan diikat saja supaya tak nakal lagi. Itu kata-kata si Arie sendiri. Coba, mau bilang apa kalau sudah begini.

Saat kedua tangan dan kedua kaki si Arie diikat Tino, Santi kaget sekali. Arie, Arie kasihan amat lu jadi anak. Tapi gimana lagi cara menghadapi Tino si penganggur itu yang selera olahraganya sangat tinggi, seperti boling.

Adegan kaki dan tangan Arie diikat itulah yang selalu saya dan orang-orang yang pernah menonton Arie Hanggara selalu terkenang. Sementara Arie diikat, dua saudaranya yang lain memberinya makan diam-diam.

Saat sore, ari sudah dimaafkan Tino. Tali dilepas. Tino bertanya: "Tahu kenapa Arie mau dimasukkan ke pesantren?” Arie dengan enteng menjawab: "Tahuuuu. Karna Arie suka nakal, suka mencuri, berbohong, suka mencuri lagi, sekali lagi, sekali lagi... mencuri lagi mencuri terusssss."

Tugas Ari di hari kedua sebelum kematian adalah mbersihin kamar mandi. Tapi Arie malas-malasan. Namanya saja anak kecil, ya dia mainlah kerjanya di kamar mandi. Main percik-percik air. Kan asyik tuh. Uh, marahnya ini pendekar penganggur. Arie dipanggil. Arie maju ke hadapannya. Ndongak. Seperti nantang. Bergeraklah tangan si Tino penganggur ini ke pantat. Pukulan kayak gini enteng aja bagi Arie. Dihukumlah anak ini berdiri jongok. Disuruh ngitung 300-an kali.

Saat-saat menjalani hukuman begini, melintas musik sedih Idris Sardi yang mengalunkan senandung yang bisa-bisa meruntuhkan bendungan mata airmata. Kakak dan adiknya melihat ari yang terhuyung-huyung ngantuk sambil memeluk lutut di lantai menjalani hukuman yang mestinya tak boleh ditanggungnya. Ia tak boleh makan, adik dan kakaknyalah yang diam-diam memberinya biskuit. Tatkala mereka menawarkan diri memberi ari minum, ari menolak. Dan malapetaka itu pun terjadi.

Pada 7 November 1984, si Tino pengangguran ini ketemu teman-temannya penjudi dan pemabuk. Maklum frustasi ndaftar kerja, nggak dapet-dapet, mendaratlah dia di sini. Apa boleh buat. Frustasi betul ia. Nggak ada kerjaan, istri sering ngomel karena jobless-nya ini, dan Arie tetap saja tak mau tunduk aturan...

Si Santi pada malam malapetaka dan besoknya Arie dan Tino akan berangkat ke Jatim itu masih manis menasehati Arie untuk minta maaf saja sama si Tino penganggur dan sekarang pemabok itu. Tapi Arie tak melakukannya, malah dibilangnya sama ibu tirinya itu, dia lebih baik dihukum terus saja. Maka menyambarlah tangan si Santi yang mendorong Arie ke dinding. Nggak sampe jatuh kok.

"Ari, besok kita akan berangkat. Sekali ini Papa minta agar Arie jadi anak yang baik. Nah, malam ini Papa ingin melihat Arie minta maaf sama Papa dan Mama," pinta Tino sepulang dari mabok di malam jahanam itu.

Namun apa jawabnya? "Pukul Arie sajalah, Pa. Arie kan nakal," katanya sambil garuk-garuk kepala. Coba, sudah pulang membawa sisa mabok, menghadapi anak yang dikira malam itu baik, eh malah minta dipukulin.

"Ariiiii!" uh gusarnya si Tino ini. Disuruh berdiri jongkok sambil ngitung pun, Arie tetap saja membandel. Coba dengar caranya mengitung: "Satu lagi, dua lagi, tiga lagi, empat lagi....20 lagi... 30 lagi... 100 lagi... 200 lagi... 300 lagi"

Tino berdiri dan menggampar pantat kecil anak malang ini. "Yang benar, Arie!" raungnya sementara Santi duduk sambil menjahit di ruang makan... Mata Arie yang lebam kebiruan memandang sendu bapaknya. Tak tahan memandang mata anak itu, diambilnya tongkat sapu. Diganyangnya pantat itu dengan pukulan bertalu-talu. Menjeritlah Aanti melihat ulah si Tino yang nggak ketulungan ini. Anak ini nggak mau lagi menangis. Menatap bapaknya dengan sangat tajam, tapi raut wajah dingin yang mengerikan. Lalu dengan kesal dan kalap satu tamparan keras menghantam pipi kiri Arie dan terjungkallah ia ke lantai. Belum mati. Lalu si Tino memberinya air minum. Arie tetap di dekat tembok menjalani hukuman. Mereka sempat pelukan dan suara Tino sudah mengendur. Mungkin capek menghadapi sikap Arie yang dingin, patuh, tapi kepatuhan yang melawan. Dan Arie minta minum lagi. Tapi Tino mengancam, setelah dia diberi minum, nggak boleh lagi minum tanpa seizinnya. Ari pun dengan datar berjanji untuk tak minum lagi.

Mungkin karena jiwa anak ini sudah mau bunuh diri di tangan ayahnya sendiri, dia melanggar lagi sabda si penganggur ini. Dia mengambil air minum, tapi gesekan gelasnya di dengar oleh Tino. Tino bangun dan lupa bahwa mereka besok mau ke pesantren. Dia kalap. Arie, anak malang ini, harus menjadi santapan kemarahan jam dua dini hari itu. Tak ada teriakan. Tak ada rintihan. Tak ada apapun keluar dari mulut anak yang sudah mencium bau kematian sejak 6 November ini yang bahkan satu jam sebelum kematiannya dia sudah berpesan kepada dua saudaranya bahwa ia akan pergi dengan sangat jauh. Ari terjatuh di lantai. Paniknya Tino dan Santi subuh itu melihat anak itu dan membawanya ke RS dalam kondisi yang sebetulnya sudah tak bernyawa.

Ada raut sesal berkecamuk dihati Tino. Matanya bersimbah airmata melihat Arie terbujur kaku di atas ranjang roda berkain putih yang ditarik perawat putih-putih menuju dunia putihnya. Tapi apa boleh buat. Arie sudah tiada. Arie, si anak malang yang sudah mencium bau kematiannya itu meninggal di dinding penghukumannya. Huh... apa nggak nangis melihat adegan ini. Lalu musik pilu itu mengalun dan bergetar.

Lalu koran-koran ibukota terbit sore pun menulis dengan besar di halaman depan kematian tragis bocah malang Ari Hanggara. Ari adalah korban dari perceraian orang tuanya. Nah, adegan di RS ketika Tino, Santi, dan istri pertamanya bertemu. Di situ ada juga ibu kepsek, Khodijah. Tino dan istri pertamanya bertengkar. Saya ingat betul kata-kata ibu kepsek ini yang disampaikan dengan derai airmata: "Kenapa kalian bertengkar. Apa kalau bertengkar bisa menghidupkan kembali Ari. Buat apa... buat apa...Kematian Ari karena ulah kalian semua. Semasa dia hidup kalian bertengkar dan bahkan ketika dia membujur jadi jenazah kalian masih juga bertengkar. Di mana perasaan dan naluri kalian sebagai orangtua kandung Arie. Apa nggak bisa kalian berdamai sejenak untuk melepasnya."

Mata Tino setelah itu sembab. Mata Tina si ibukandung juga sembab, mata Santi si ibutiri juga sembab, mata ibu kepala sekolah nggak usah dibilang, mata bapaknya si Frengki (Zainal Abidin) yang teman Arie juga memerah. Termasuk matanya Gus Muh juga berkaca dengan hidung mengisak selumer cairan (yang ini kemungkinan tertulari flu si Zen Rahmat Soegito yang sudah dua minggu nggak sembuh2 dan menyebarkan virus buruk itu kepada orang seisi kantor).

Saya memang terpakau. Memori dihantar melintas bertahun-tahun silam di mana waktu kejadian ini saya masih kelas tiga SD Inpres. Walau di layar sudah ada keterangan bahwa film mau berhenti, saya belum mau beranjak. Bukan karena terlalu dilamun sedih, tapi memikirkan apa yang mesti ditulis setelah nonton film ini yang dipagari oleh aturan, jangan sampai nulis kayak resensi film di Kompas dan Tempo.

Sekaligus saya sedang berenung, apa tak baiknya tanggal 8 November (1984) yang merupakan tanggal kematian Ari Hanggara diperingati sebagai Hari Perlindungan Anak dari petaka kekerasan. Bagaimana pun kematian Ari Hanggara adalah patok bagaimana anak-anak dianiaya dan tak bisa melawan kebrutalan orang-orang dewasa.

"Berisik" Pasir Berbisik

kontributor: agung de ha

Nonton film, nonton manusia. Bukan hanya film yang bisa ditonton. Tapi juga penontonnya adalah film itu sendiri.

Ini terjadi ketika saya putar film “Pasir Berbisik” di rumah, di pedalaman Jawa Tengah. Di sepuluh menit pertama film itu tiba-tiba Pak Lik berkomentar, “Film kok nang wedhi terus (film kok cuma bersetting pasir terus)”.

Komentar Pak Lik benar. Sedari awal, film ini memang bersetting pasir. Maklum judulnya saja “Pasir Berbisik”. Setting di pasir itu dimulai ketika Daya (Dian Sastrowardoyo) tubuh moleknya tertelungkup dan mendengarkan bisikan pasir. Baju yang dikenakannya sobek sana-sini. Itu kostum ndeso. Meski berperan begitu Dian tetap….

“Eh…eh……kok omahe diobong to?” tanya Pak Lik terheran. (Maklum, wong ndeso sering terheran kalau melihat sesuatu yang asing di mata mereka)

Saya tak berkomentar. Saya sok-sokan serius menyaksikan alur cerita yang asing di mata saya. Ketika, di film itu, tiba-tiba gubug-gubug liar di sepanjang pantai itu dibakar massa. Berlian (Christine Hakim), yang jadi dukun aborsi keple-keple lantas mengajak Daya, anaknya, pergi mencari daerah pemukiman baru. Daerah berpasir, tentu saja.

Dalam perjalanan, di adegan film itu, si wajah “Dian” tampak belumur pasir. Kaki lejangnya mengayun gontai. Selain lejang, kaki “Dian” juga tampak mulus. Masuk akal tentu saja. Pasir kan lembut. Gak mungkin lah yaw… menggoresi kaki mulus “Dian”. Kaki “Dian” mulus ya? Oh….

Tapi “Christine” dengan raut muka serius tetap mengajak melanjutkan perjalanan. Sampai datang badai pasir. Ibu melindungi Anak dengan kain selendangnya. Badai pasir dengan suara gemuruh berlalu.

Saat melihat fragmen itu Pak Lik berkomentar lagi, “E..ee…eee… mbok ditolingi kae…(ditolongin itu).”

“Mbok luweh (biarin),” timpal anak Pak Lik.

Saya cuma diam. Sesekali melirik ke arah dua manusia ndeso itu. Batin saya terus bergulat: ingin mengumpat tak dapat, tapi ditahan kok….

Tak kuat. Si Daya mengeluh dalam perjalanan. Berlian tetap ngotot melanjutkan perjalanan. Nan Achnas, sutradara film ini, mungkin terilhami La Grande Voyage (Ngawur wae… wong La Grande Voyage baru dibikin belakangan je…)

Sampai akhirnya Berlian dan Daya menemukan daerah baru. Di situlah Daya menemukan teman sepinya, Sukma (Dessy Fitri).

“E…eee..eeee…..kok pincang” lagi-lagi Pak Lik mengomentari Sukma, teman Daya, yang pincang dalam film itu.

“Bapak kiribut wae ….(bapak ribut melulu),” timpal kemenakan saya.

Saya cuma diam. Tak menanggapi. Saya bingung denagan maksud film ini. Tiba-tiba saja ayah Daya pulang. Dari mana Agus (Slamet Rahrdjo) tahu alamat istrinya, padahal itu kan daerah tak bertuan?

Agus, ayah Daya, yang tergiur uang, akhirnya “menjual” anaknya kepada Suwito (Didi Petet). Dan akhirnya adegang berlanjut pada Dian Sastrowardoyo, pemeran Daya itu, memerankan diri memerawani dirinya dengan jari. Coki coki lah bahasa okem-nya. Ah, gak tega aku ngomong kalau Dian Sastro idaman pria se pulau Digul itu Mastur…. Lebih santun ngomongnya Dian lagi meranin adegan Mandra (Mastur sama Mandra kan adik kakak!)

“Dedi ki ngopo to…?” komentar Pak Lik melihat Dedi, nama kemenakan saya, yang cengar-cengir. Si Dedi tampak belagu.

Saya cuma mesem. Melihat akting Didi petet yang belagu. Dian Sastrowardoyo yang berlagak kikuk dan lugu. Melihat Dedi yang cengar-cengir. Mendengar celoteh Pak Lik. Melihat Bapak yang datang dari kamar mandi beberapa detik melihat adegan Daya yang...

Ah…Si Sukma akhirnya mati. Si Daya kesepian lagi. Cup… cup… Dian, jangan nangis dong! Masih ada abang di sini.

Berlian menangis menyumpahi orang lelaki yang menghancurkan hidup anaknya. Agus minggat (mati po ya?). Daya dan Berlian tetap tinggal di tanah berpasir.

“La kok bubar…” komentar terakhir Pak Lik di menit ke-106 Pasir Berisik.

“Maksude opo to mas?” tanya kemenakan pada saya. Aku diam saja.

“Lha, cewek yang cantik tadi itu nama aslinya siapa toh Mas?

Tak sampai sepermpat detik aku langsung menjawab kilat: “Namanya Mastur!”

“Lho kok Mastur? Orangnya kan cewek, Mas?”

Aku tergeragap. Sialan. Sejam lebih nonton film absurd ini kok yang nempel cuma pas adegan “Dian” lagi Mastur… Eh, salah, Omas!

Tawuran yang berakhir dengan Nyanyi dan Menari

kontributor: nashi kotho khan

“Dah liat aksi geng di India belum? Rugi lu...” seorang teman menyenggol bahu saya yang sedang memegang kartu.

“Pelem baru, nih,” lanjutnya.

Saya tidak mendengarkan kata-katanya. Harapan saat ini adalah kartu di tangan bisa habis sampai terakhir dan menerima uang sebagi pemenang putaran ini.

“Shahruk Khan lo yang main. Josh judulnya. Asyik benar. Ada Aishwarya Rai juga,” imbuhnya.

Sektika saya berteriak “Mati”! Lalu membanting kartu. Dan seketika menyambar kaset yang dipegangnya.

Teman tadi marah, dan mengambil kartu saya dan berteriak, “Woiii... gak jadi mati nih!”

“Hoi, tinggalin uang untuk bayar dong.” Ia berteriak ketika saya sudah sampai di depan Vcd pemilik warung, tempat kami membanting kartu.

Seketika, lagu Kuch-kuch Hota Hai berhenti. Jreng-jreng suara motor terdengar. Orang-orang yang khusuk menikmati lagu india memaki. Mana aku peduli!

Dan mulailah perseteruan antar geng itu. Shahruk Khan bersaudara dengan Aishwarya Rai, keduanya tampak metal dan keren. Wuih.. mereka tinggal di sebuah gang. Orang tuanya telah meninggal. Jadilah mereka dua saudara yang nakal dan bandel yang mempunyai geng di Gang itu. Aishwarya Rai tampak sangat tomboi dan energik.

Adalah Rahul, adik seorang ketua geng yang menjadi musuh si Shahruk Khan, suatu hari telah jatuh cinta dengan si Aiswarya Rai, adik jagoan kita tadi. Konyol kan? Masa mencintai musuh? Tidak pelem india namanya kalau tidak seperti itu.

Si Rahul memang terlalu manis untuk menjadi penjahat, makanya di pelem ini ia bukan orang jahat. Kakaknya saja yang serem dan suka berkelahi dengan si Dev. Perkelahian yang manis dan lucu. Bayangkan, ketika dua kubu sedang bertemu dan siap dengan perlengkapan masing-masing, seorang pendeta yang disegani datang dan menyaksikan.

Apa yang terjadi? Dus, jadilah aksi itu menjadi tempat nyanyi-nyanyi dan menari. Dan pertarungan tak sempat terjadi.

Si rahul begitu mencintai gadis tomboi adik musuh kakaknya ini. Bayangkan, mereka tinggal di tempat di pinggiran kota yang nyaris tergusur di komplek yang sama, hanya beda gang. Tiap kelompok tidak boleh melewati gang musuhnya kalau tidak mau mati konyol. Tapi si Rahul nekat, oleh cinta dan rasa sayang.

Rahul yang memang tidak pernah bergaul dnegan preman-preman segang nya (dia datang dari sebuah University) dan berniat membuka toko roti di pinggiran jalan. Di pelem India, orang baik kan memang harus tampil sabar dan bersih dari kekonyolan dan keburukan apa pun. Nah, rahul begitu santun menerima kelakuan Dev dan kawan-kawan yang setiap malam memporandakan tokonya.

Dan cinta telah mengalahkan segalanya. Aiswirya Rai ternyata akhirnya menerima Rahul (siapa yang jadi tokoh ini ya?) dan bercinta diam-diam. Percintaan yang sembunyi-sembunyi tentu saja.

Shahruk Khan tampil sangat sangar dan tidak pernah bercanda dan tertawa kecuali kalau sedang nyanyi dan nari. Nah dia ternyata juga jatuh hati pada seorang cewek yang tinggal di gang musuhnya. Tiap malam dia mengganggu si cewek. Tapi selalu diperlakukan buruk olehnya, karena Dev norak sih. Masa menyatakan cinta pada suatu malam dengan datang diam-diam ke rumah si cewek dan memutar sebuah lagu dari tape rekorder karena ia telah gugup oleh pesona si cewek. Marahkan si cewek yang sudah terlanjur tersanjung itu.

Eit bukan itu, tapi kisah cinta si Rahul yang makin mempesona. Suatu hari mereka pacaran di sebuah tempat yang sepi. Ah, percintaan membuat orang lalai dan lupa banyak hal. Sekelompok orang mengintai si rahul dengan clurit di tangan. Dan tiba-tiba...

“Song...” teriak teman saya senang sambil membanting kartunya.

Kakak si Rahul tiba-tiba muncul di saat yang tepat. Entah dari mana. Maka terjadilah perkelahian antar geng. Kakak si Rahul berjuang habis-habisan untuk menyelamatkan si adik yang terlalu tampan untuk bisa berkelahi. Dan....

“Joker, As Skop. Kawin. Bayar... bayar!” teriak teman saya tadi.

Asu! Jadi dia sengaja membawa pelem india agar dia bisa main kartu menggantikan saya dengan uang saya. Kurang ajar bener. Biarlah, lagi tanggung nih.

Matilah si kakak. Berdarah-darah dan tragis sekali.

Bukan polisi India kalau tidak datang terlambat (seperti di indonesia saja ya). Dan persidangan pun terjadi. Dev telah membunuh kakak si Rahul. Hilanglah wajah sangarnya. Geng yang aneh, permusuhan bebuyutan itu memang hanya berakhir dnegan sedikit lecet. Dan hari ini si Dev telah melakukan sesuatu: membunuh.

Saksi di datangkan. Dan saksi kunci tentu saja Rahul yang tahu persis kejadian itu. Dia dengan kesabaran sempurna mengatakan hal sebenarnya. Si kakak memang sudah menyiapkan parang dari rumah dan berniat membunuh Dev. Dan dev justru harus membunuh karena nyawanya terancam.

Duh, tidak ada kobar amarah dan balas dendam, tidak seperti pelem yang lain.

Tentu ini karena cinta. Dan begitu saja pengadilan melepaskan Dev. Dan endingnya? Biasalah, Rahul dan adik si Dev berpelukan. Dev meminta maaf, perseteruan selesai. Dan eiit, ini pelem india bung, maka selalu penuh kejutan. Cewek yang ditaksir datang dan memberi kecupan. Maka...

“Uangnya habis. Tambah modal dong,” bisik teman saya di telinga.

Asu! Maki saya, tentu dengan bahasa Padang sambil berusaha mengusap air mata.

Satu lagi penutup cukuplah membuat mata saya basah oleh haru dan bahagia.

Badut yang Seneng Khotbah

kontributor: pramuka lazuardi

Siapa bilang cari uang di Jakarta susah? Jakarta gudangnya duit!

Boleh jadi satu paket pertanyaan lengkap langsung dengan jawabannya tersebut begitu mudah keluar dari mulut orang yang ekonominya mapan. Sementara di lain pihak; si orang miskin yang muncul hanya kalimat datar yang berat, susah cari uang di Jakarta.

Bagi orang yang terhimpit hutang dan kebutuhan sehari-hari, bukan tidak mungkin mengambil jalan pintas yang picik, apalagi jika seorang perempuan berwajah cantik dan fisik bagus. Pilihannya jelas: jadi keple! (aku pake kata “keple” biar bangsa Indonesia tahu bahwa di Jogja ada kata lain yang lebih estetik selain kata “jablay”).

Tapi bagi pasangan suami istri Deddy dan Menul semua jalan pintas picik diatasi dengan iman dan taqwa mereka (Wah… kaya pelem Oma Irama). Deddy adalah bapak dari seorang anak laki-laki yang bekerja sebagai badut di sebuah tempat hiburan. Kadangkala ada juga kerjaan membadut pada pesta-pesta orang kaya (nah, ini bedanya sama Oma: kalo Oma Irama kan gak pernah memainkan karakter tokoh yang menjadi badut, walaupun kalau dipikir-pikir, makin tua Oma juga makin kaya badut).

Begitu susahnya keluarga itu hingga untuk membelikan buah apel yang diinginkan anaknya tak jua kesampaian. Buah surga itu sempat dicicipi Bimo dari seorang ibu dari dalam mobil yang marah akibat Bimo menyeberang sembarangan dan hampir terjadi celaka. Namun Bimo menyikapinya dengan menganggap Ibu tersebut adalah wujud terkabulnya doa untuk makan buah apel. Padahal apel yang dilempar itu sudah tergerigit si Ibu dan jatuh ke tanah.

Saya menonton film ini sudah lama sekali, sekira ketika saya masih sekolah di kota kecil Banjarnegara. Pada waktu itu saya menyaksikannya siang hari di televisi. Beberapa bulan lalu saya pergi ke glodok untuk mencari keping cakram lagu-lagu format MP3 dan beberapa film luar. Saat itu terpampang lumayan banyak film indonesia seperti film-film Rhoma Irama yang diborong teman saya (siapa lagi orangnya kalau bukan Gus Muh Irama).

Ketika terselip sampul film ini yang ada dalam pikiran saya adalah harus membelinya. Maka sepulangnya dari glodok, saya menenteng tas kresek berisi cakram film badut-badut kota dan beberapa cakram berisi lagu. Film ini baru kutonton lagi semalam, meski sudah lama kubeli. Ada perasaan bahwa kita bisa belajar banyak tentang kehidupan dari tontonan ini.

Jika pernah menyaksikan film Life is Beautiful yang dibintangi Roberto Benigni, maka saya seperti melihat kesamaan bagaimana seorang ayah selalu berusaha untuk menyenangkan anaknya dalam keadaan yang susah sekalipun (Nah, di sini pula bedanya dengan Oma. Oma jarang banget kan memerankan diri jadi ayah. Bernainya kalo main film cuma pacaran doang. Kagak berani tanggung jawab. Pas udah tua juga gitu. Cuma ada kemajuan dikit sih, gak cuma berani pacaran doang, tapi dah meningkat berani kawin. Kawin siri maksudnya. Hehehe….).

Salah satu adegan yang menceritakan sakitnya Bimo misalnya, Deddy yang tak mampu membawa anaknya berobat menyuruh Menul menyiapkan bawang merah dan minyak lentik. Kemudian Deddy bertingkah laiknya dukun sambil mengucap mantra dan mengusapkan minyak lentik yang dicampur bawang merah ke sekujur dada dan punggung Bimo. Sebuah usaha membuat anaknya tertawa kala kondisi tak mendukung untuk tertawa, membuat saya belajar menertawakan hidup itu sendiri.

Pesan moral (waduh, kok jadi kaya Oma lagi?) yang digelontorkan dalam perbincangan tokoh-tokohnya sangat terasa sederhana seperti biasa kala kita mendengar wejangan dari orang tua tentang baik dan buruk, sebab-akibat, maupun tentang laku proses dalam mencapai sesuatu. Salah satunya tentang judi, diceritakan bahwa teman sesama badut yang gemar memasang lotere dan berkali-kali kalah (bener kan kaya Oma? Judi… jreng…jreng… meracuni keimanan….).

Nasihat dari temannya, Tarjo, bahwa dalam judi menang belum tentu namun kalah itu pasti tak dihiraukan oleh si badut yang suka judi ini. Suatu ketika dia menang judi dan mendapat uang sekitar tigaratus juta rupiah, segera dia berfoya-foya, beli mobil mewah, memelihara perempuan cantik yang ternyata dari lokalisasi. Tak sampai 3 bulan seluruh hartanya ludes, dan kembali menjadi pengangguran.

Terselip juga pesan satire tentang kenyataan begitu banyak sarjana yang ikut menjadi badut karena begitu sulitnya mereka mendapat kerja. “Biar badut tapi ‘kan sarjana.…”

Kalimat itu terlontar masih dari teman Deddy yang gemar judi tadi. Setelah Deddy sukses dengan bisnis restorannya, datanglah si teman penjudi ini minta kerjaan dan yang tersisa tinggal menjadi tukang parkir. Segera dia menggerutu kepada Deddy cs kenapa tega memberi pekerjaan tukang parkir kepada teman sendiri. Hal itu diceletuki Tarjo, “Biar tukang parkir tapi kan sarjana.…”

Kesenjangan antara si kaya dan si miskin berulangkali terselip dalam jalan ceritanya. Inilah wajah Indonesia yang sebenarnya, tak cuma dalam film ini. Realita yang bisa ditemukan secara kasat mata. Saya terkadang jadi berpikir bagaimana jika keadaan tersebut berbalik, si kaya jadi miskin dan si miskin jadi kaya.

Entahlah, toh semua hanya bagian dari hidup yang tidak langgeng seperti yang diungkapkan beberapa kali dalam dialog Deddy dan Tarjo. Kita harus berpikir dan bertindak untuk mencapai apa yang kita mau, untuk kehidupan yang lebih baik. Jerih payah, kejujuran, dan kesabaran merupakan pesan moral yang paling ditonjolkan dalam film yang mendapat penghargaan khusus pada Forum Festival Asia Pasifik di Sydney Australia.

Andaikata banyak pejabat, orang berpengaruh, serta orang-orang kaya menonton film ini dan tak cuma menonton film indonesia yang kebanyakan mengangkat roman remaja kaya dan serba instant, mungkin Indonesia tak akan seperti sekarang ini, begitu banyak persoalan yang berakar dari rendahnya moralitas orang-orang kalangan atas yang mampu mengubah kondisi kehidupan masyarakat. Yah…banyak yang memakai topeng untuk menutupi wajah asli mereka, seperti para badut.

Andaikata semua orang menonton film ini. Sayangnya mereka lebih suka nonton film Begadang. Makanya, bener kata Gus Muh Irama: Jangan Banyak (Nonton) Begadang. Nonton Badut wae!

NB: Zen…tulisanku ketoke serius banget mbangane sing liyane, arep diedit po ora terserah kowe….,kok serius yo…kowe ra ngomong sihhh, hehehe…. (tulisan ini dikirim ke redaktur nonton-film.blogspot.com. sengaja dipasang. Biar agak lucu. Soalnya reviewnya serus banget sih….)

Kata Oma: Bir Haram, Pacaran Halal

kontributor: gus muh irama

Saya itu sudah jarang lihat daftar acara televisi setiap hari. Yang saya tahu, TPI dan Lativi punya stok film Rhoma Irama yang melimpah-limpah. Nah, Sabtu belum lama ini, selagi asyik nonton dar-der-dor antara dua sniper KGB dan FBI (benar nggak sih) dalam film Sniper 2 di Trans TV, dari jauh saya dengar ada sayup-sayup suara Raden Oma Irama atau biasa dipanggil Rhoma Irama dari rumah tetangga. Maaf saja ini, telinga saya masih cukup peka dengan suara lirih Rhoma yang bariton itu.

Langsung saja saya mendekat ke televisi. Sasaran saya dipastikan cuma dua saluran: kalau nggak Lativi ya TPI. Dan TPI ternyata, Saudara. TPI sedang memutar film Perjuangan dan Doa. Film ini diproduksi sekira tahun 1980.

Saya nggak ngeliat awal-awalnya karena film hollywood sialan itu sudah menyita perhatian awal saya. Yang saya lihat sudah pada adegan beberapa preman yang besar dan brewokan marah-marah kepada anggota tim Soneta di belakang panggung setelah mereka tampil. Mereka sewot benar dengan kalimah-kalimah agama di lirik lagu Rhoma yang berjudul “Iman” dan “Syahadat”.

“Apa maksudmu mengatakan mengapa yang asyik-asyik itu yang dilarang? Mengapa kamu bilang minum-minuman itu ngikuti cara binatang?” seru salah satu dari mereka.

Lalu di belakang panggung itu terjadi adu moncong dan Rhoma menceramahi preman-preman itu. Sudah menjadi langganan film Rhoma bahwa musuhnya itu ya tukang jigo (main kartu), pemabok, dan pemalak. Nggak jauh-jauh dari soal akhlak dalam masyarakat. Makanya jangan heran kalau Rhoma marah benar ama pantat Inul. Secara genealogis, udah dari sononya dia selalu sewot dengan yang kayak gituan. Dan di film ini, sebagaimana tersirat dari judulnya, sangat royal mengeluarkan hadis dan firman Tuhan untuk menghantam perbuatan-perbuatan maksiat.

Film ini berisi perjuangan keras Rhoma agar bagaimana kalangan Muslim bisa menerima bahwa agama dan musik (dangdut) bisa sejalan. Sebab masyarakat bertanya-tanya, kenapa harus dangdut di mana hal itu membuat orang berjoget-joget ketika dinyanyikan lagu syahadat misalnya. Itu kan mudharot. Mengapa bukan kasidah saja.

Rhoma dan Soneta juga diprotes kalangan santri karena telah menjual firman-firman Tuhan untuk publisitas dan merayu cewek-cewek muda. Tentu saja Rhoma membantah. Ia kutip hadis sana, pinjam firman ini untuk membelah diri dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan pondok Al-Mutmainah pimpinan Kiai Alwi.

Di adegan ini nyaris 30 menit kita disuguhi ceramah verbal agama yang monoton. Kamera boleh dibilang nggak gerak. Seperti diletakkan begitu saja mengikuti diskusi agama dengan lidah difasih-fasihkan. Bangku-bangku berjejer-pjejer seperti waktu kita sekolah dulu. Di situ peserta yang rata-rata berbaju putih duduk. Pacarnya Rhoma juga di situ sambil sesekali mesem kalau Rhoma terlihat cerdas ngasih jawaban.

Rhoma di mimbar kiri, sementara santri yang protes, di antaranya Iman, Said, dan Ahmad ada di mimbar kanan. Di tengahnya moderator—kayaknya setelah meniliki raut dan suaranya pasti deh itu Ustaz Sanusi yang sampai hari ini masih ceramah ditipi-tipi itu. Saya yakin kok. Telinga dan perasaan saya belum pikun amat untuk mengingat.

Nah, Kiai Alwi berada di tengah. Dan sudah ditebak juga, Rhoma direstui oleh Kiai untuk tetap bermusik. Alasan Rhoma agar anak muda yang gandrung musik dekat dengan Islam dan Soneta bisa menangkis serangan budaya dari Barat. Oh, Rhoma, mulianya niatmu. Allahu akbar.

Musuh Rhoma ternyata bukan hanya preman-preman kios yang tambun itu, tapi juga ayah pacarnya. Dalam film ini Rhoma pacaran sama anak tsanawiyah bernama Lela (Rica Rachim). Si Lela ini teman sekolahnya Rita (Rita Sugiharto) yang biasa dibawa Rhoma untuk backing vocal kalau Soneta manggung di acara sunatan atau pesta kawin. Uh uh, memang Rhoma ini dari dulu gandrung banget ama cewek pucuk ijo.

Lela dikisahkan seorang anak alim yang sering digodain preman. Ibunya juga alim. Yang soal justru bapaknya, si Mansyur (WD Mochtar). Si bapak ini seorang pengrajin bir yang tekun. Stok botol bir dan miras di rumahnya sudah bejibun.

Nggak ada yang mengejutkan, nggak ada plot yang rumit. Rhoma datang ke rumah itu. Tugasnya adalah menyadarkan Pak Mansyur bahwa minum-minum itu pekerjaan setan. Kalau nggak salah ada 3 atau 4 ayat yang terlontar di antara deretan botol bir yang berdiri berbaris mabuk di atas meja. Tentu saja Pak Mansyur tak mau diceramahi Rhoma yang tak tahu diri memacari putrinya itu. Rhoma pun diusir.

Lela sedih. Lalu nyanyi. Sedih sekali nyanyinya. Pas menjelang bait terakhir Rhoma ikut nyanyi. Berduetlah mereka.

Karena air seni setan dalam botol-botol bir itu, nyaris saja Pak Mansyur memperkosa Lela. Rhoma datang. Berkelahi. Rhoma dengan sangat kuat mendorong Pak Mansur. Kepala Pak Mansyur membentur dinding. Tapi nggak sampai mati. Dan jalan ceritanya udah ketahuan. Pak Mansyur ini langsung tobat begitu diberitahu Rhoma bahwa ia nyaris memperkosa putrinya. "Minuman laknat itu telah membuatku khilaf. Bapak macam apa aku ini," ia tereak-tereak seperti orang kesurupan jelang taubatan nashuha. Ia berlari ke ruang tamu. Ia pecahkan koleksi botol-botol minumannya. Lalu setelah lelah, ia mengangkat tangan dan menyebut-nyebut nama Tuhan. Udahlah, nggak usaha dijelaskan. Nggak menarik. Sebab setelah itu, si pengrajin bir ini memimpin solat berjamaah.

Nggak ada lagi konflik setelah itu—kalau pun ada sudah tahu sama tahulah. Bagaimana tidak, lha yang buat skenarionya juga si Rhoma. Nyaris semua filmnya. Tahu sendiri saja, ilmunya ya cuma segitu-gitu.

Kembali ke film. Sesudah Pak Mansyur mau solat kembali, 30 menit terakhir cuma nyanyi-nyanyi. Setidaknya tiga buah lagu hit dibawakan Rhoma. Ada lagu “Di Balik Kerudung Putih”. Setingnya di padang pasir. Kamera menatap langit biru. Lalu kamera nyemprot kuda yang berdiri sendiri di bawah pohon. Lela berkerudung putih. Naik kuda. Kuda dituntun Rhoma yang di punguknya tergantung caping. Puter-puter padang pasir nggak tahu mo ke mana. Nyari tempat rimbun kali... Hehe otakku kok ngeres.

Lalu dengan menenteng tas kecil—kayak tas kecil yang biasa saya pake itu—Rhoma bertandang ke panti asuhan. Dan saat ditanya ustaznya siapa yang datang, serempak anak-anak yatim itu menjawab: "Kak Rhoma, Kak Rhoma...." Di panti itu Kak Rhoma menyumbang dana, dan tentu saja ya ceramah. Assalamu'alaikum wr wb....

Juga tak ketinggalan nyanyi. Anak-anak itu pun goyang kepala. Ke kanan ke kiri. Yatim piatu, malang nasibmu. Semoga tuhan melimpahkan rahmatnya padamu. Amin allahuma ya amin...

Setelah kamera menyapu kelas, lalu adegan goyang-goyang dialihkan ke pantai. Kayaknya di Ancol tuh. Lalu berakhir di Monas. Anak-anak itu bergandeng-gandengan dan menyanyi bersama... Di situ tergambar begitu dekatnya Kak Rhoma dan anak yatim. Sebetulnya lagu ini terjemahan bebas surat al-maun yang menjadi salah satu ayat pamungkas orang-orang Muhammadiyah, yakni para pendusta agama adalah mereka yang tak menafkahkan hartanya di jalan Allah.

Malamnya anggota-anggota Soneta rapat mirip pengajian. Pake peci, baju koko dan tangan memegang tasbeh. Ternyata Soneta diundang ke acara silaturahmi nasional. Soneta tampil. Anggota-anggotanya memakai baju kombinasi koko Betawi, Pakistan, dan Aladin. Kecuali Rhoma yang berjubah hitam-putih.

Eh, waktu nyanyi “Nafsu Serakah” di depan orang-rang yang berpakain safari—kayaknya pejabat-pejabat—tiba-tiba muncul gitu aja latar gambar kayak film perang. Ada bom meledak dar der dor. Tapi nggak jelas juga perang. Karena cuma terlihat kawat berduri dan debu mengepul. Ada yang turun dari jip, memegang bambu. Berlari...

Perang benaran ding.... Sebab ada kilas balik yang nggak jelas, seakan Soneta Grup bukan bermain di depan pejabat, tapi bermusik di tengah perang. Anggota grup Soneta bersalin pakaian. Dari koko aladin lalu memakai pakaian perjuangan TKR dengan ikat kepala merah putih serta muka belepotan daki. Bukan renteng peluru di dada, tapi gitar.

Mungkin ini ya yang dimaksud oleh judul film ini: Perjuangan dan Doa. Tapi menurut saya ini film 100 prosen film ceramah verbal agama kok. Entahlah. Entar kalau dianalisis lebih dalam nanti jadi review film gaya kompas. Males ah.

Dan memang nggak perlu dianalisis, karena setelah lagu itu berakhir yang muncul dilayar televisi adalah kata ini: “Wassalam”.

Oh Cinta.... Oh India....

kontributor: Nashi Kotho Khan

Pacarku suatu kali datang ketika aku tiduran di dalam kamar. Kuletakkan buku, dan dia menghadiahkanku satu kecupan, tak cukup sekali, berkali-kali dan ranjang dalam sekejap kusut dan berantakan.

Kami bertatapan penuh haru dan rasa senang. Kembali dia menghadiahkan sebuah pelem ia pinjam dari tetangganya yang baru pulang dari Malaysia.

“Pelem bagus. Mohabbatein. Dah nonton?” dia bertanya.

“Belum. Yang lagunya banyak diputar di vcd-vcd itu ya?”

Dia mengangguk dengan mata berbinar. Senang dia, bisa ngasih kejutan.

“Yuk, lihat. Awas loh nggak tahan nangis. Pelemnya kayak kita, loh, sayang. Duh terharu sekali.”

Aku memeluknya segera. Sudahlah, apa yang tidak “kayak kita” bagi sepasang anak muda seperti kami yang menganggap dunia akan runtuh esok pagi?

Kaset disetel. Pelem dimulai.

Ada daun-daun yang bertebaran setiap ia ditiup angin. Tittle pilem muncul, judul, para pemain, sampai sutradara. Sayangnya semua deretan tittle itu aku lupa, kecuali Sakhruk Khan dan Amithabaccan. Tak tanggung-tanggung, tiga kaset, Bung! Dan jangan harap untuk yang ini kami bisa bosan. Sebab ada goyangan, ada nyanyian, dan tentu saja ada (eng... ing... eng...): pusar, saudara-saudara. Sekali lagi pusar!

Dan tentu si Jhoni Lever yang lucu itu, selalu muncul di hampir setiap pelem Khakhakha.

Dimulailah kisahnya tentang tiga orang mahasiswa baru di sebuah College (betulkan lah tulisannya bung redaktur jika salah) yang semua mahasiswanya adalah cowok. Tak boleh ada perempuan pokoknya. Alasan ini mencuat ketika seorang dosen biola datang ke sana. Tentu saja namanya Rahul. Gak mungkin kan namanya Asep? Apalagu Dudung.

Sementara Kepala College menghadapi setiap orang dengan dingin. Dan tentu saja Sang Kepala ini perempuan. Dan akhirnya pacaran deh Si Kepala dan Si Dudung ini. Eh salah, si Rahul.

Wuih... jujur saja, kebencian begitu tebal pada si Amithabachan yang dulu selalu menjadi hero itu. Apalagi tiga laki-laki di pelem itu mendapatkan pujaan hatinya, yang masing-masing cantik dan seksi-seksi. Saya sebagai penonton harus mengikhlaskan mereka jadian. Dua orang mengalami permulaan cinta yang mulus, yang satu, duh malang nian dia, jatuh cinta pada seorang janda muda, mantan istri seorang pilot yang meninggal ketika mereka berulang tahun. Penyebabnya? Seperti di negeri ini, kecelakaan pesawat lah. Dan di malam pertama pula. Jadilah janda ini, perawan seumur hidup yang tak bisa mengecap birahi. Duh! Saya memeluk pacarku erat-erat dan berharap: “Musibah macam begituan tak akan terjadi pada kita, sayang.....”

Sejak kedatangan si Rahul yang pintar bermain biolah inilah College tersebut mulai mendapat tekanan. Si Kepala sejak awal tidak suka pelajaran kesenian. Dan cerita kemudian mengalir bak film Dead Poet society-nya Robin Williams. Persis banget.

Sudahlah, aku tak akan ceritakan bentuknya serupa apa, bayangkan saja anda tengah melihat sang guru mengajar puisi pada murid-muridnya, mengajarkan mereka sedikit membangkang dan sebangsanya. Hanya saja si Rahul ini lebih tampak gagah, muda dan selalu menenteng biola. Sisanya? Nyanyi-nyanyi lah, nari-nari, pacaran dan permainan biola tadi itu.

Pertanyaannya, kenapa aku begitu nikmat menyaksikannya? Jujur aku tak begitu suntuk nonton pelem Hollywood. Makanya aku gak kenal bener dengan si Robin Williams tadi.

Si guru biola, Rahul, menyarankan dan mendukung habis-habisan kalau sekolah itu menjadi sekolah umum, ada cewek dan cowoknya. Tapi itu berseberangan dengan Si Kepala tadi. Dan puncaknya, tiga murid tadi harus dikeluarkan dari sekolah.

Sebelum itu terjadi, bukan pelem india namanya kalau tidak mengasih kejutan yang berurai air mata. Si Rahul datang ke kediaman Si kepala. Dan, duh... (sebentar saya menghapus air mata dulu) ternyata dia adalah mantan kekasih anak kepala sekolah yang meninggal dunia karena bunuh diri.

Sebentar, pemirsa sekalian. Akan kita tengok masa lalu sedikit. Rahul ini ternyata mantan siswa sekolah ini juga dulunya, yang pacaran dengan si cewek (siapalah namanya), tapi ditentang sang ayah. Si Rahul diusir dari sekolah, si cewek bunuh diri, sejak itu Si Kepala jadi orang yang kesepian seumur hidup dan menutup diri dengan dunia luas. Setiap pagi dia datang ke depan kampus memberi makan burung-burung sendirian, dengan kesunyian seorang lelaki tua (kira-kira sesunyi si kolonel Aurelio Buendia di novel Marquez itu kagak ya?). Dan ternyata, Rahul adalah laki-laki itu, yang datang untuk menghabisi kekeraskepalaan Sang Camer, yang sekarang sudah jadi Si Kepala.

Dialog-dialog sengit dan romantis berpilin-pilin, tak satu kalimat pun bisa dilewatkan terjemahannya. Penuh haru dan menyedihkan.

Eit, saya lupa. Si Rahul ternyata selalu setia dengan perempuan yang sudah mati itu. Bayangkan, ia selalu dikuntit sang hantu kemana pun dia pergi. Itu pulalah yang menyebabkan Si Rahul menyukai hidupnya kini, sebab sang kekasih selalu ada di sampingnya, meski pun cuma dia selama ini yang bisa melihatnya. Dan tahukah kalian misi Si Rahul untuk sisa usianya?
“Saya ingin menyelamatkan cinta. Agar setiap pecinta selalu merasa bahagia....” Waw... heroik banget! Heroisme ala Hindia. Heroisme yang menangis-nangis. Beda banget ya sama heroisme Hollywood yang dar der dor.

Uh, para pemirsa sekalian, pacarku sekarang gantian memelukku erat, lebih dekat, lebih hangat.

Lalu cerita mengalir dengan debar dan menggetarkan. Tibalah masanya ketiga siswa itu dihadapkan di sidang sekolah. Semua murid berkumpul, ketiganya dipanggil. Adegan ini bak menyaksikan pelem Harry Potter. Ketengangan terasa di sekitar kami. Sebenarnya kami tak perlu deg-degan sebab sebagaimana lazimnya pilem india, semua selalu berakhir bahagia.

Dan begitulah memang, si murid tak jadi dipecat, Si Kepala dalam waktu satu malam telah mengubah banyak hal dalam hidupnya yang dilewatkan hampir selama puluhan tahun.

Bayangkan, cuma semalam dan sekat psikologis pun terbuka. Perempuan-perempuan, para gadis entah dari mana datangnya menyerbu ruangan itu. Dan berakhirlah pagi itu dengan nyanyi-nyanyi dan tari-tarian.

Besoknya, lihatlah, Rahul dan Sang Kepala begitu akrab. Mereka berjalan beriringan memberi makan burung-burung. Belum lengkap ending-nya kalau kemudian sang hantu tak kembali muncul. Dia memegang tangan sang bapak tanpa dendam sedikit pun. Sejak itu Rahul harus berbagi dengan mantan calon mertuanya (aneh ya, mantan calon. Piye toh?).

Dan selesailah... tinggal kami yang masih berpelukkan. Oh cinta, oh India, oh masa muda. Oh Rahul. Oh Amitabhachan. Oh semuanya.

Uh, pelem yang penuh gejolak, yang akan mengalir ke muara. Mohabbat adalah cinta. Ya, Cinta.

Kok saya jadi ingat si Pat Kay yang ada di serial Kera Sakti ya. Dia kan sering bilang: Beginilah cinta... deritanya tiada Rahul!