"Berisik" Pasir Berbisik

kontributor: agung de ha

Nonton film, nonton manusia. Bukan hanya film yang bisa ditonton. Tapi juga penontonnya adalah film itu sendiri.

Ini terjadi ketika saya putar film “Pasir Berbisik” di rumah, di pedalaman Jawa Tengah. Di sepuluh menit pertama film itu tiba-tiba Pak Lik berkomentar, “Film kok nang wedhi terus (film kok cuma bersetting pasir terus)”.

Komentar Pak Lik benar. Sedari awal, film ini memang bersetting pasir. Maklum judulnya saja “Pasir Berbisik”. Setting di pasir itu dimulai ketika Daya (Dian Sastrowardoyo) tubuh moleknya tertelungkup dan mendengarkan bisikan pasir. Baju yang dikenakannya sobek sana-sini. Itu kostum ndeso. Meski berperan begitu Dian tetap….

“Eh…eh……kok omahe diobong to?” tanya Pak Lik terheran. (Maklum, wong ndeso sering terheran kalau melihat sesuatu yang asing di mata mereka)

Saya tak berkomentar. Saya sok-sokan serius menyaksikan alur cerita yang asing di mata saya. Ketika, di film itu, tiba-tiba gubug-gubug liar di sepanjang pantai itu dibakar massa. Berlian (Christine Hakim), yang jadi dukun aborsi keple-keple lantas mengajak Daya, anaknya, pergi mencari daerah pemukiman baru. Daerah berpasir, tentu saja.

Dalam perjalanan, di adegan film itu, si wajah “Dian” tampak belumur pasir. Kaki lejangnya mengayun gontai. Selain lejang, kaki “Dian” juga tampak mulus. Masuk akal tentu saja. Pasir kan lembut. Gak mungkin lah yaw… menggoresi kaki mulus “Dian”. Kaki “Dian” mulus ya? Oh….

Tapi “Christine” dengan raut muka serius tetap mengajak melanjutkan perjalanan. Sampai datang badai pasir. Ibu melindungi Anak dengan kain selendangnya. Badai pasir dengan suara gemuruh berlalu.

Saat melihat fragmen itu Pak Lik berkomentar lagi, “E..ee…eee… mbok ditolingi kae…(ditolongin itu).”

“Mbok luweh (biarin),” timpal anak Pak Lik.

Saya cuma diam. Sesekali melirik ke arah dua manusia ndeso itu. Batin saya terus bergulat: ingin mengumpat tak dapat, tapi ditahan kok….

Tak kuat. Si Daya mengeluh dalam perjalanan. Berlian tetap ngotot melanjutkan perjalanan. Nan Achnas, sutradara film ini, mungkin terilhami La Grande Voyage (Ngawur wae… wong La Grande Voyage baru dibikin belakangan je…)

Sampai akhirnya Berlian dan Daya menemukan daerah baru. Di situlah Daya menemukan teman sepinya, Sukma (Dessy Fitri).

“E…eee..eeee…..kok pincang” lagi-lagi Pak Lik mengomentari Sukma, teman Daya, yang pincang dalam film itu.

“Bapak kiribut wae ….(bapak ribut melulu),” timpal kemenakan saya.

Saya cuma diam. Tak menanggapi. Saya bingung denagan maksud film ini. Tiba-tiba saja ayah Daya pulang. Dari mana Agus (Slamet Rahrdjo) tahu alamat istrinya, padahal itu kan daerah tak bertuan?

Agus, ayah Daya, yang tergiur uang, akhirnya “menjual” anaknya kepada Suwito (Didi Petet). Dan akhirnya adegang berlanjut pada Dian Sastrowardoyo, pemeran Daya itu, memerankan diri memerawani dirinya dengan jari. Coki coki lah bahasa okem-nya. Ah, gak tega aku ngomong kalau Dian Sastro idaman pria se pulau Digul itu Mastur…. Lebih santun ngomongnya Dian lagi meranin adegan Mandra (Mastur sama Mandra kan adik kakak!)

“Dedi ki ngopo to…?” komentar Pak Lik melihat Dedi, nama kemenakan saya, yang cengar-cengir. Si Dedi tampak belagu.

Saya cuma mesem. Melihat akting Didi petet yang belagu. Dian Sastrowardoyo yang berlagak kikuk dan lugu. Melihat Dedi yang cengar-cengir. Mendengar celoteh Pak Lik. Melihat Bapak yang datang dari kamar mandi beberapa detik melihat adegan Daya yang...

Ah…Si Sukma akhirnya mati. Si Daya kesepian lagi. Cup… cup… Dian, jangan nangis dong! Masih ada abang di sini.

Berlian menangis menyumpahi orang lelaki yang menghancurkan hidup anaknya. Agus minggat (mati po ya?). Daya dan Berlian tetap tinggal di tanah berpasir.

“La kok bubar…” komentar terakhir Pak Lik di menit ke-106 Pasir Berisik.

“Maksude opo to mas?” tanya kemenakan pada saya. Aku diam saja.

“Lha, cewek yang cantik tadi itu nama aslinya siapa toh Mas?

Tak sampai sepermpat detik aku langsung menjawab kilat: “Namanya Mastur!”

“Lho kok Mastur? Orangnya kan cewek, Mas?”

Aku tergeragap. Sialan. Sejam lebih nonton film absurd ini kok yang nempel cuma pas adegan “Dian” lagi Mastur… Eh, salah, Omas!

Tawuran yang berakhir dengan Nyanyi dan Menari

kontributor: nashi kotho khan

“Dah liat aksi geng di India belum? Rugi lu...” seorang teman menyenggol bahu saya yang sedang memegang kartu.

“Pelem baru, nih,” lanjutnya.

Saya tidak mendengarkan kata-katanya. Harapan saat ini adalah kartu di tangan bisa habis sampai terakhir dan menerima uang sebagi pemenang putaran ini.

“Shahruk Khan lo yang main. Josh judulnya. Asyik benar. Ada Aishwarya Rai juga,” imbuhnya.

Sektika saya berteriak “Mati”! Lalu membanting kartu. Dan seketika menyambar kaset yang dipegangnya.

Teman tadi marah, dan mengambil kartu saya dan berteriak, “Woiii... gak jadi mati nih!”

“Hoi, tinggalin uang untuk bayar dong.” Ia berteriak ketika saya sudah sampai di depan Vcd pemilik warung, tempat kami membanting kartu.

Seketika, lagu Kuch-kuch Hota Hai berhenti. Jreng-jreng suara motor terdengar. Orang-orang yang khusuk menikmati lagu india memaki. Mana aku peduli!

Dan mulailah perseteruan antar geng itu. Shahruk Khan bersaudara dengan Aishwarya Rai, keduanya tampak metal dan keren. Wuih.. mereka tinggal di sebuah gang. Orang tuanya telah meninggal. Jadilah mereka dua saudara yang nakal dan bandel yang mempunyai geng di Gang itu. Aishwarya Rai tampak sangat tomboi dan energik.

Adalah Rahul, adik seorang ketua geng yang menjadi musuh si Shahruk Khan, suatu hari telah jatuh cinta dengan si Aiswarya Rai, adik jagoan kita tadi. Konyol kan? Masa mencintai musuh? Tidak pelem india namanya kalau tidak seperti itu.

Si Rahul memang terlalu manis untuk menjadi penjahat, makanya di pelem ini ia bukan orang jahat. Kakaknya saja yang serem dan suka berkelahi dengan si Dev. Perkelahian yang manis dan lucu. Bayangkan, ketika dua kubu sedang bertemu dan siap dengan perlengkapan masing-masing, seorang pendeta yang disegani datang dan menyaksikan.

Apa yang terjadi? Dus, jadilah aksi itu menjadi tempat nyanyi-nyanyi dan menari. Dan pertarungan tak sempat terjadi.

Si rahul begitu mencintai gadis tomboi adik musuh kakaknya ini. Bayangkan, mereka tinggal di tempat di pinggiran kota yang nyaris tergusur di komplek yang sama, hanya beda gang. Tiap kelompok tidak boleh melewati gang musuhnya kalau tidak mau mati konyol. Tapi si Rahul nekat, oleh cinta dan rasa sayang.

Rahul yang memang tidak pernah bergaul dnegan preman-preman segang nya (dia datang dari sebuah University) dan berniat membuka toko roti di pinggiran jalan. Di pelem India, orang baik kan memang harus tampil sabar dan bersih dari kekonyolan dan keburukan apa pun. Nah, rahul begitu santun menerima kelakuan Dev dan kawan-kawan yang setiap malam memporandakan tokonya.

Dan cinta telah mengalahkan segalanya. Aiswirya Rai ternyata akhirnya menerima Rahul (siapa yang jadi tokoh ini ya?) dan bercinta diam-diam. Percintaan yang sembunyi-sembunyi tentu saja.

Shahruk Khan tampil sangat sangar dan tidak pernah bercanda dan tertawa kecuali kalau sedang nyanyi dan nari. Nah dia ternyata juga jatuh hati pada seorang cewek yang tinggal di gang musuhnya. Tiap malam dia mengganggu si cewek. Tapi selalu diperlakukan buruk olehnya, karena Dev norak sih. Masa menyatakan cinta pada suatu malam dengan datang diam-diam ke rumah si cewek dan memutar sebuah lagu dari tape rekorder karena ia telah gugup oleh pesona si cewek. Marahkan si cewek yang sudah terlanjur tersanjung itu.

Eit bukan itu, tapi kisah cinta si Rahul yang makin mempesona. Suatu hari mereka pacaran di sebuah tempat yang sepi. Ah, percintaan membuat orang lalai dan lupa banyak hal. Sekelompok orang mengintai si rahul dengan clurit di tangan. Dan tiba-tiba...

“Song...” teriak teman saya senang sambil membanting kartunya.

Kakak si Rahul tiba-tiba muncul di saat yang tepat. Entah dari mana. Maka terjadilah perkelahian antar geng. Kakak si Rahul berjuang habis-habisan untuk menyelamatkan si adik yang terlalu tampan untuk bisa berkelahi. Dan....

“Joker, As Skop. Kawin. Bayar... bayar!” teriak teman saya tadi.

Asu! Jadi dia sengaja membawa pelem india agar dia bisa main kartu menggantikan saya dengan uang saya. Kurang ajar bener. Biarlah, lagi tanggung nih.

Matilah si kakak. Berdarah-darah dan tragis sekali.

Bukan polisi India kalau tidak datang terlambat (seperti di indonesia saja ya). Dan persidangan pun terjadi. Dev telah membunuh kakak si Rahul. Hilanglah wajah sangarnya. Geng yang aneh, permusuhan bebuyutan itu memang hanya berakhir dnegan sedikit lecet. Dan hari ini si Dev telah melakukan sesuatu: membunuh.

Saksi di datangkan. Dan saksi kunci tentu saja Rahul yang tahu persis kejadian itu. Dia dengan kesabaran sempurna mengatakan hal sebenarnya. Si kakak memang sudah menyiapkan parang dari rumah dan berniat membunuh Dev. Dan dev justru harus membunuh karena nyawanya terancam.

Duh, tidak ada kobar amarah dan balas dendam, tidak seperti pelem yang lain.

Tentu ini karena cinta. Dan begitu saja pengadilan melepaskan Dev. Dan endingnya? Biasalah, Rahul dan adik si Dev berpelukan. Dev meminta maaf, perseteruan selesai. Dan eiit, ini pelem india bung, maka selalu penuh kejutan. Cewek yang ditaksir datang dan memberi kecupan. Maka...

“Uangnya habis. Tambah modal dong,” bisik teman saya di telinga.

Asu! Maki saya, tentu dengan bahasa Padang sambil berusaha mengusap air mata.

Satu lagi penutup cukuplah membuat mata saya basah oleh haru dan bahagia.

Badut yang Seneng Khotbah

kontributor: pramuka lazuardi

Siapa bilang cari uang di Jakarta susah? Jakarta gudangnya duit!

Boleh jadi satu paket pertanyaan lengkap langsung dengan jawabannya tersebut begitu mudah keluar dari mulut orang yang ekonominya mapan. Sementara di lain pihak; si orang miskin yang muncul hanya kalimat datar yang berat, susah cari uang di Jakarta.

Bagi orang yang terhimpit hutang dan kebutuhan sehari-hari, bukan tidak mungkin mengambil jalan pintas yang picik, apalagi jika seorang perempuan berwajah cantik dan fisik bagus. Pilihannya jelas: jadi keple! (aku pake kata “keple” biar bangsa Indonesia tahu bahwa di Jogja ada kata lain yang lebih estetik selain kata “jablay”).

Tapi bagi pasangan suami istri Deddy dan Menul semua jalan pintas picik diatasi dengan iman dan taqwa mereka (Wah… kaya pelem Oma Irama). Deddy adalah bapak dari seorang anak laki-laki yang bekerja sebagai badut di sebuah tempat hiburan. Kadangkala ada juga kerjaan membadut pada pesta-pesta orang kaya (nah, ini bedanya sama Oma: kalo Oma Irama kan gak pernah memainkan karakter tokoh yang menjadi badut, walaupun kalau dipikir-pikir, makin tua Oma juga makin kaya badut).

Begitu susahnya keluarga itu hingga untuk membelikan buah apel yang diinginkan anaknya tak jua kesampaian. Buah surga itu sempat dicicipi Bimo dari seorang ibu dari dalam mobil yang marah akibat Bimo menyeberang sembarangan dan hampir terjadi celaka. Namun Bimo menyikapinya dengan menganggap Ibu tersebut adalah wujud terkabulnya doa untuk makan buah apel. Padahal apel yang dilempar itu sudah tergerigit si Ibu dan jatuh ke tanah.

Saya menonton film ini sudah lama sekali, sekira ketika saya masih sekolah di kota kecil Banjarnegara. Pada waktu itu saya menyaksikannya siang hari di televisi. Beberapa bulan lalu saya pergi ke glodok untuk mencari keping cakram lagu-lagu format MP3 dan beberapa film luar. Saat itu terpampang lumayan banyak film indonesia seperti film-film Rhoma Irama yang diborong teman saya (siapa lagi orangnya kalau bukan Gus Muh Irama).

Ketika terselip sampul film ini yang ada dalam pikiran saya adalah harus membelinya. Maka sepulangnya dari glodok, saya menenteng tas kresek berisi cakram film badut-badut kota dan beberapa cakram berisi lagu. Film ini baru kutonton lagi semalam, meski sudah lama kubeli. Ada perasaan bahwa kita bisa belajar banyak tentang kehidupan dari tontonan ini.

Jika pernah menyaksikan film Life is Beautiful yang dibintangi Roberto Benigni, maka saya seperti melihat kesamaan bagaimana seorang ayah selalu berusaha untuk menyenangkan anaknya dalam keadaan yang susah sekalipun (Nah, di sini pula bedanya dengan Oma. Oma jarang banget kan memerankan diri jadi ayah. Bernainya kalo main film cuma pacaran doang. Kagak berani tanggung jawab. Pas udah tua juga gitu. Cuma ada kemajuan dikit sih, gak cuma berani pacaran doang, tapi dah meningkat berani kawin. Kawin siri maksudnya. Hehehe….).

Salah satu adegan yang menceritakan sakitnya Bimo misalnya, Deddy yang tak mampu membawa anaknya berobat menyuruh Menul menyiapkan bawang merah dan minyak lentik. Kemudian Deddy bertingkah laiknya dukun sambil mengucap mantra dan mengusapkan minyak lentik yang dicampur bawang merah ke sekujur dada dan punggung Bimo. Sebuah usaha membuat anaknya tertawa kala kondisi tak mendukung untuk tertawa, membuat saya belajar menertawakan hidup itu sendiri.

Pesan moral (waduh, kok jadi kaya Oma lagi?) yang digelontorkan dalam perbincangan tokoh-tokohnya sangat terasa sederhana seperti biasa kala kita mendengar wejangan dari orang tua tentang baik dan buruk, sebab-akibat, maupun tentang laku proses dalam mencapai sesuatu. Salah satunya tentang judi, diceritakan bahwa teman sesama badut yang gemar memasang lotere dan berkali-kali kalah (bener kan kaya Oma? Judi… jreng…jreng… meracuni keimanan….).

Nasihat dari temannya, Tarjo, bahwa dalam judi menang belum tentu namun kalah itu pasti tak dihiraukan oleh si badut yang suka judi ini. Suatu ketika dia menang judi dan mendapat uang sekitar tigaratus juta rupiah, segera dia berfoya-foya, beli mobil mewah, memelihara perempuan cantik yang ternyata dari lokalisasi. Tak sampai 3 bulan seluruh hartanya ludes, dan kembali menjadi pengangguran.

Terselip juga pesan satire tentang kenyataan begitu banyak sarjana yang ikut menjadi badut karena begitu sulitnya mereka mendapat kerja. “Biar badut tapi ‘kan sarjana.…”

Kalimat itu terlontar masih dari teman Deddy yang gemar judi tadi. Setelah Deddy sukses dengan bisnis restorannya, datanglah si teman penjudi ini minta kerjaan dan yang tersisa tinggal menjadi tukang parkir. Segera dia menggerutu kepada Deddy cs kenapa tega memberi pekerjaan tukang parkir kepada teman sendiri. Hal itu diceletuki Tarjo, “Biar tukang parkir tapi kan sarjana.…”

Kesenjangan antara si kaya dan si miskin berulangkali terselip dalam jalan ceritanya. Inilah wajah Indonesia yang sebenarnya, tak cuma dalam film ini. Realita yang bisa ditemukan secara kasat mata. Saya terkadang jadi berpikir bagaimana jika keadaan tersebut berbalik, si kaya jadi miskin dan si miskin jadi kaya.

Entahlah, toh semua hanya bagian dari hidup yang tidak langgeng seperti yang diungkapkan beberapa kali dalam dialog Deddy dan Tarjo. Kita harus berpikir dan bertindak untuk mencapai apa yang kita mau, untuk kehidupan yang lebih baik. Jerih payah, kejujuran, dan kesabaran merupakan pesan moral yang paling ditonjolkan dalam film yang mendapat penghargaan khusus pada Forum Festival Asia Pasifik di Sydney Australia.

Andaikata banyak pejabat, orang berpengaruh, serta orang-orang kaya menonton film ini dan tak cuma menonton film indonesia yang kebanyakan mengangkat roman remaja kaya dan serba instant, mungkin Indonesia tak akan seperti sekarang ini, begitu banyak persoalan yang berakar dari rendahnya moralitas orang-orang kalangan atas yang mampu mengubah kondisi kehidupan masyarakat. Yah…banyak yang memakai topeng untuk menutupi wajah asli mereka, seperti para badut.

Andaikata semua orang menonton film ini. Sayangnya mereka lebih suka nonton film Begadang. Makanya, bener kata Gus Muh Irama: Jangan Banyak (Nonton) Begadang. Nonton Badut wae!

NB: Zen…tulisanku ketoke serius banget mbangane sing liyane, arep diedit po ora terserah kowe….,kok serius yo…kowe ra ngomong sihhh, hehehe…. (tulisan ini dikirim ke redaktur nonton-film.blogspot.com. sengaja dipasang. Biar agak lucu. Soalnya reviewnya serus banget sih….)

Kata Oma: Bir Haram, Pacaran Halal

kontributor: gus muh irama

Saya itu sudah jarang lihat daftar acara televisi setiap hari. Yang saya tahu, TPI dan Lativi punya stok film Rhoma Irama yang melimpah-limpah. Nah, Sabtu belum lama ini, selagi asyik nonton dar-der-dor antara dua sniper KGB dan FBI (benar nggak sih) dalam film Sniper 2 di Trans TV, dari jauh saya dengar ada sayup-sayup suara Raden Oma Irama atau biasa dipanggil Rhoma Irama dari rumah tetangga. Maaf saja ini, telinga saya masih cukup peka dengan suara lirih Rhoma yang bariton itu.

Langsung saja saya mendekat ke televisi. Sasaran saya dipastikan cuma dua saluran: kalau nggak Lativi ya TPI. Dan TPI ternyata, Saudara. TPI sedang memutar film Perjuangan dan Doa. Film ini diproduksi sekira tahun 1980.

Saya nggak ngeliat awal-awalnya karena film hollywood sialan itu sudah menyita perhatian awal saya. Yang saya lihat sudah pada adegan beberapa preman yang besar dan brewokan marah-marah kepada anggota tim Soneta di belakang panggung setelah mereka tampil. Mereka sewot benar dengan kalimah-kalimah agama di lirik lagu Rhoma yang berjudul “Iman” dan “Syahadat”.

“Apa maksudmu mengatakan mengapa yang asyik-asyik itu yang dilarang? Mengapa kamu bilang minum-minuman itu ngikuti cara binatang?” seru salah satu dari mereka.

Lalu di belakang panggung itu terjadi adu moncong dan Rhoma menceramahi preman-preman itu. Sudah menjadi langganan film Rhoma bahwa musuhnya itu ya tukang jigo (main kartu), pemabok, dan pemalak. Nggak jauh-jauh dari soal akhlak dalam masyarakat. Makanya jangan heran kalau Rhoma marah benar ama pantat Inul. Secara genealogis, udah dari sononya dia selalu sewot dengan yang kayak gituan. Dan di film ini, sebagaimana tersirat dari judulnya, sangat royal mengeluarkan hadis dan firman Tuhan untuk menghantam perbuatan-perbuatan maksiat.

Film ini berisi perjuangan keras Rhoma agar bagaimana kalangan Muslim bisa menerima bahwa agama dan musik (dangdut) bisa sejalan. Sebab masyarakat bertanya-tanya, kenapa harus dangdut di mana hal itu membuat orang berjoget-joget ketika dinyanyikan lagu syahadat misalnya. Itu kan mudharot. Mengapa bukan kasidah saja.

Rhoma dan Soneta juga diprotes kalangan santri karena telah menjual firman-firman Tuhan untuk publisitas dan merayu cewek-cewek muda. Tentu saja Rhoma membantah. Ia kutip hadis sana, pinjam firman ini untuk membelah diri dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan pondok Al-Mutmainah pimpinan Kiai Alwi.

Di adegan ini nyaris 30 menit kita disuguhi ceramah verbal agama yang monoton. Kamera boleh dibilang nggak gerak. Seperti diletakkan begitu saja mengikuti diskusi agama dengan lidah difasih-fasihkan. Bangku-bangku berjejer-pjejer seperti waktu kita sekolah dulu. Di situ peserta yang rata-rata berbaju putih duduk. Pacarnya Rhoma juga di situ sambil sesekali mesem kalau Rhoma terlihat cerdas ngasih jawaban.

Rhoma di mimbar kiri, sementara santri yang protes, di antaranya Iman, Said, dan Ahmad ada di mimbar kanan. Di tengahnya moderator—kayaknya setelah meniliki raut dan suaranya pasti deh itu Ustaz Sanusi yang sampai hari ini masih ceramah ditipi-tipi itu. Saya yakin kok. Telinga dan perasaan saya belum pikun amat untuk mengingat.

Nah, Kiai Alwi berada di tengah. Dan sudah ditebak juga, Rhoma direstui oleh Kiai untuk tetap bermusik. Alasan Rhoma agar anak muda yang gandrung musik dekat dengan Islam dan Soneta bisa menangkis serangan budaya dari Barat. Oh, Rhoma, mulianya niatmu. Allahu akbar.

Musuh Rhoma ternyata bukan hanya preman-preman kios yang tambun itu, tapi juga ayah pacarnya. Dalam film ini Rhoma pacaran sama anak tsanawiyah bernama Lela (Rica Rachim). Si Lela ini teman sekolahnya Rita (Rita Sugiharto) yang biasa dibawa Rhoma untuk backing vocal kalau Soneta manggung di acara sunatan atau pesta kawin. Uh uh, memang Rhoma ini dari dulu gandrung banget ama cewek pucuk ijo.

Lela dikisahkan seorang anak alim yang sering digodain preman. Ibunya juga alim. Yang soal justru bapaknya, si Mansyur (WD Mochtar). Si bapak ini seorang pengrajin bir yang tekun. Stok botol bir dan miras di rumahnya sudah bejibun.

Nggak ada yang mengejutkan, nggak ada plot yang rumit. Rhoma datang ke rumah itu. Tugasnya adalah menyadarkan Pak Mansyur bahwa minum-minum itu pekerjaan setan. Kalau nggak salah ada 3 atau 4 ayat yang terlontar di antara deretan botol bir yang berdiri berbaris mabuk di atas meja. Tentu saja Pak Mansyur tak mau diceramahi Rhoma yang tak tahu diri memacari putrinya itu. Rhoma pun diusir.

Lela sedih. Lalu nyanyi. Sedih sekali nyanyinya. Pas menjelang bait terakhir Rhoma ikut nyanyi. Berduetlah mereka.

Karena air seni setan dalam botol-botol bir itu, nyaris saja Pak Mansyur memperkosa Lela. Rhoma datang. Berkelahi. Rhoma dengan sangat kuat mendorong Pak Mansur. Kepala Pak Mansyur membentur dinding. Tapi nggak sampai mati. Dan jalan ceritanya udah ketahuan. Pak Mansyur ini langsung tobat begitu diberitahu Rhoma bahwa ia nyaris memperkosa putrinya. "Minuman laknat itu telah membuatku khilaf. Bapak macam apa aku ini," ia tereak-tereak seperti orang kesurupan jelang taubatan nashuha. Ia berlari ke ruang tamu. Ia pecahkan koleksi botol-botol minumannya. Lalu setelah lelah, ia mengangkat tangan dan menyebut-nyebut nama Tuhan. Udahlah, nggak usaha dijelaskan. Nggak menarik. Sebab setelah itu, si pengrajin bir ini memimpin solat berjamaah.

Nggak ada lagi konflik setelah itu—kalau pun ada sudah tahu sama tahulah. Bagaimana tidak, lha yang buat skenarionya juga si Rhoma. Nyaris semua filmnya. Tahu sendiri saja, ilmunya ya cuma segitu-gitu.

Kembali ke film. Sesudah Pak Mansyur mau solat kembali, 30 menit terakhir cuma nyanyi-nyanyi. Setidaknya tiga buah lagu hit dibawakan Rhoma. Ada lagu “Di Balik Kerudung Putih”. Setingnya di padang pasir. Kamera menatap langit biru. Lalu kamera nyemprot kuda yang berdiri sendiri di bawah pohon. Lela berkerudung putih. Naik kuda. Kuda dituntun Rhoma yang di punguknya tergantung caping. Puter-puter padang pasir nggak tahu mo ke mana. Nyari tempat rimbun kali... Hehe otakku kok ngeres.

Lalu dengan menenteng tas kecil—kayak tas kecil yang biasa saya pake itu—Rhoma bertandang ke panti asuhan. Dan saat ditanya ustaznya siapa yang datang, serempak anak-anak yatim itu menjawab: "Kak Rhoma, Kak Rhoma...." Di panti itu Kak Rhoma menyumbang dana, dan tentu saja ya ceramah. Assalamu'alaikum wr wb....

Juga tak ketinggalan nyanyi. Anak-anak itu pun goyang kepala. Ke kanan ke kiri. Yatim piatu, malang nasibmu. Semoga tuhan melimpahkan rahmatnya padamu. Amin allahuma ya amin...

Setelah kamera menyapu kelas, lalu adegan goyang-goyang dialihkan ke pantai. Kayaknya di Ancol tuh. Lalu berakhir di Monas. Anak-anak itu bergandeng-gandengan dan menyanyi bersama... Di situ tergambar begitu dekatnya Kak Rhoma dan anak yatim. Sebetulnya lagu ini terjemahan bebas surat al-maun yang menjadi salah satu ayat pamungkas orang-orang Muhammadiyah, yakni para pendusta agama adalah mereka yang tak menafkahkan hartanya di jalan Allah.

Malamnya anggota-anggota Soneta rapat mirip pengajian. Pake peci, baju koko dan tangan memegang tasbeh. Ternyata Soneta diundang ke acara silaturahmi nasional. Soneta tampil. Anggota-anggotanya memakai baju kombinasi koko Betawi, Pakistan, dan Aladin. Kecuali Rhoma yang berjubah hitam-putih.

Eh, waktu nyanyi “Nafsu Serakah” di depan orang-rang yang berpakain safari—kayaknya pejabat-pejabat—tiba-tiba muncul gitu aja latar gambar kayak film perang. Ada bom meledak dar der dor. Tapi nggak jelas juga perang. Karena cuma terlihat kawat berduri dan debu mengepul. Ada yang turun dari jip, memegang bambu. Berlari...

Perang benaran ding.... Sebab ada kilas balik yang nggak jelas, seakan Soneta Grup bukan bermain di depan pejabat, tapi bermusik di tengah perang. Anggota grup Soneta bersalin pakaian. Dari koko aladin lalu memakai pakaian perjuangan TKR dengan ikat kepala merah putih serta muka belepotan daki. Bukan renteng peluru di dada, tapi gitar.

Mungkin ini ya yang dimaksud oleh judul film ini: Perjuangan dan Doa. Tapi menurut saya ini film 100 prosen film ceramah verbal agama kok. Entahlah. Entar kalau dianalisis lebih dalam nanti jadi review film gaya kompas. Males ah.

Dan memang nggak perlu dianalisis, karena setelah lagu itu berakhir yang muncul dilayar televisi adalah kata ini: “Wassalam”.

Oh Cinta.... Oh India....

kontributor: Nashi Kotho Khan

Pacarku suatu kali datang ketika aku tiduran di dalam kamar. Kuletakkan buku, dan dia menghadiahkanku satu kecupan, tak cukup sekali, berkali-kali dan ranjang dalam sekejap kusut dan berantakan.

Kami bertatapan penuh haru dan rasa senang. Kembali dia menghadiahkan sebuah pelem ia pinjam dari tetangganya yang baru pulang dari Malaysia.

“Pelem bagus. Mohabbatein. Dah nonton?” dia bertanya.

“Belum. Yang lagunya banyak diputar di vcd-vcd itu ya?”

Dia mengangguk dengan mata berbinar. Senang dia, bisa ngasih kejutan.

“Yuk, lihat. Awas loh nggak tahan nangis. Pelemnya kayak kita, loh, sayang. Duh terharu sekali.”

Aku memeluknya segera. Sudahlah, apa yang tidak “kayak kita” bagi sepasang anak muda seperti kami yang menganggap dunia akan runtuh esok pagi?

Kaset disetel. Pelem dimulai.

Ada daun-daun yang bertebaran setiap ia ditiup angin. Tittle pilem muncul, judul, para pemain, sampai sutradara. Sayangnya semua deretan tittle itu aku lupa, kecuali Sakhruk Khan dan Amithabaccan. Tak tanggung-tanggung, tiga kaset, Bung! Dan jangan harap untuk yang ini kami bisa bosan. Sebab ada goyangan, ada nyanyian, dan tentu saja ada (eng... ing... eng...): pusar, saudara-saudara. Sekali lagi pusar!

Dan tentu si Jhoni Lever yang lucu itu, selalu muncul di hampir setiap pelem Khakhakha.

Dimulailah kisahnya tentang tiga orang mahasiswa baru di sebuah College (betulkan lah tulisannya bung redaktur jika salah) yang semua mahasiswanya adalah cowok. Tak boleh ada perempuan pokoknya. Alasan ini mencuat ketika seorang dosen biola datang ke sana. Tentu saja namanya Rahul. Gak mungkin kan namanya Asep? Apalagu Dudung.

Sementara Kepala College menghadapi setiap orang dengan dingin. Dan tentu saja Sang Kepala ini perempuan. Dan akhirnya pacaran deh Si Kepala dan Si Dudung ini. Eh salah, si Rahul.

Wuih... jujur saja, kebencian begitu tebal pada si Amithabachan yang dulu selalu menjadi hero itu. Apalagi tiga laki-laki di pelem itu mendapatkan pujaan hatinya, yang masing-masing cantik dan seksi-seksi. Saya sebagai penonton harus mengikhlaskan mereka jadian. Dua orang mengalami permulaan cinta yang mulus, yang satu, duh malang nian dia, jatuh cinta pada seorang janda muda, mantan istri seorang pilot yang meninggal ketika mereka berulang tahun. Penyebabnya? Seperti di negeri ini, kecelakaan pesawat lah. Dan di malam pertama pula. Jadilah janda ini, perawan seumur hidup yang tak bisa mengecap birahi. Duh! Saya memeluk pacarku erat-erat dan berharap: “Musibah macam begituan tak akan terjadi pada kita, sayang.....”

Sejak kedatangan si Rahul yang pintar bermain biolah inilah College tersebut mulai mendapat tekanan. Si Kepala sejak awal tidak suka pelajaran kesenian. Dan cerita kemudian mengalir bak film Dead Poet society-nya Robin Williams. Persis banget.

Sudahlah, aku tak akan ceritakan bentuknya serupa apa, bayangkan saja anda tengah melihat sang guru mengajar puisi pada murid-muridnya, mengajarkan mereka sedikit membangkang dan sebangsanya. Hanya saja si Rahul ini lebih tampak gagah, muda dan selalu menenteng biola. Sisanya? Nyanyi-nyanyi lah, nari-nari, pacaran dan permainan biola tadi itu.

Pertanyaannya, kenapa aku begitu nikmat menyaksikannya? Jujur aku tak begitu suntuk nonton pelem Hollywood. Makanya aku gak kenal bener dengan si Robin Williams tadi.

Si guru biola, Rahul, menyarankan dan mendukung habis-habisan kalau sekolah itu menjadi sekolah umum, ada cewek dan cowoknya. Tapi itu berseberangan dengan Si Kepala tadi. Dan puncaknya, tiga murid tadi harus dikeluarkan dari sekolah.

Sebelum itu terjadi, bukan pelem india namanya kalau tidak mengasih kejutan yang berurai air mata. Si Rahul datang ke kediaman Si kepala. Dan, duh... (sebentar saya menghapus air mata dulu) ternyata dia adalah mantan kekasih anak kepala sekolah yang meninggal dunia karena bunuh diri.

Sebentar, pemirsa sekalian. Akan kita tengok masa lalu sedikit. Rahul ini ternyata mantan siswa sekolah ini juga dulunya, yang pacaran dengan si cewek (siapalah namanya), tapi ditentang sang ayah. Si Rahul diusir dari sekolah, si cewek bunuh diri, sejak itu Si Kepala jadi orang yang kesepian seumur hidup dan menutup diri dengan dunia luas. Setiap pagi dia datang ke depan kampus memberi makan burung-burung sendirian, dengan kesunyian seorang lelaki tua (kira-kira sesunyi si kolonel Aurelio Buendia di novel Marquez itu kagak ya?). Dan ternyata, Rahul adalah laki-laki itu, yang datang untuk menghabisi kekeraskepalaan Sang Camer, yang sekarang sudah jadi Si Kepala.

Dialog-dialog sengit dan romantis berpilin-pilin, tak satu kalimat pun bisa dilewatkan terjemahannya. Penuh haru dan menyedihkan.

Eit, saya lupa. Si Rahul ternyata selalu setia dengan perempuan yang sudah mati itu. Bayangkan, ia selalu dikuntit sang hantu kemana pun dia pergi. Itu pulalah yang menyebabkan Si Rahul menyukai hidupnya kini, sebab sang kekasih selalu ada di sampingnya, meski pun cuma dia selama ini yang bisa melihatnya. Dan tahukah kalian misi Si Rahul untuk sisa usianya?
“Saya ingin menyelamatkan cinta. Agar setiap pecinta selalu merasa bahagia....” Waw... heroik banget! Heroisme ala Hindia. Heroisme yang menangis-nangis. Beda banget ya sama heroisme Hollywood yang dar der dor.

Uh, para pemirsa sekalian, pacarku sekarang gantian memelukku erat, lebih dekat, lebih hangat.

Lalu cerita mengalir dengan debar dan menggetarkan. Tibalah masanya ketiga siswa itu dihadapkan di sidang sekolah. Semua murid berkumpul, ketiganya dipanggil. Adegan ini bak menyaksikan pelem Harry Potter. Ketengangan terasa di sekitar kami. Sebenarnya kami tak perlu deg-degan sebab sebagaimana lazimnya pilem india, semua selalu berakhir bahagia.

Dan begitulah memang, si murid tak jadi dipecat, Si Kepala dalam waktu satu malam telah mengubah banyak hal dalam hidupnya yang dilewatkan hampir selama puluhan tahun.

Bayangkan, cuma semalam dan sekat psikologis pun terbuka. Perempuan-perempuan, para gadis entah dari mana datangnya menyerbu ruangan itu. Dan berakhirlah pagi itu dengan nyanyi-nyanyi dan tari-tarian.

Besoknya, lihatlah, Rahul dan Sang Kepala begitu akrab. Mereka berjalan beriringan memberi makan burung-burung. Belum lengkap ending-nya kalau kemudian sang hantu tak kembali muncul. Dia memegang tangan sang bapak tanpa dendam sedikit pun. Sejak itu Rahul harus berbagi dengan mantan calon mertuanya (aneh ya, mantan calon. Piye toh?).

Dan selesailah... tinggal kami yang masih berpelukkan. Oh cinta, oh India, oh masa muda. Oh Rahul. Oh Amitabhachan. Oh semuanya.

Uh, pelem yang penuh gejolak, yang akan mengalir ke muara. Mohabbat adalah cinta. Ya, Cinta.

Kok saya jadi ingat si Pat Kay yang ada di serial Kera Sakti ya. Dia kan sering bilang: Beginilah cinta... deritanya tiada Rahul!

Cinta Kok (Cuma) Sebulan....

kontributor: komang jegeg

Sedikit sinopsis (sedikit aja ya, kata yang punya blog gak usah serius-serius). Ini sesungguhnya film tentang seorang yang berjuang untuk tetap berarti di ujung umurnya. Yaitu Sara Deever, yang sekujur tubuhnya telah tergerogoti oleh semacam penyakit kanker, namun selalu ingin berusaha menikmati sisa hidup dengan bahagia dan membuat bahagia orang-orang sekitarnya.

Sara pun meninggalkan keluarganya karena berbagai alasan. Terutama karena Sara tak mau lanjut berobat. Ia pun kemudian hidup dengan menjalani percintaan-percintaan aneh dengan lelaki. Uniknya hanya sebulan. Satu lelaki dalam satu bulan (kayak anti nyamuk aja seeh).

Kenapa sih cuma sebulan?

Dan kenapa Sara memilih gaya hidup seperti itu. Menurutku, Sara ingin berarti bagi banyak orang. Jika satu lelaki dalam satu bulan, akan ada banyak lelaki yang nantinya akan mengenang Sara ketika ia meninggal. Lain halnya bila satu lelaki dalam satu tahun. Rasa-rasanya belum jalan setahun, Sara sudah mati duluan. Lalu tak banyak orang yang mengingatnya. (Hehehe)

Lalu ada dialog yang aku suka dalam film ini. Begini kira-kira:
Bila kita harus hidup dalam keadaan tidak normal, maka hiduplah dengan tidak normal dengan cara yang terbaik.

Aku sudah nonton film ini belasan kali. Biasalah. Film yang menguras airmataku sebagai perempuan cengeng (baca: mudah menangis).

Dan malam ini setelah aku menontonnya sekali lagi, aku tiba-tiba bertanya dalam hati, “Benarkah seseorang dapat jatuh cinta (bener-bener jatuh cinta lhooo) hanya dalam jangka waktu satu bulan?” Dan bila aku punya hak penuh untuk menjawab, aku akan bilang “Halah... Nggak mungkin...!!!!”

Ya, bagaimana bisa Nelson Moss (Keanu Reeves) jatuh cinta pada Sara Deever (lupa nama artisnya, sori yo) padahal mereka baru kenal kira-kira 3 minggu saja. Dengan latar kultur yang berbeda antara keduanya. Aku pikir perlu banyak waktu untuk saling menyesuaikan diri.

Kalo boleh sedikit kubandingkan diriku, aku tak pernah tuh jatuh cinta dalam sebulan. Sampai saat ini, aku tiga kali jatuh cinta. Dan selalu yang kujalani adalah, aku pacaran dulu baru jatuh cinta. Dan banyak juga hubungan yang kujalani dengan laki-laki, dan aku tak berhasil jatuh cinta padanya.

Nah, tiga kali jatuh cinta, rinciannya sebagai berikut.

Cinta Pertama, aku kenal mulai SD kelas I (wajar satu sekolah), pacaran mulai kelas II SMP, putus kelas III SMP, dan baru sadar kalo ternyata aku jatuh cinta padanya pada kelas II SMA (nah lho...)

Cinta Kedua, aku kenal kelas III SMA, jadian 7 bulan sesudahnya (masih kelas III SMA juga), dan baru jatuh cinta ketika aku semester III. Yah, udah putus juga.
Cinta Ketiga (nah ini paling cepet jatuh cintanya), kenal bulan Mei lalu jalan bareng, lalu aku jatuh cinta bulan Oktober, dan akhirnya berpisah Desember (naas nian...)

Nah, itu kalo aku. Kalo kata pepatah sih, lain padang lain belalang, lain aku lain di film kan?

Jangan Banyak Begadang

kontributor: gus muh irama*

Sekira bulan November 2002, bapak saya jauh-jauh melintasi laut Makassar dan laut Jawa ke kota jogja. Setelah sekian hari di jogja, saya tawarkan bagaimana kalau belanja oleh-oleh di Malioboro saja seperti beli batik untuk dibawa pulang ke sulawesi. Di Jogja, dan juga Solo, banyak sekali batik dan cinderamata untuk oleh-oleh tetangga.

Tapi saya tak menyangka si bapak meminta sesuatu yang nyaris sudah saya lupakan. Ia membelok di tikungan dan menawar permintaan. Allamak, dua hari tiga malam di perjalanan untuk sampai injak tanah Jogja, dia cuma ingin kaset Oma Irama. Kalau bisa filmnya sekalian.

Kata ibu, "Kamu carikanlah buat bapakmu lagu-lagu itu... supaya dia nggak rampasan sama cucu-cucunya kalau pas TPI mutar pilem Oma."

Bagi orang-orang kampung yang jauh dari episentrum industri hiburan, Rhoma Irama bukan hanya bintang pilem, tapi juga hero dan guru susila. Setelah sekian lama saya di Jogja, nyaris sosok Rhoma dan pilemnya terlupa bentuknya. Dan melihat pilem Begadang, hari-hari ini, saya seperti mau tersedak. Betapa konyolnya minat kecil saya dulu itu.

Mari nonton film Begadang. Secara tak sengaja keping CD film ini saya temukan di pojok paling kiri Glodok Jakarta sewaktu keringatan memilih film-film bokep dan beberapa film serial Cina seperti Kembalinya Pendekar Rajawali.

Film ini saya nonton pertama kali di bisokop kampung setelah 12 tahun diproduksi. Jadi kalau nggak salah usia saya waktu itu baru 12 tahun. Saya betul-betul terkesima dengan sosok ini. Lihatlah dadanya: kekar, berbulu, otot lengannya kukuh untuk berkelahi, dan, ini dia, selalu ada kalung hitam dari tali tambang yang menggantung nyaris sampai di pusarnya.

Perawakan Rhoma memang pendek gemuk. Dan nyaris semua pakaiannya selalu terbuka lebar di bagian dadanya. Rambutnya ikal. Dan suaranya itu. Bukan hanya pandai menyanyi dangdut, tapi bisa dengan fasih mengutip satu dua ayat dan hadis Nabi. Ia lelaki penuh susila. Dalam bahasa Ani, “Rhoma itu orgnya baik, sembahyang tidak ditinggal.”

Di warung itu ia memakai songkok dan di lehernya menggantung surban. Si penjaga warung, Benyamin S, hanya matanya yang kedip-kedip melihat kedatangan Rhoma. Sesekali ngakak. Rhoma mengambil sebatang rokok dari warung. Memantiknya. Tampaknya ia barusan datang dari pengajian di kampung sebelah.

"Diman, coba kau perhatikan mereka. Kau tahu Tuhan mengharamkan judi. Coba saja lihat. Betapa cela org yg menang. Dan betapa murung orang yang kalah.

"Ada alasan lain kenapa Tuhan melarang orang berjudi?" tanya Diman, temannya.
"Sebab setiap penjudi pasti melupakan kewajibannya untuk solat. Kalau sebagai manusia sudah bisa melupakan kewajiban, manusia itu pasti akan senang melakukan hal-hal munkar."

"Rhoma, pinjam uang dong," kata Ja'far yang tampaknya kalah sedang asyik berjudi.

"Meminjamkan uang untuk berjudi, sama dengan berjudi. Kalaupun saya punya uang saya tidak akan memberikannya."

"Udah, kalau nggak mau minjamin, nggak usah cermah di sini. Sana tuh ibumu ceramahi di sana..."

Rhoma marah besar ibunya disebut-sebut di tempat yang dalam istilah Rhoma: “tempat maksiat seperti ini”. Lalu gelutlah mereka. Dalam film ini, yang dilakukan Rhoma ya pacaran, tarung, ceramah, lalu nyanyi-nyanyi.

Rhoma pada paruh kedua film di penjara karena dituduh membunuh hostess Marni. Di penjara pun, Rhoma itu dikesani ya jago kelahi, penolong, penceramah, dan nyanyi-nyanyi juga. Preman yang jago pembunuh pun menjadi jemaah pengajiannya yang tekun dengar ceramah agama Rhoma di kamar tahanan yang sempit. Kalau nggak salah ada 4 ayat tentang neraka disambarnya dan ada dua hadis yang dicocorkannya untuk nakut-nakuti preman-preman asu itu.

Seting film ini kebanyakan di warung. Nyaris setengah film. Di warung itu Rhoma nyanyi, ceramah, dan pacaran. Di penjara Cipinang juga begitu itu.

Ya, yang barangkali membuat bocah ingusan seperti saya ini terbius betul dengan Rhoma Irama itu karena memang menyanyinya. Tahu sendiri aja, jarang sekali ada film yang ada nyanyi-nyanyinya. Ya cuma di film Rhoma ini. Dalam ungkapan yang tak terlalu berlebihan, Rhoma-lah yang menjadi pionir film balada di Indonesia.

Dalam film ini bahkan Rhoma menyanyi lima lagu. Dan beberapa di antaranya menjadi lagu dangdut yang mengabadi (maksudnya, masih dinyanyikan dengan enak oleh pedangdut yang saat lagu ini dicipta, mereka belum lahir). Sebut saja: ‘Begadang’. Ini dinyanyikan Rhoma di warung sambil joget-joget dengan preman-preman kelurahan yang nggak ada kerjaan. Kata Rhoma sebelum nyanyi: "Malam minggu itu milik orang2 berduit. Untuk org miskin, malam minggu sama dengan malam jumat.”

Trus ada lagu ‘Aku Sayang Padamu’ dan ‘Ani’ untuk merayu Ani (Yati Octafia), anak orang kaya tetangga sebelah. Waktu demo lagu di studio rekaman, Rhoma menyodorkan lagu ‘Demokrasi Pancasila’. Baru sekarang saya insyaf, ini lagu pembangunanisme banget, orbais sekali.

Sewaktu di penjara Rhoma dengan haru nyanyiin lagu ‘Narapidana’ yang sepotong syairnya begini: "Yang benar dipenjara, yang salah tertawa/ Memang mata dunia o o o o."

Akhirul kalam, Rhoma toh ujung2nya jadi pemenang. Ia keluar dari penjara setelah Heri dan begundalnya dibekuk karena terbukti membunuh hostess Marni. Rhoma pun ketemu lagi dengan Ani. Joget-joget. Lari-lari di padang rumput di tanah lapang. Kabarnya kawin sih mereka. Dan anak ingusan seperti saya terkagum-kagum karena pahlawannya menang dan bahagia. O Rhoma…

(gus muh irama, pengelola blog neraka)

Berujung di Kamar Mandi

kontributor: kara mula

Seorang karib umur setengah baya pernah berkata pada saya, “Film bokep itu pendek nalar”. Entah apa yang dia maksud dengan pendek nalar. Ia tak bertanggungjawab dengan statmentnya. Sebab sehabis berkata seperti itu, ia melemparkan Ranjang Ternoda. Ia pun pergi.

Tapi karib lain semasa SMA beda. Ia pernah mengajak saya bolos sekolah.
“Omahmu sepi to?” tanya dia.
“Ya,” jawabku.

Surat ijin pulang palsu pun dibuat. Tas disambar. Tanda tangan guru dipalsu. Satpam sekolah dikibuli. Ikut angkot. Menuju rental film biru....

Lacur! Di pintu rental tertulis, “closed”
“As(sensor)...,” kata karib itu.
“Tenang....”

Rumah Bu Dhe’ sepi. Kunci ku ambil. Pintu ku buka. Tas dibuang. Ambil posisi di depan tv. VCD player dinyalakan.
“La endi...?” tanya karibku.
“Sikkk...”

3 lempeng vcd keluar dari persembunyian. Dari tempat teraman bernama tumpukan buku.
“Sing loro ngadat...,” kata temenku yang berkacamata tebal itu.
“Iki wae’....durung nonton to?”

T**z*n X itu...

Sejam berlalu tanpa kata. Jari siaga di tombol on/off. Tiap terdengar suara mencurigakan, tiba-tiba dua remaja itu tergeragap.

“Aku hafal suara sepatu Bu Dhe’...”

Sejam berlalu. keadaan aman terkendali. Film tuntas diputar. Tak ada review, tak ada diskusi.

“Kamar mandine endi......?” tanya karibku.

Tak Ingin (Menonton) Lagi

kontributor: agung de ha

Sebuah cerita kecil dari manusia yang dulu pernah jadi bocah. Cerita tentang sebuah film yang menyeramkan: film PKI! Begitu kami dulu menyebutnya. Film yang memiliki daya “magnetis” luar biasa. Menarik berjuta-juta pasang mata dari Sabang hingga Merauke untuk memelotinya.

Selalu saja saya (mungkin juga Anda) ingat sebuah adegan di mana bibir tebal menghisap sebatang kretek di ruangan temaram dan suara berat terdengar dari bibir yang dishoot memenuhi layar.

“Negara dalam keadaan hamil tua” Kata-kata itu terlontar beringan dengan hembusan asap kretek dari si pemilik bibir tebal. Sosok itu (Aidit) mondar-mandir di ruang temaram. Di atasnya lampu menggantung. Ruangan penuh asap. Beberapa orang duduk menghadap meja dengan rokok di bibirnya. Sementara di luar, suara burung hantu terdengar. Fragmen itu melekat di ingatan hingga kini.

Apalagi jika sampai pada adegan penyiksaan. “Darah itu merah Jendral!” diiringi adegan sayatan silet seorang perempuan di pipi mulus para Jendral. Dan saya, akan segera bersiap menutup muka dengan kesepuluh jari yang direngganggkan. Bibir, digigit. Tubuh merapat ke ketiak emak.

Esok hari, 1 Oktober, di sekolah upacara bendera menunggu. Teman-teman bersiap berdiri tegap. Berbaris rapi dengan seragam baju putih dan celana pendek merah. Pagi itu, semua menundukan kepala. Sebuah peringatan atas matinya 6 Jendral dan 1 perwira Angkatan Darat, 1965 lalu.

Kisah setelah upacara akan tiba pada sebuah percakapan kecil dan renungan kecil. “Neng tivi berwarna getihe medeni loh,” kata seorang karib di pelataran gedung SD inpres, kala itu. Saya terdiam. Emak belum punya tv. Malam sebelum upacara, kami sekeluarga nonton film G 30 S/PKI di tempat Pak De’. Itu saja tv-nya masih hitam putih dengan tenaga accu. Tak ada lampu neon, kecuali lampu teplok di sudut ruangan.

“Neng tivi berwarna getihe medeni (di tv berwarna darahnya menakutkan),” kata seorang karib di pelataran gedung SD inpres kala itu. Saya terdiam. Emak belum punya tv. Kami sekeluarga nonton film G 30 S/PKI di tempat Pak De’. Itu saja tv-nya masih hitam putih dengan tenaga accu. Di tv hitam putih saja menakutkan, apalagi berwarna, batinku.

Film itu, bagi saya kala itu, memberi kesimpulan: PKI itu kejam dan Pak Harto itu pahlawan. Kesimpulan itu lahir dari mulut yang penuh dengan bakwan di dalamnya. Kesimpulan yang terlontar dari bibir mengkilat oleh minyak dari bakwan yang dikunyaha. Dari pemilik kaki berdebu, dengan kaos kaki kumal, sepatu butut, baju putih penuh noda, dan celana pendek merah yang lupa resletingnya ditutup.

Sepuluh tahun selepas Sekolah Dasar, kesimpulan yang pernah kuamini runtuh. Kesimpulan baru muncul, tak ada pahlawan tak ada pecundang dalam peristiwa yang digarap menjadi film apik oleh alm. Arifin C. Noor itu.

Pak Harto yang dulu saya sebut sebagai pahlawan di kemudian hari ketahuan boroknya. PKI yang dulu dikatakan pemberontak, kini diketahui tak sepenuhnya salah. Mereka dipelintir oleh sejumlah kekuatan lain. Tak ada dalang tunggal, kata Aswi Warman Adam, dalam gerakan 30 September 1965.

Pak Harto yang dulu, di film itu, tampak gagah dengan kaca mata hitam berpidato di depan penggalian jenasah pahlawan revolusi, kini konon kabarnya sakit. Beberapa kali, bahkan, diundang ke pengadilan untuk diperiksa korupsi.

Mendengar nama DN. Aidit yang dulu seperti mendengar kata gendruwo, kini namanya malah disebut-sebut lantang. Bahkan anaknya terang-terangan bikin buku tentang bapaknya. Dan Pak Arifin, tentu saja, kini sudah sampai di akhirat.

Menyaksikan film G-30-S PKI di hari ini, barangkali, akan mengembalikan ingatan pada beratus-ratus kenangan. Tentang kekejian manusia, kemenangan, pahlawan, pecundang hingga listrik dan teknologi.

Barangkali juga sebuah tragedi kemanusiaan paling parah setelah Aceh dan Timor Leste. Empat ribu tewas di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Tetapi setelah itu derap pembangunan terjadi.

Sebuah film, sebagaimana G 30 S/PKI menjadi titik balik manusia. Penanda atas kemenangan dan kekalahan manusia. Pembangunan dan pembantian. Kengerian dan rasa penasaran.

Dari situ saya sadar: film yang baik, ternyata, film yang mampu menggerakan. Saya ingin menonton lagi film itu. Tapi ingin lagi ada pembataian dan pertikaian. Juga trauma itu.

Kenangan dari Sahabat yang Terlupakan

kontributor: kalangwan tanpo jati

Bapak Utuy pasti menyambut kedatangan kita. Dia pasti tersenyum di atas sana. Jadi kita taburkan saja bunga-bunga ke makan-makam yang tidak diperhatikan, makam-makam yang sudah tidak ada namanya.

Kata-kata itu diucapkan Prof. Ludmilla Demidyuk, pengajar sastra Indonesia di Universitas Moskwa. Ludmilla siang itu datang ke pemakaman umum Moskwa untuk berziarah ke makam Utuy Tatang Sontani, pengarang terkemuka Indonesia pada masa Orde Lama yang dikenal lewat novel berjudul Tambera. Sayangnya, seusai habis-habisan mencari, makam Utuy tak juga kelihatan. Ludmilla akhirnya ambil keputusan untuk menaburkan bunga-bunga setaman yang dibelinya ke makam-makam tak terawat atau (dalam kata-kata Ludmilla sendiri) “makam-makam yang sudah tak diperhatikan dan tak ada namanya.”

Ludmilla, saya kira, tepat sekali mengatakan itu. Utuy Tatang Sontani adalah satu dari sekian banyak anak negeri ini yang punya karya besar dan dihormati orang tetapi justru tak pernah dihargai secara adil oleh bangsanya, tak diperhatikan, seakan-akan seperti orang-orang tak bernama. Utuy ada di deret terdepan dari para anonim sejarah Indonesia.


Siapa yang kini ingat, misalnya, Semaoen atau Alimin atau Darsono? Mereka adalah nasionalis-nasionalis generasi awal yang bergerak lebih dulu daripada Soekarno-Hatta atau Sjahrir. Hanya karena mereka dianggap eksponen komunis, kita seperti memberi permakluman jika mereka tak diberi tempat yang lapang dan apa adanya dalam narasi sejarah Indonesia.

Maka sungguh mengejutkan jika film Gerimis Kenangan dari Sahabat yang Terlupakan (salah satu film buatan anak negeri yang diputar dalam Jogja Netpac Asian Film Festival yang berlangsung pada 7-12 Agustus 2006) produksi Indonesian Council for Caulture Relation (ICCR) bisa mewawancarai saksi hidup bagaimana para penubuh nasionalisme Indonesia generasi pertama itu beraktivitas dan hidup di pembuangan Rusia. Beberapa di antaranya bahkan pernah menjadi murid Semaoen.

Yuri Sholomov dan Lev Dyomin adalah salah dua murid Semaoen yang masih hidup dan berhasil diwawancarai. Keduanya adalah generasi pertama orang Rusia yang memelajari bahasa Indonesia. Semaoen bahkan merelakan diri menjadi pengajar bahasa Indonesia dan ia sendiri turun tangan langsung menyusun buku/diktat tata bahasa Indonesia khusus bagi murid-muridnya (buku itu ditunjukkan di salah satu adegan film ini). Siapa yang menyangka, Semaoen, penulis brosur Penoentoen Kaoem Boeroeh yang termasyhur itu pernah menulis buku jenis begini?

Semaoen sadar kerja macam itu bukan kerja sepele. Ia meletakkan penulisan buku itu dalam kerangka diplomasi politik kebudayaan. Dengan menulis itu, Semaoen setidaknya sedang menyiapkan sekelompok orang yang kelak bisa diharapkan menjadi jembatan dari saling pengertian dan kerjasama kedua negara. Semaoen paham Rusia (dulu Sovyet) adalah salah satu kekuatan yang potensial bisa men-support Indonesia. Itulah sebabnya, selain mengajar bahasa Indonesia, ia menulis surat pada Stalin untuk memperhatikan perjuangan Indonesia.

Surat itu berhasil. Indikasinya jelas: Stalin memerintahkan dibangunnya seksi Indonesia dalam kementrian penerangan Rusia. Dan hubungan politik dan kebudayaan kedua negara pun dimulai.

*****
Saya tak tahu bagaimana rasanya jika saya menyaksikan kejadian seperti ini langsung dengan mata saya sendiri. Lima orang lelaki tua berdiri di pojok sebuah taman di Moskwa. Cuaca ketika itu lumayan cerah. Dengan sisa-sisa tenaga renta, kelimanya menenteng klarinet. Tangan kiri memegang sehelai buku kecil. Dan mulailah mereka memainkan lagu.

“Indonesia, tanah air ku
Tanah tumpah darahku….”

Ya, mereka memainkan lagu Indonesia Raya. Saya yang hanya menyaksikannya lewat film mungkin tak tergetar-getar amat. Tapi bisakah anda bayangkan, ketika sedang menaiki taksi di Moskwa, tiba-tiba sopir taksi yang anda tumpangi bersenandung kecil memainkan nada yang begitu anda kenal, misalnya lagu Rayuan Pulau Kelapa. Atau ketika menyusuri rak-rak di sebuah toko buku, tiba-tiba salah satu penjaga toko, di sesela melayani anda, mendadak bersenandung lagu Rayuan Pulau Kelapa.

Adegan itu direkam dengan dingin dalam film ini. Menyaksikan Gerimis Kenangan dari Sahabat yang Terlupakan persis ketika kita hendak menjelang ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-61 mendatangkan sebuntal rasa haru. Sayangnya, itu rasa haru yang mengganggu. Mungkin juga malu.

Alexandra Kasatkina, misalnya. Anak muda Rusia yang sedang menyelesaikan program doktoralnya ini paham bahasa Jawa Kuna. Dia teliti kitab Kunjarakarna untuk memahami soal “agama asli Jawa” yang belum tersentuh Hindu/Buddha. Kasatkina kini fokus dalam subjek “atma” (dia menerjemahkannya sebagai soul/jiwa). “Agama asli Jawa”, kata Kasatkina, “percaya manusia terdiri dari lima lapis atma.”

Di bawah bimbingan Prof. Alexander Oglobin, Kasatkina dan sejumlah karib seusianya kerap mendiskusikan Ngarakrtagama, Kunjarakarna, hingga Pararaton (berapa anak muda kita yang pernah mendiskusikannya?).

Atau simak juga wawancara dengan DR Elena Revunenka, peneliti dan salah seorang pimpinan Museum Kuns Kamera St. Petersburg. Kini, entah ada berapa orang yang punya kompetensi macam dia: menguasai bahasa dan tulisan Batak Kuna sekaligus mahir menerangkan soal dunia (ke)batin(an) orang Batak.

Berkali-kali DR. Elena mengatakan bahwa di Batak nyaris sudah tak ada lagi yang bisa berbahasa dan membaca aksara Batak Kuna. Sepintas ada rasa bangga saat Elena mengucapkan itu. Tapi dari helaan nafasnya, kita juga tahu, Elena seperti menyesali kemungkinan lenyapnya lagi satu bahasa dan aksara dari muka dunia.

Film ini memang tak berpretensi gagah. Film yang disutradarai oleh wartawan budaya majalah Tempo, Seno Joko Suyono, ini meluncur tanpa narasi dan teks. Isinya hanya kelebatan gambar-gambar dan serangkaian wawancara. Tapi dari sana, dari rangkaian wawancara yang sinambung dan tak terputus itu, kita jadi mengerti betapa lumpuhnya strategi kebudayaan kita.

Kita bisa melacaknya dari Museum Kuns Kamera. Museum yang didirikan pada masa Peter I yang berkuasa di pergantian abad 17-18 ini punya kenangan hebat tentang Indonesia. Ketika hubungan Indonesia-Rusia masih kuat-kuatnya, koleksi tentang Indonesia (baik buku atau benda-benda) ditempatkan di sebuah ruang utama. Koleksi tentang Indonesia ketika itu menjadi koleksi Ketimuran yang terbesar.

Sayangnya itu sudah berlalu. Sebagian terbesar koleksi tentang Indonesia kini sudah “digudangkan”. Pelan tapi pasti, koleksi dan tema-tema tentang Jepang atau Korea mulai menggantikan subyek kebudayaan Indonesia. Mereka membangun pusat studi atau pusat kebudayaanya sendiri-sendiri. Studi atas Jepang atau Korea kini lebih diminati.

Kita terharu menyaksikan Indonesia Raya dimainkan serombongan lelaki tua di pojok lapangan St. Petersburg, sama terharunya ketika kita mendengar seorang lelaki tua supir taksi dan perempuan paruh baya penjaga toko bersinar-sinar parasnya ketika mereka menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa. Tapi pada saat yang bersamaan kita juga merasa malu begitu menyadari kita tak pandai merawat hubungan kebudayaan yang hangat itu dengan sebaik-baiknya.

Kita mungkin senang dan syaraf kebanggan nasional kita pun akan terangkat menyaksikan sejumlah kecil orang tua di Rusia dan lebih sedikit lagi sejumlah anak muda di Rusia mendiskusikan kitab Batak Kuna, Ngarakrtagama, Pararaton atau Kunjarakarna. Tapi pada saat yang bersamaan kita juga juga disergap rasa sedih yang mencengkau begitu menyadarai makin punah saja orang Indonesia yang bisa membaca kitab-kita tua.

Tanpa strategi kebudayaan yang lebih agresif dan serius, orang-orang seperti Elena atau Kasatkina bisa jadi akan menjadi orang-orang terakhir di luar negeri yang bisa membaca aksara Jawa atau Batak Kuna. Kita sedih jika mereka menjadi semacam the Last Mohicans-nya kebudayaan-kebudayaan kuna nusantara di dunia manca.

Aneh rasanya jika bayangan buruk macam itu justru datang di hari ketika bangsa ini hendak merayakan kemerdekaannya.

Gerimis Kenangan dari Sahabat yang Terlupakan adalah kabar dingin buat Indonesia dari Moskwa.

Kematian Hari ini

kontributor: anto dengan ka

[Pause dalam ilmu tata kalimat (sintaksis) diartikan kesenyapan sementara atau posisi diam alat ucap yang terjadi ditengah arus ujar. Suatu titik perhentian yang belum final, karena belum dapat mencapai suatu kebulatan makna]

Manusia sering berharap bisa hidup untuk yang kedua kalinya. Menutup rapat-rapat pintu masa lalu, menata ulang sejumlah rencana, lantas memulai lagi semuanya dari mukaddimah. Seraya berharap keajaiban skenario kehidupan seri kedua dapat direvisi tanpa mengikutserakan kesalahan yang pernah buat.

Menonton 21 Grams adalah menonoton manusia-manusia yang diberikan kehidupan untuk kali kedua. Pesakitan bernama Paul Rivers (Sean Penn) yang disembuhkan dari penyakitnya yang parah, ibu rumah tangga bernama Cristina Peck (Naomi Watts) yang menemukan cinta yang baru setelah kehilangan suami serta dua orang anak dalam kecelakaan lalu lintas, serta seorang narapidana, Jack Jordan (Benicio Del Toro), yang dibebaskan dari penjara.

Kita kemudian disodori sebuah pokok soal: apakah dengan demikian hidup yang dijalani akan menjadi lebih baik?

Kesempatan kedua, yang diharapkan menjadi semacam jeda (pause) untuk menarik napas, ternyata tetap tak bisa mengingkari satu hal mendasar: masa lalu tidak bisa diputus. Masa lalu akan selalu ada, hanya bersembunyi barang sebentar, mungkin beberapa kerjap, dan lantas menyeruak kembali dalam bentuknya yang lain. Barangkali dalam bentuk serupa hantu yang bahkan bisa bertindak lebih kejam dari kehidupan sebelumnya.

Tiga tokoh utama 21 Grams pada awalnya adalah tokoh-tokoh yang tak mengalami kebahagian dalam come back-nya. Pergulatan melawan masa lalu yang terus menghantui menjadi muasal ketidakbahagian mereka. Bagi mereka, hidup yang kini dijalani adalah hidup yang tak hidup. Hidup yang dijalani dan dihayati sekadarnya untuk menunggu kematian. Karena hidup sebenarnya telah dilewati pada waktu dulu.

Para tokoh sentral mengalami alienasi alias tercerabut dari akar kehidupan. Takdir yang terjadi di luar kehendak membuat mereka menjadi gamang. Derita-derita yang dialami membuat mereka menarik jarak yang sangat jauh, hingga kehidupan dipandang secara kabur dan tidak objektif. Ketika tak ada lagi sesuatu yang terlihat, maka pandangan akan melulu berpusat pada diri sendiri. Yang lain tak begitu penting. Yang ada adalah aku dan hanya diriku.

Tokoh-tokoh itu seakan ingin berteriak, “Akulah orang yang paling menderita di dunia!”.

Titik kebangkitan film Alejandro González Iñárritu ini mulai menyeruak ketika para tokoh sentral mulai memiliki kesadaran akan hidup masa kini yang harus dijalani. Mulai membiasakan diri lagi melakukan aktivitas keseharian. Pergi ke gereja, menyibukan diri dalam pekerjaan, berolahraga renang, atau sekadar jalan-jalan. Belajar melupakan kesakitan-kesakitan masa lalu.

Dengan penerimaan yang lebih lapang pada masa lalu, hidup di waktu kini menjadi mudah dijalani. Lebih bisa disikapi dengan arif. Hal itu adalah pertaruhan utama dalam kehidupan para tokoh, sebab masa lalu yang menjadi hantu bisa menjadi kesumat pada masa kini, yang berpeluang menuntut balas suatu saat kelak.

Gambaran tentang itu bisa kita lihat di bagian akhir film. Ketiga tokoh sentral bertemu dalam suatu pertikaian yang beraroma dendam masa lalu. Setiap tokoh pada akhirnya ingin menggenapkan semua urusan. Melunaskan semua dendam. Tindakan yang berujung kematian dianggap sebagai jalan keluar menyelesaikan silang sengketa dengan diri sendiri dan orang lain.

Ada berbuntal-buntal nafsu untuk membandingkan antara yang silam dan yang sekarang. Perbandingan itu seakan menjadi ukuran paling shahih antara mana yang lebih baik dan mana yang lebih buruk. Selain akan melenyapkan kekhasan renik-renik dan keutuhan kehidupan, proses pembandingan macam itu juga meniscayakan adanya yang tertinggal dan terabaikan dalam perbandingan macam itu.

Hidup tidak bisa diartikan sebagai kumpulan bagian-bagian yang terpisah satu sama lain. Seluruh bagian saling terhubung dan bisa jadi akan saling menentukan satu sama lainnya. Jika satu bagian telah terlampaui, itu hanya berarti suatu permasalahan telah selesai. Padahal, kesinambungan permasalahan akan tetap berlanjut, bersengkarut dengan permasalahan lain yang mungkin berbeda konteks.

Hidup adalah sengkarut permasalahan-permasalahan yang saling terpaut satu dengan lainnya hingga hanya kematianlah yang benar-benar bisa menuntaskannya. Jeda (pause) kehidupan adalah titik di mana kita berpikir ulang dan membuat suatu perubahan. Sesuatu yang bersifat sementara, tidak bisa dijelaskan dan datang kapan pun dan di manapun dia suka. Kematian sebagai final solution. Akhir di mana hidup dapat secara utuh dimaknai.

Ketika seseorang memulai kehidupannya yang baru, bukan hanya dia yang memulai, tetapi orang lain yang bersamanya juga bersama-sama memulai kehidupan baru. Hidup dan kehidupan adalah ikatan kebersamaan di mana setiap orang mempunyai peran yang signifikan untuk membangun struktur hidup itu sendiri.

Setiap orang saling menentukan. Bahkan orang yang telah mati sekalipun ikut mengambil bagian.

Dari Pesta Kembang Seruni

kontributor: agung de ha

Menyaksikan Curses of The Golden Flower sama halnya menyibak isi dibalik tirai bambu Cina. Hamparan warna emas dari perabot istana hingga kostum pada film itu laksana membawa kabar bahwa Cina adalah negeri semilyar manusia yang melejit menuju era keemasannya.

Sebuah pekabaran baru dari Zhang Yimo, berdurasi 120 menit lahir di akhir 2006. Sutradara yang terobsesi mengalahkan Hollywood itu menampilkan pelanggengan kekuasaan. Untuk melanggengkannya, sang peguasa mengamini taktik licik Machiavelli sebagai strategi terbaik.

Sederhananya, untuk mengamankan kekuasaan semua aral ditebas tuntas sebelum berubah menjadi penindas. Rawe-rawe rantas malang-malang putung, begitu Machevellian langgam Jawa bilang. Rawe-rawe itu meski datang dari tubuh sendiri, dari dalam keluarga, dan orang terdekat, tetap ditebas sampai tuntas. Orang Jawa menyebut tumpes kelor.

Dalam logika kekuasaan Machiavelli, tumpas kelor hukumnya halal. Pertimbangan perasaan, cinta, dan keluarga, tak berlaku demi menghidupi semilyar rakyat, pasukan segelar sepapan, tradisi, dan kedaulatan negeri.

Toh akhirnya, jika tiba waktunya, kekuasaan itu akan dilengserkan dengan cara baik-baik. “Jangan ambil yang belum menjadi hakmu,” kata Kaisar (Cho Yun Fat) kepada Putera Mahkota Hun. Di babak lain, Kaisar menyampaikan niatnya kepada pangeran Han perihal penggantinya kelak jika Kaisar lengser keprabon. Ketika ditanya seperti itu, putera mahkota menjawab, “Bukan saya yang pantas, tapi kakak”.

Ada semacam perasaan legowo terungkap dalam ucapan Han. Han tak ambisius berkuasa. Ia sadar memimpin bukan seperti membeli bak pao. Memimpin dan berkuasa di atas negeri dengan berjuta kepala di dalamnya butuh orang yang telah mengalami beribu-ribu tempaan mental dan fisik.

Di adegan lain, Curses of the Golden Flower menampilkan bagaimana tradisi “demokrasi” dibangun. Kaisar menggelar makan bersama sekeluarga. Di jamuan makan, satu persatu anak dan permaisuri dipersilakan mengajukan keinginannya. Kaisar dengan mimik serius mendengar penuh seksama tiap keinginan anggota keluarganya.

Meski sebenarnya sang Kaisar, pemimpin negara dan keluarga itu, sudah memiliki jawaban tersendiri. Seperti pangeran bontotnya yang minta ditugaskan ke perbatasan Utara. Kaisar menolak. Anak kecil yang miskin tempaan pengalaman itu belum layak memimpin.

Ini sama saja dengan sebuah demokrasi terpimpin yang dulu pernah dipraktikan di Indonesia semasa Soekarno. Tapi di Indonesia demokrasi macam itu gagal dipraktikan. Hanya sang Kaisar yang berhasil memerankannya dengan baik.

Mungkin otoriterian model itu, bagi Kaisar, tak bisa dikategorikan sebagai pengkhianatan atas nilai demokrasi. Tapi tindakannya bisa jadi sebentuk metode mendapatkan kebenaran fungsional demokrasi. Kebenaran filsafati atas demokrasi, bagi Kaisar, bisa jadi direngkuh setelah kebenaran fungsional terlampaui: mendengarkan dengan baik tiap suara manusia, sekecil apapun ia.

Apa sebab keluarga (istana) menjadi tumpu demokrasi? Keluarga, tumpuan kekuasaan dan cinta. Keduanya bertumpang tindih. Bisa menyangga, sebaliknya merongrong kekuasaan. Sama saja peran permaisuri bagi seorang Kaisar dalam sebuah tata pemerintahan. Permaisuri merupa dalam dualisme hidden power: pembentuk sekaligus penghancur. Tapi kedua kekuatan tersembunyi bisa dijinakkan dengan tangan besi. Tujuannya jelas, demi semilyar rakyat, pasukan segelar sepapan, tradisi, dan kedaulatan.

Hidden power lain dalam kekuasaan Kaisar lahir dari masa lalu. Masa lalu, bagian dari citra dan wibawa. Bagi kaisar, sejarah kelam masa lalu hanya bisa dijinakkan bila aktor-aktor yang terlibat diberi peran lebih atau ditiadakan dalam panggung sejarah. Tapi meniadakan aktor masa lalu (yang itu menentukan alur sejarah Kaisar) justru jadi bumerang. Masa lalu, hidden power itu, penghancur kedua setelah anak dan permaisuri itu. Ini penting sebab masa lalu bisa bermetamorfosa menjadi penghancur maha dasyat!

Tapi dari tangan Zhang Yimo, Kaisar terasa manusiawi. Kaisar seperti penguasa lazim. Ia lupa bahwa meniadakan aktor lama di panggung sejarah hidupnya, sama dengan menusukan pedang pada ulu hati sendiri. Ia coba lari dari masa lalu. Tapi di situlah justru letak “kemanusiawian” Kaisar. Ia gagal “menyulap” masa lalu menjadi kekuatan tersembunyi.

Dari Zang Yimo, sekali lagi, diketahui bahwa jujur pada masa lalu lebih penting daripada bersembunyi di balik topeng kebohongan. Kebohongan pertama selalu melahirkan kebohongan-kebohongan berikutnya. Maka Sebelum kebohongan terus berlanjut, segera pemicu kebohongan ditebas!

Keterlemparan Kaisar ke kelam masa lalu terlihat jelas tatkala istri pertamanya, yang dulu diusir dan dikabarkan mati, tiba-tiba datang menuntut balas. Istri tua memang tak membawa pasukan segelar sepapan. Tapi cukup dengan datang dan mengancam akan membeberkan masa lalunya. Inilah penghancur terkuat yang luput dari mata jeli pemimpin sekaliber Kaisar. Kaisar terpaksa menerjunkan pasukan terbaik hanya untuk membereskan slilit di taring kekuasaanya.

Slilit lain muncul dari pembantu Kaisar. Orang istana itu sekalipun dekat dan tampak loyal justru yang berpotensi jadi slilit di taring kekuasaan. Tabib, pembantu setia Kaisar di film itu, meski loyal tapi dia mau diajak berbuat jahat. Pembantu loyal yang mau diajak jahat penguasa adalah orang yang berpotensi berkhianat. Kaisar punya jawaban: menyingkirkannya dari istana dengan eufimisme memindahkantugaskan sebagai imbal balas jasa. Meski tampak diberi keleluasaan bertindak, geraknya selalu dibayangi seribu mata telik sandi.

Seperti juga tabib dalam film itu yang dipindahkan memimpin provinsi baru di perbatasan utara dengan Mongolia, musuh bebuyutan Cina di masa kuno. Tabib ini yang membantu Kaisar memberikan ramuan penghilang kesadaran kepada permaisuri. Tapi ujungnya nyawa tabib berakhir di pedang para prajurit pilihan, penjaga Kaisar.

Inilah film yang mencerminkan parade mempertahankan kekuasaan. Juga percintaan tabu di kalangan isatana hingga pemberontakan tentara yang disusun rapi. Tapi Kaisar yang lama memimpin tak gagap menghadapi “gairah terlarang” di kalangan isatana dan para pemberontak di sekitarnya. Meski yang selingkuh istrinya sendiri. Meski yang memberontak anaknya sendiri, Pangeran Hun yang digadang menggantikannya kelak jika wafat.

Anaknya memang tentara cerdas. Tapi tentara butuh senjata, tentara juga bergantung pada pemimpin, tentara pun butuh pengalaman perang. Seperti juga dalam film ini, ketika pangeran melakukan pemberontakan bersama ibunya (permaisuri) menjelang pesta bunga seruni. Beribu-ribu parajurit di bawah pimpinan pangeran kandas di tentara berpanah Kaisar punya. Tentara Kaisar yang ditempa banyak pengalaman perang jauh lebih unggul daripada tentara Pangeran Hun yang minim pengalaman.

Tentara berpanah, pimpinan Kaisar, lebih ampuh dibanding prajurit infanteri Pangeran Hun. Dengan mudah, dalam film itu, ribuan mata panah meluncur dari atap dan benteng istana menembus dada para prajurit infanteri di pelataran yang dipenuhi kembang seruni. Ribuan prajurit infanteri seperti melawan angin. Darah merah prajurit infanteri mewarnai hamparan kuning bunga seruni.

Luncuran panah dari atap dan benteng (tempat yang tinggi) istana Kaisar sama saja menyimak klaim Hua Jintao atas Jian-10. Konon menurut Cina, Jian-10 mampu menandingi F-16 Amerika Serikat. Untuk bisa bikin Jian-10, Cina menuntut ilmu sampai negeri Rusia.

Jian-10 bersesuaian dengan strategi militer modern di mana pesawat tempur menjadi senjata terampuh. Jian-10 bukan saja show air force tapi juga perhitungan taktis dan jitu militer Cina. Pilihan membuat pesawat tempur made in dalam negeri dan tak kalah canggih, tepat untuk mempertahankan wilayah Cina yang maha luas itu.

Cina tak hanya luas tapi juga dijejali dengan milyaran penduduk. Milyaran penduduk tiap hari butuh uang untuk beli gandum. Biar mie selalu tersedia di meja makan rakyat yang bermata sipit.

Dari mana uang didapat? Kerja keras masyarakat didukung dengan penyediaan lapangan kerja yang mencukupi oleh pemerintah, menjadi jawabanya. Pemerintah Hua Jintao menjawab dengan memobilisir industri massal. Padat karya ala Cina.

Memahami industri massal ala Hua Jintao, sama saja dengan mememeloti ratusan dayang (yang cantik dan seksi itu) dan ratusan peracik obat istana di Kaisar dalam Curses of the Golden Flower. Ratusan dayang dan peracik obat disiplin berkerja. Sampai tak hirau pada tabib yang berbisik pada puterinya untuk mendekati Pangeran Han.

Cina di masa kuno bertradisi bekerja keras dan berdisilipin, tak hirau pada sekeliling. Cina di hari ini melahirkan bentuk baru dalam mengelola tradisi. Orang Cina tak cukup hanya kerja keras tapi juga butuh lapangan kerja yang luas. Semilyar penduduk Cina membutuhkan semilyar pekerjaan. Cina tak tergoda dengan mesin-mesin Industri. Mereka berfokus pada industri padat karya. Sebab mesin, bagi Hua Jintao, akan mengurangi lapangan kerja. Sebab industri rumah tangga yang butuh banyak tangan lebih tepat dibanding memesinkan industri tapi malah menganggurkan rakyat sendiri.

Zhang Yimo tepat membaca gerak sejarah, akan ada dua matahari di Asia Timur. Cina akan segera menyusul Jepang, musuh bebuyutannya di era modern. Pesta keemasan Cina akan segera digelar di pelataran istana Beijing. Zhang Yimo akan segera merobek layar lebar Hollywood.