Kisah Cinta yang Nehi-nehi....

kontributor: nashi ben koto

Dia tidak cantik mak…
Dia tidak jelek mak…

Dulu saya mengira lagu dangdut manis yang dinyanyikan oleh Iwan, penyanyi Malaysia yang lahir di Medan itu tidak hanya sebentuk bangunan rasa percaya diri pada kekasih, tapi juga kehernihan inspirasi.

Tentu saja saya sering menyanyikan lagi itu dan mencintainya sepenuh hati.

Tapi kau akan dilanda rasa heran sekaligus bingung begitu film India yang berjudul Mann diputar. Airmata akan berhenti sejenak begitu lagu Tina Tik Tana mengalun. Apa pasal? Mak oi, kedua lagu itu mirip dan persis sama. Tentu liriknya saja yang berbeda.

Ini bukan analisis kelatahan dan kebiasaan mencontek—sebagaimana sinetron dan film kita semakin hari semakin merapat pada Jepang dan Korea. Jadi jangan tanya saya siapa yang lebih dulu mempopulerkan lagu tersebut. Jawab saya…. “nehi… nehilah….” Saya hanya ingin mengatakan, siapkan ember, selembar tisu, dan cemilan keras ketika Mann sampai di tanganmu. Karena adegan deraian bawang Bombay segera akan dimulai.

Begini ceritanya saudara-saudara:
Dev dan Priya bertemu di sebuah kapal pesiar luar negeri dan saling jatuh cinta satu sama lain. Mereka berdua akan menikah, dengan pasangannya masing-masing. Dan sepenuhnya sadar akan hal ini, mereka berpisah di akhir pelayaran, dan berjanji bertemu lagi sesudah setahun. Pertanyaannya, apakah cinta mereka akan hidup terus setelah setahun tidak berjumpa?

Selesai? Nei, nei, nei…

Di antara adegan itu, lagu-lagu sendu yang tak melewatkan goyangan tentu bermunculan. Aamir Khan berjoget di tempat yang berbeda-beda dengan Manisha Koirala dalam judul lagu Mera Mann. Anda tentu juga boleh ikut menari atau tersedu seperti Manisha Koirala yang cemburu. Ho.. ho.. ho.. lagu rancak ketika kapal mereka berhenti di pelabuhan, dekat tempat tinggal nenek si Dev di sebuah pulau. Jadilah lagu Kushiya aur gham yang sendu itu dengan arasemen piano yang rancak bana.

Sampai bagian ini bersiap-siaplah kau tersedu-sedu. Tapi cerita belum berakhir, sayang.

“Valentine nanti aku ingin kita bertemu di sana,” kata si Dev pada Priya menunjuk sebuah gedung pencakar langit di pinggiran pantai dengan bahasa Hindi yang fasih… Waktu itu mereka masih di kapal.

Intinya begini saudara-saudara, mereka janjian bertemu pada malam valentine beberapa waktu mendatang. Jadi, alamat dan nomor telpon menjadi tak penting. Duh… kok bisa gitu ya?

Selanjutnya adalah adegan pengisi waktu. Di mana Dev bekerja membikin mural, dia pelukis lo. Dan Priya bersibuk-sibuk di rumah menunggu tunangannya pulang. Bukan pelem India namanya jika tak ada adegan seperti ini: si Priya harus berkata jujur pada tunangannya yang namanya (katakanlah) Ajai—gak mungkinlah Agung, Jejen, Perca, atau Gusmuh kan?

Dan cerita pun bergulir. Ini baru dua disk kawan, jadi sabarlah. Nikmati aja lagu Tina Tik Tana ini dengan mengikuti lirik Iwan tadi. Dia tidak cantik mak… dia tidak jelek mak... dan bersiap-siaplah meluncur dengan mobil masing-masing menuju tempat yang dijanjikan.

Apa kata saya, kejutan belum berakhir. Sebuah mobil celaka tiba-tiba merusak kemesraan kita. Priya ditabrak begitu saja, kakinya harus diamputasi. Si Dev sebal, melempar bunga dan pergi. Lu sih, disuruh minta nomor HP gak mau.

Adegan selanjutnya adalah kesedihan dan kesedihan. Siapkan ember Anda, ukurlah seberapa besar simpati Anda pada seseorang.

Priya begitu murung dan tertekan. Hidupnya hanya diisi dengan mengajar anak-anak kecil menari, melukis, dan bernyanyi. Dia duduk di kursi roda ditemani Ajai yang setia. Sementara Dev? Dia rajin melukis bro. Dia akan melelang dan setelahnya dia akan pindah ke pulau di mana dulu neneknya pernah tinggal.

Tapi pertemuan itu terjadi juga. Pada sebuah pementasan yang entah apa. Ternyata India begitu kecilnya. Seusai pementasan Dev mendekati Priya yang masih duduk di bangkunya. Dev berkata-kata pedas dan memaki. Priya menanggapinya dengan tenang dan kesabaran tanpa ampun. Ini bagian yang paling banyak menguras tangis. Ember, udah penuh belum?

Setelah puas mencerca, Dev berlalu.

Dan tiba-tiba suatu hari, menjelang kepindahannya ke pulau, Dev muncul di rumah Priya. Perempuan itu tetap duduk di sofa agar Dev tak tahu kalau kakinya telah tak ada akibat perjanjian pertemuan mereka yang celaka itu.

“Seorang cacat telah membeli lukisan saya,” katanya di antara cercaan, makian, dan juga kata-kata sendunya.

Sebelum pergi dia berbalik dan berkata. (sebagai saran, tariklah napas Anda. Ini adegan yang jauh lebih sendu lagi). “Oh ya. Nenek sudah meninggal. Dan dia minta seseorang mau memakai gelang kaki darinya. Seseorang itu adalah kamu!” Begitulah kira-kira kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Priya terpekik. Dan…. “Saya juga penasaran dengan orang cacat yang memberi alamat di rumah ini,” kata Dev. Dan ia masuk ke kamar Priya. Lukisannya ada di sana. Bersegeralah Dev mendekat. Hendak memasang gelang kaki dan ingin tahu ada apa dengan Priya.

“Dev, please, jangan. Gue gak bisa….” begitu kira-kira kalau diterjemahkan ke bahasa anak muda.

“Tapi gue ingin memasangkan kalung ini ke kaki lu, sebagaimana pesan Oma sebelum jatuh di alam baka.”

“Tapi gue gak bisa Dev. Please deh ah....”

Pertengkaran dan paksaaan semacam itu membuat airmatamu akan terus mengucur. Dan….

Dev terpekik begitu tahu, Priya sudah tak punya kaki. Tak perlu kata-kata, Dev. Tak perlu penjelasan, Priya. Kebahagiaan ada di ruang tamui ini.

Adegan selanjutnya? Tentu saja Dev menggendong Priya dari pelaminan setelah sumpah sehidup-semati.

Puas… puas...puas…????!!!!

MANN
Sutradara: Indra Kumar
Produser: Indra Kumar & Ashok Thakeria
Pemain: Amir Khan, Manisha Koirala, Neeraj Vohra, Mushtaque Khan, Sharmila Tagore (bukan Robindranat lo), Anil Kapoor, Rani Mukherjee, Shama Gesawat, Deepti Bhatnagar, dan Dilip Tahil
Musik: Sanjeev Darshan
Tayang: 1999


Film Romantis yang Bikin Ngakak

kontributor: kotho ben punjabi

“Aku mau film Endonesia saja. Yang cinta-cinta gitu,” kata seorang teman sambil menjulurkan uang 2000 perak kepada saya. Uang itu keluar setengah terpaksa dan ancaman yang jelas. 2000 kok mintanya macam-macam.

“Inneke Koesherawati mau?” kataku kesal.

“Ada po?” tanyanya.

“Pelem-pelem yang kayak betina gitu, atau Novel Tanpa Huruf R, Daun di Atas Bantal, Sumanto atau Mai heel(my hearth maksudnya) boleh juga, tuh.” Celoteh teman saya yang satu, sok cerdas. “Agak berat tuh. Tapi keren...”

“Kau dah nonton pelem-pelem yang kau sebut tadi?” tanyaku.

“Belum semua sih, paling juga Novel Tanpa Huruf er sama Daun di Atas Bantal. Keren abis. Saya sampai tidak mengerti jalan ceritanya,” katanya bangga. Oh, jadi pelem bagus itu pelem yang tak dimengerti ya? O, Tuhan, ampuni hamba dari dosa-dosa ini!

“Ha.. Cinta Pertama aja, Bunga Citra Lestari pemainnya.. yang Lagunya Sani..sani gitu. Orangnya, aktingnya, wuihh,.. mantap. Dia itu dulu sebenarnya....” kebiasaan dia kalau sudah ngomong selalu begitu. Entah menyombongkan kebohongannya atau dia memang terlalu pintar ndobisinnya? Sok tahu segalanya.

Jadilah malam itu satu pelem Indonesia, empat pelem luar, dan dua pelem porno teronggok di depan komputer.

Saya mengalah, teman-teman saya berebut nonton Cinta Pertama dan saya pindah kamar, liat Finding Neverland. Sesekali saya terbahak mendengar dialog pelem di seblah kamar yang ada kata-kata, “lu-gue, lu-gue"nya itu.

Pelem saya duluan selesai. Mereka belum. Sepertinya mereka nggak langsung tancep ke Cinta Pertama, tapi muter pelem porno lebih dulu. Aku mengintip. Duh mak, ini pelem apa sinetron? Begitu komentar saya pertama kali. “Gue tidak suka pelajaran sejarah waktu SMA. Lu gak tau kan? Berarti masih banyak yang lu belum tau tentang gue,” begitu kata si cewek yang bernama Alya itu. Dan aku tergelak besar. Tak suka sejarah? Kenapa? Tidak ada penjelasan bung. Sok-sokan aja kali, mengikuti selera penulis skenario yang sok paham situasi politik di tanah air ini.

Kesalku memuncak ketika ada dialog, kira-kira berbunyi begini, “Gue menyukai dia, seperti gue menyukai gerimis,” Alamak... sekatrok-katroknya saya, saya itu penyair juga. Tapi denger itu, mau muntah saya dengan penggalan yang sok dramatis ini. Aku menungging di depan komputer (terbayang kan kalo sy udah nungging?).

Saya dengar teman yang banyak omong tadi mulai sesegukan bawang bombay. “Yah udah kalau lu tak suka. Tapi jangan ganggu kesedihan gue dong.” Ha? Dia ngomong sudah pakai gue segala?

Bayangkan, sepanjang pelem itu diputar, yang kita tangkap adalah suasana muram dan kelam. Sebentar saja kita akan diingatkan pada setting film-film romantis Jepang atau Korea. Kapas berterbangan, daun berguguran, sementara angin tak terlihat keras sama sekali. Lalu hujan. Hujan di bulan Mei, Sapardi. Bukankah Mei adalah bulan di mana kemarau baru saja mengetuk pintu? Tapi di pelem itu, selama ujian akhir berlangsung sampai pengumuman kelulusan, hujan tak lepas-lepas dari adegan.

Pusat cerita adalah buku harian. Ini betul-betul mengutip adegan film Jepang, bergaya sama yang saya lupa judulnya. (Ira Komang Jageg, apa judulnya?) Belum lagi alur maju mundur, di mana buku tersebutlah yang bercerita. Tapi di pelem ini maju mundur alur ini makin mengacaukan imaji kita.

Izinkanlah saya sok cerdas menulisnya begini: cerita ini berpusat pada Alya dan buku hariannya. Waktu SMA dia jatuh cinta pada seorang pemain basket sekolah tapi tak bisa main basket.(Garingkan? Garing Nugroho kali). Selesai SMA si cowok kuliah ke kota lain, gak tau tu kemana. Trus adegan terputus panjang sekali. Tiba-tiba si cewek sudah bertunangan. Entah berapa tahun peristiwanya sejak mereka lulus SMA. Entah cowok dari mana pula yang jadi tunangannya itu. Tak ada penjelasan.

Setelah pertunanganan itu, suatu pagi si cowok datang ke rumahnya. “Alya lagi tidur tuh. Bangunin aja.”

Duh mak... lagi tidur aja dandanannya menor begitu apalagi bangun ya? Tidurnya gak di ranjang lagi. Semalaman dia tidur di luar kali... tapi kok gak masuk angin. Oh, Tuhan bagaimana ini.

Ketika dibangunkan, kepala si cewek miring ke kanan. Si cowok kaget. Adegan berpindah cepat ke rumah sakit. Ceweknya bunuh diri? No. katanya sih pendarahan otak gitu. Dan cerita mulai berputar-putar seperti itu. Mulai dari membaca diari, rasa cemburu, pencarian Sunny yang ternyata sudah menikah. Juga upaya Sunny membangunkan Alya.

Jangan bertanya banyak dan berharap lebih dari sini deh. Adegan yang sengaja dibikin suram, bahkan rumah sakit tampak seperti ruang jagal. Untung sutradaranya bukan Rizal Mantovani (betul gak nih namanya?). Bisa-bisa muncul bayangan putih dari balik kaca. Hiii.....

Keseluruhannya, ini pelem yang saya pikir konyol dan berlebihan. Anak muda Jakarta sekarang masa gak punya hp? Lalu nikmat cinta pertama seperti apa yang dipertahankan? Gak ada dialog dan gambar yang merujuk pada peristiwa istimewa sehingga patut dikenang dsb, dsb. Apa yang ingin disampaikan pada peristiwa ini? Dialognya yang sok romantis? Atau beberapa adegan tampak dibikin-bikin itu?

Bayangkan, si Alya sakit, pendarahan otak yang konon sudah lama dialaminya. Tapi demi tuhan yang maha pemaaf, tak ada adegan yang memperlihatkan dia kepayahan dan sakit. Dia melonjak-lonjak terus, tertawa-tawa, menangis, sedih, murung dan gembira dengan mimik yang nyaris sama. Lalu tiba-tiba entah karena apa penyebabnya, jadilah sepanjang cerita dia terbaring di rumah sakit yang pengap dan suram itu. Sepanjang cerita. Wuihh.. gila.

Atau simak adegan si cowok yang mengajarkan si cewek cara belajar yang efektif. Mulailah dia bercerita tentang sejarah di Eropa Timur... di kantin dan tengah malam pula. Jadilah sepanjang pelem ini diputar saya ngomong dan tertawa terus. Hampir setiap adegan selalu ada yang membuat saya tertawa.

Besoknya saya mengajak pacar saya menontonnya.

“Hus.. jangan cerewet. Jangan menonton dengan verbal, pakai rasa,” kata pacar saya sambil mengusap airmata. Sedih dia. Saya usap airmatanya itu. Hihihi, kok jadinya seperti pelem India.

Dan rasa, katanya, saudara. Rasa? Apakah saya harus melakukannya? Sekarang, sayang?

CINTA PERTAMA
Pemeran: Bunga citra lestari. Ben Joshua, Richard Kevin, Ratna ruchia
Sutradara: Nayato fio naula
Sekenario: Titin watimena
Produksi: Maxiuma fictured 2006

Bulu Dada James Bond

kontributor: arya “sim card” perdana

James Bond kita kali ini berbeda dengan James Bond yang dulu-dulu. Kalo dulu, Sean Connery atau Pierce Brosnan tampil kalem dan flamboyan, kini yang tampil Daniel Craig, pria Inggris yang-kata perempuan yang nonton sama saya: “Lambe-nya itu loh…. Jadi inget lolipop!”

Coba ingat-ingat lagi saat Connery atau Brosnan mengucap kalimat perkenalan khasnya, "My name's Bond. James Bond." Dengan setelan hitam yang rapi klimis licin, Bond ala Connery dan Brosnan memang elegan, charming, dan semerbak melati mewangi.

Tapi Bond cap Daniel Craig jauh beda. Ia kasar, ganas dan dingin. Berantakan, emoh mikir ruwet-ruwet. Dan satu yang penting, Bond generasi terbaru ini senang betul mengumbar bulu dada ke penonton. Para penonton bisa bingung: Ini James Bond atau Rhoma Irama yang di pelem-pelemnya dulu juga doyan banget pamer bulu dada sambil nyanyi dan nari-nari!

Gara-gara sering lihat Bond pamer bulu dada inilah saya menemukan kesimpulan. Gini: bulu dada Bond yang diperankan Daniel Craig ini ternyata halus dan lurus sama kaya rambutnya, sementara bulu dada Rhoma Irama keriting ngglundung, sama juga kaya rambutnya yang ngglundung kriting. Kesimpulannya: kriting atau tidaknya bulu dada ditentukan oleh kriting atau tidaknya bulu rambut (mari kita bertanya pada Rudi Hadisuwarno yang bergoyang).

Perhatikan gayanya waktu pesan minuman martini. "Stir, not shake," bilang Bond versi Brosnan. Tapi Bond versi Craig dengan sengaknya ngomong , "stir or shake, I don't give a damn!". Hahaha. Benar-benar nggak nurut pakem si Bond satu ini.

Sebenarnya, inilah prekuel dari film-film Bond sebelumnya. Di sinilah dipaparkan kenapa agen Bond ini kok bisa jadi agen andalan MI-6, agen rahasia Inggris yang tentu saja bukan intel Melayu.

(PERINGATAN: INI BAGIAN SPOILER/BOCORAN FILM)

Ceritanya, Bond dikirim ke Madagaskar (ini saudara jauh Makasar). Ia diminta memburu seorang teroris pembuat bom bernama Mollaka (bedakan dengan Tan Malaka!), di kota Nambutu. Di sinilah terjadi adegan seru. Kejar-kejaran Bond vs Mollaka di crane yang tingginya naudzubillahi mindalik. Bond si agen MI-6 benar-benar nekat. Jantung saya berdebar lebih kencang saat kamera mengikuti aksi Bond bertarung di crane yang tingginya lebih dari 300 meter di atas tanah.

Mollaka ini menghubungkan Bond dengan Alex Dimitrios, pembantu dekat buruan utama Bond, pria dengan satu bola mata yang terbikin dari kaca, Le Chiffre. Dia pake sepatu biasa, sebab kalau sepatunya juga ikut-ikutan terbuat dari kaca, namanya pasti Cinderella.

Singkat cerita, Bond bikin gagal rencana Le Chiffre buat meledakkan sebuah pesawat saat sedang diluncurkan di kota Miami. Bond juga bisa membunuh Dimitrios (setelah sebelumnya hampir meniduri istri Dimitrios, Solange, yang tubuhnya bakal bikin lelaki normal maupun abnormal ngeces-ngeces kaya burung walet).

Bond pun terlibat taruhan gede-gedean lawan Le Chiffre di Casino Royale, Montenegro (negara yang dulu pernah begitu rasis tapi memakai kata Negro). Bond pake duit Pemerintah Inggris. Makanya, setiap pengeluaran Bond diawasi benar sama bendahara Vesper Lynd (Ini masih sepupuan sama pemilik pabrik motor Vespa), si gadis Bond yang agak keluar kebiasaan karena digambarkan sebagai wanita pintar (berarti yang sebelumnya nggak pinter donk? Kan gak penting, yang penting semok. Hihihi…).

Kembali ke laptop….

Ngaku-ngaku pinter main poker, Bond justru kalahan pada awalnya. Duitnya habis. Tekor. Minta duit lagi sama Vesper, eh nggak dikasih. Akhirnya, Bond dipinjami duit sama CIA. Entah gimana ceritanya, Bond pun menang poker (soalnya saya nggak ngerti cara main poker, ngertinnya main gaplek di pos ronda). Tapi Le Chiffre sukses menyandera Vesper dan memancing Bond buat main kejar-kejaran pake mobil sport di jalanan mulus berkelok di Montenegro.

Kayaknya, Bond ini nggak semahir supir metromini kalo soal kejar-kejaran pake mobil. Bond celaka dan ditangkap Le Chiffre. Bond ditelanjangi, disiksa, dan dipecuti. Ada humor segar saat Bond disiksa begini. Ia malah minta Le Chiffre buat memecut "biji"nya. Argggghhhhhhh....serem! Membayangkan sakitnya membikin perut saya mules tiba-tiba.

Toh, pertolongan buat Bond tiba juga. Sosok misterius bernama Mr White muncul dan membunuh Le Chiffre. Bond pun berlibur sama Vesper-yang akhirnya jadi pacarnya-di Italia.

Di ujung cerita, peran Vesper dan Mr White pun kemudian terungkap. Siapa sebenarnya mereka akhirnya diketahui Bond. Film ditutup dengan adegan berisi tagline populer yang sudah saya sebut di atas: "My name's Bond. James Bond".

SPOILER/BOCORAN FILM BERAKHIR DI SINI

Gampang buat menggambarkan kesenangan nonton film Bond di bioskop. Adegan seru, desing peluru saat adu pistol, kejar-mengejar dengan mobil sport mahal, perempuan-perempuan bahenol yang bakalan nangkring di otak untuk setidaknya 1 pekan ke depan, dan gambaran akhir bahwa kebaikan akan menang melawan kejahatan.

Itulah sebabnya nonton James Bond itu terasa komplit. Adegan kebut-kebutan dan tembak-tembakkan akan menyeret pada memori daun pisang (hehehehe), persisnya memori masa kecil yang senang tembak-tembakan. Sementara adegan belai-belaian cewek seksi mengingatkan kita pada adegan beberapa hari silam di kamar kost atau di Paragkusumo. (baca dengan ekpresi mengedipkan mata: “Twink… twink….” Sambil lirik Ismanto tentu saja!)

Judul: Casino Royale (2006)
Sutradara: Martin Campbell
Aktor: Daniel Craig, Eva Green, Mads Mikkelsen, Jesper Christensen, Caterina Murino
Produser: Michael G Wilson

Takutnya Beda Banget dengan Rahasia Ilahi

kontributor: isman tho le'

Nonton ini felem Apocalypse Now memang bikin takut. Gak percaya? Tonton aja sendiri. Di situ nanti kita bisa lihat gimana orang pinter-pinter kok jadi sakit jiwa gara-gara perang. Saya jadi takut pinter gara-gara nonton felem ini. Bayangkan, Marlon Brando, pemeran Kolonel yang mesti dibunuh tokoh utama itu, tahu dan hapal puisinya TS Eliot: “The Hollow Man”: ... We are the hollow man. Terus ada lagi lagunya The Doors, The End: This is the end, my only friend, the end, of all our elaborate plan, the end.

Saya jadi mikir, kalau begitu, buat apa saya baca banyak-banyak buku, lihat lukisan, banyak nulis, nonton felem-felem bermutu maupun yang gak bermutu, mencintai musuh-musuh saya, kalau akhir-akhirnya saya nanti jadi orang superpinter kayak sang kolonel itu, tetapi sakit jiwa?

Pokoke felem ini bikin takut, tapi takut yang asyik dan cerdas (hehehe, ada juga jenis takut!!). Jenis yang ini ni bukan takut kayak kalau nonton felem horor jaman sekarang yang sama sekali gak hororable, tapi malah hornible (abis ceweknya cakep-cakep). Mo dibandingkan apa lagi: Suster Ngesot atau Rahasia Ilahi. Aduh, kok jeglek sekali bandingannya.

Ceritanya, ada seorang tentara, pangkatnya kapten AD Amerika, ditugasi mencari seorang kolonel jenius yang menjelma jadi pembunuh berdarah dingin. Ketemu, dan si tokoh utama berhasil membunuh kolonel itu. Mission accomplished, tapi jiwa sang kapten not accomplished.

Gimana gak? Dia sempat ngobrol sama si kolonel, dan dia jadi tahu alasan kenapa si kolonel berubah jadi pembunuh. Alasan yang bisa dibilang masuk akal bisa juga dibilang gak masuk akal, tapi tetap nyambung (pokoke nyambung, gak tahu gimana. Pokoknya nyambung dan saya juga dikit bingung).

Sekali lagi, the last (sumpah deh), felem ini memang bakal bikin penontonnya takut, takut kepada diri sendiri, karena kita jadi sadar bahwa kita yang selama ini mengagungkan diri sebagai makhluk mulia, pilihan Tuhan, gak taunya juga punya sisi-sisi gelap yang tidak diakui oleh peradaban kita.

Padahal, apa susahnya sih mengakui sisi-sisi gelap itu? Bukankah kita terus bisa tahu apa yang kurang pada diri kita, terus kita bisa memperbaikinya (ceile... sok pilsup).

He he he, sori, yang ini bener-bener terakhir. Nonton ini felem memang bikin takut. Gak percaya? Tonton aja sendiri. Menyebalkan ya ulasan saya. Kalau iya, maapin deh.

Judul: Apocalypse Now
Sutradara: Francis Ford Coppola
Pemain: Martin Sheen, Marlon Brando, Robert Duvall, Harrison Ford, dll
Produksi: Zoetrope Studio, 1979

Mon... Jadi Intel Kok Kamu Tetap Ganteng, Toh?

kontributor: maulida(n)abi

Matt Damon. Wajah gantengnya hilang di balik karakter dingin Edward Wilson, dedengkot agen kontraintelijen pada Central Intelligence Agency (CIA). Walaupun kegantengannya seperti hilang, paling gak masih ganteng dari rata-rata intel Melayu. Intel CIA gitu loch...

Simaklah perkataan Brocco, asistennya saat akan mulai bekerja. Saat itu Brocco tidak diberi tahu siapa nama bos yang akan ditemuinya. Wilson bertanya bagaimana Brocco tahu bahwa ia tidak salah orang. Jawabnya, “They said you were a serious SOB that didn't have any sense of humor. There can't be two of you.”

SOB ini artinya Son of Bitch. Kalau dia intel Melayu, pasti kodenya bukan SOB tapi AJ (Anak Jablay). Kalo kebetulan dia intel kelahiran m’Bantul, kodenya pasti jadi AK (Anak’e Keple).

Sikap dingin Wilson tampaknya seiringan dengan dinginnya hubungan Amerika-Soviet. Saking datar dan lambatnya, saya menghentak-hentakkan kaki saya di bioskop gara-gara bosan. Tapi masih gak separah cewek-cewek di film India yang nggoseh-nggoseh di tanah sambil menghamburkan gerimis air mata.

Film ini sungguh datar. Bayangkan, selama 2 jam saya menonton film dengan dialog yang membutuhkan konsentrasi. Alurnya pun maju-mundur-maju-mundur tapi gak kena-kena (emang film warkop DKI: Maju Kena Mundur Kena)

Kepusingan saya bertambah karena jaringan 21 memotong beberapa adegan, mungkin karena aslinya kepanjangan, 160 menit. Bagaimana saya tahu? Tentu saja setelah menontonnya ulang dari DVD bajakan. Oya, suasana di bioskop saat itu masih ditambah ulah Seni Apriliya, teman saya yang tidak berhenti mengoceh, “aku mah ga ngerti, aku mah pusing.”

Belum lagi ocehan senada dari lelaki yang duduk di sebelah yang bergumam nyaris sama, “Aku pah ga ngerti, aku pah pusing.”

Jadilah sebelah kanan kiriku seperti dialog sinetron Indonesia: Pah... Mah... Pah... Mah.... Papah... Mamah.....

Tapi bosan dan bingung itu ternyata diselipi kekaguman atas akting Damon. Tidak bisa tidak. Ia berhasil menghidupkan tokoh Edward Wilson, tokoh rekaan di tengah fragmen kelahiran agensi intelijen mata-mata terbesar. Selain kesempurnaannya dalam dunia spionase, Damon juga berhasil memunculkan konflik pribadinya dengan istri dan anaknya yang traumatik.

Film ini juga menggambarkan betapa tak enaknya sebuah keluarga yang dikepalai oleh lelaki yang juga seorang intel. Gimana gak sebel, “Polisi Tidur” aja udah menyebalkan, apalagi ini intel yang gak pernah tidur. Fuihh!

Semua ini bermula dengan bergabungnya Wilson dalam Skull and Bones, perkumpulan rahasia di Universitas Yale. Namanya “ditemukan” Federal Bureau Intelligence (FBI) untuk kemudian diminta memata-matai guru sekaligus dekan sastra, Fredericks, yang ditengarai dekat dengan Jerman pada Perang Dunia II.

Setelah tugas pertama, ia kemudian direkrut pada perang dunia dan berlanjut di perang dingin. Dari mata Wilson, kita bisa melihat Amerika dan Uni Soviet saling meracik formula yang paling baik untuk dihidangkan. Tidak berhadapan, tidak pula di negaranya masing-masing. “Pertempuran” itu terjadi di Jerman, di Kuba, atau negara lain.

Edward Wilson tentu agen tangguh, tidak mudah tergiur atau terancam, dan setia pada agensi (serta negara). Juga gak tergiur sama perempuan macam James Bond. Ini bedanya dengan intel melayu yang “digoda” para penari yang cuma pakai cawat doang aja udah gelap mata, padahal para penari itu anggota RMS. Iya toh? Hooh toh?

Sesuai dengan biasanya, Hollywood memunculkan tokoh yang patriot. Dan fasis juga kalau di mata saya. Sikap fasis khas Amerika itu dapat terlihat dari dialognya dengan Jimmy Palmi, imigran Italia sekaligus kriminal yang segera dideportasi.

Palmi: Let me ask you something. We Italians we got our families and we got the church. The Irish they have their homeland. The Jews, their trdition. Even the Niggers they got their music. What about you people, Mr. Carlson? What do you have?

Wilson: (Diam sejenak) The United States of America. The rest of you are just visiting.

Kisah patriotik Wilson berbeda dengan agen lain yang penuh pengkhianatan. Dengan mudah seorang agen bisa berubah pikiran dan menyeberang. Hari ini kawan, besok jadi pacar, lusa jadi istri dan entah apa lagi. Orang-orang datang dan pergi... oh begitu saja (Loh kok jadi nyanyi Letto?)

“Jangan percaya siapapun” adalah ayat ampuh pada bibel seorang intel. Mereka memegang teguh itu. Dan Wilson terus maju dengan pilihan yang diambilnya. Ia berusaha menjadi ayah sekaligus agen yang baik. Tentu, tentu saja ia tak mampu mendapat semuanya. Ia membayar dengan pengorbanan besar. Keluarganya sendiri. Mengharukan. Mirip film India ya? Hiks... hiks....

Menonton The Good Shepherd, kita bisa tahu bahwa kesempurnaan berarti kesendirian. Seorang agen Inggris yang kemudian di pihak Soviet, Arch Cummings, mengutip sebuah puisi Irlandia. A friend for today is tomorrow's heartbreak. Sebuah larik yang mewakili lakunya.

Di atas semua itu, Matt Damon tetap tampil dengan ganteng. Aku berdesir-desri tiap kali matanya menatap lurus ke dapan dengan tajam.

Oh, Mon... wajahmu itu loh....


Judul Film The Good Shepherd
Sutradara Robert de Niro
Aktor Matt Damon, Angelina Jolie, Alec Baldwin, Robert de Niro, Tammy Blanchard, Michael Gambon
Produser Jane Rosenthal

Maaf, Saya Hampir Me*ek

kontributor: agung be ha

Jujur!!! Ini film serius. Sangat-sangat serius. Hingga karena terlalu serius, Nagabonar (Deddy Mizwar) menarik-narik tangan patung Jendral Sudirman yang menghormat. Patung Jendral dengan ikat kepala dan mantel yang berdiri tegap menghormat entah kepada siapa.

“Siapa yang kamu hormati Jendral?” lanjut Nagabonar, “apa mobil-mobil itu?”

Saya sempat tertegun melihat adegan itu. La tiba-tiba kok saya kasihan pada Jendral Sudirman. Kok tiba-tiba saya ingat pepesan guru PMP, “Apa sumbangsihmu bagi negara?” Dan anehnya ada yang mengganjal di tenggorokan. Ada yang menggumpal dalam dada. Nafas saya tersengal. Di kelopak mata, seperti ada yang ingin keluar. Sesuatu itu saya tahan.

Saya malu mengeluarkannya. Sebab saya saat itu di 21. Apa kata dunia, jika saya sampai mengeluarkan sesuatu yang seperti buliran itu keluar. Apa kata cewek berparfum menggoda melihat lelaki di samping kanannya me....

Bioskop yang gelap menyelematkan saya dari malu. Dari ingus bening yang keluar dari hidung. Dari mew.... ah saya berhasil menahannya.

Mungkinkah saat nasionalisme saya tergugah? Waduh!!! Ini terlalu serius. Ngomongin nasionalisme di jaman Tukul Arwana tenar. Ngomongin nasionalisme di jaman tentara di sepelemparan ketapel dari Monumen Nasional lebih suka bergoyang dangdut daripada perang.

Tapi mungkin ini yang hendak disampaikan Babe Kalah Perang (Deddy mis-war) kepada penonton. Di tengah semarak film horor yang bikin terbahak. Bahwa, mungkin menurut Babe, Indonesia ini bukan saja hanya milik para pejuang, para tentara, dan para pahlawan. Tapi, barangkali, juga milik orang-orang yang dipilih Yang Maha Rahim lahir di tanah air ini: Indonesia. Dan generasi 3G ini sudah luntur nasionalismenya.

Ini juga bukan jamannya orang diteror dengan film horor. Tapi jaman Indonesia yang serius tapi juga bisa tertawa.

Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya pembaca, maaf jika dua paragraf di atas, saya terlalu serius. Tapi itu yang saya tangkap dan rasakan dari film ini. Film tentang kesenjangan nilai antar dua generasi. Tentang generasi Bonaga (Tora Sudiro) dengan jaman ketika Nagabonar yang mantan copet bisa jadi Jendral di jaman Revolusi Fisik.

Saya tak hendak berargumen masalah kesenjangan nilai antar generasi ini. Sebab kuping saya, yang sebulan sekali dikorek, (kadang juga lupa) ini masih bisa mendengar gadis disamping kiri saya di 21 ngomong sama yayangnya, “Yang apa dulu Nagabonar jadi Jendral?”

“Waduh!!! Mbaknya nonton Naganobar Jadi 2 pasti gara-gara pengaruh iklan,” batinku. Sejenak saya ingat pada kategori para penonton film di Janji Joni. Jika dikategorikan, Mbaknya ini pasti masuk golongan penonton berisik. Dan saya pun akan dicomot dan dimasukkan dalam kategori kritikus amatir. Weladalah!!! Saya kok main kategori-kategorian to ini.

Tapi tak apalah, sang dalang (sutradara) Pak Deddy Mizwar memang membuat saya jadi seperti itu. Membuat saya harus menilai, menimbang dan memutuskan. Bahwa dalam perkara dakwah, Pak Deddy seperti Sunan Kalijaga. Dia ceramah lewat seni dan budaya pertunjukan. Jika Sunan Kalijaga dulu dakwah dengan wayang kulit, maka Pak Deddy ini dakwahnya lewat wayang modern, film namanya.

Dan Wulan Guritno yang tampil anggun itu cuma pemain. Yang dia harus berperan m,enjadi wanita sempurna. Berparas ayu, cerdas, mulus (lemu tur alus, gemuk dan halus), punya mobil sedan mewah, tinggal di rumah mewah juga.

“Apa kata dunia?”

“Wahai lelaki!!! Diwajibkan atas kamu untuk ngiler pada wanita macam itu,” kata saya.

Tuan-tuan dan Nyonya-Nyonya!!! Maafkan saya, kritikus amatir ini, lancang mengkritik Pak Deddy. “Nagabonar jadi 2” memang bagus. Tapi gaya sinetron tetap saja ada. Seperti juga Mbak Wulan yang memerankan wanita sempurna itu. Juga tentang Mas Tora yang jadi executive muda. Dan Tukang bajaj harus ditampilkan dengan wajah memelas. Waduh!!! La kok kayak sinetron bikinan Om-om Punjabi. Nehik lah ya.

Jika boleh saya menilai, adegan terbaik dalam film ini adalah ketika Nagabonar berhasil mencopet jam tangan pengusaha Jepang.

Apa kata Nagabonar?

“Tak tahu lah Kau Bonaga, Jepang itu dulu merampas negeri kita lebih dari jam tangan ini.”

Itu baru satu contoh. Satu contoh adegan terbaik lainnya ketika film ini usai. Nagabonar yang tua, memerintahkan kepada Tora dan kawan-kawannya untuk segera membayar permadani Mushala. Semua pemuda itu tampak tergeragap. Lari tergesa-gesa.

Penonton di 21 itu pun terbahak. Entah apa yang mereka tertawakan. Sebab tawa itu segera reda. Lampu mulai di 21 itu pun dinyalakan. Penonton pun bubar.

Sekali peristiwa, ketika film itu usai, sehabis nonton film ini dua lelaki kebingungan cari pintu keluar di Ambarukmo Plaza. Mereka nyasar sampai di lower ground.

Mewekkah mereka?

Dua lelaki itu akhirnya meringis, setelah mereka melihat Jalan Solo, Yogyakarta. Jujur!!! Cerita ini tak mengada-ada.

Sutradara: Deddy Mizwar
Pemain: Deddy Mizwar, Tora Sudiro, Wulan Guritno, Lukman Sardi, Uli Herdiansyah
Penulis: Musfar Yasin
Produksi: PT Gisela Citra Sinema (2007)

Dari Bolly ke Holly Lalu Singgah di Pasar Senen

kontributor: titik khan kartinehi

Suatu siang yang mengantuk. Saya datang ke lantai empat, redaksi majalah life style.

“VCD apaan tuh ?” tanya seorang teman yang bergaya alumni Wanadri padahal bukan sama sekali. Sepatu tracking, celana lapang tambalan sekana abis dibarut tebing Himalaya plus pisau lipat Victorinox yang selalu menggantung di celana.

“Ashoka,” jawabku.

“Yang main siapa?”

“Shah Rukh Khan.”

“Hua..ha..ha..ha...nehi..nehi...nehi...” gelak temanku itu diikuti gerakan mengangkat satu tangan sembari menekuk lutut. Yang lainpun jadi ribut. Barangkali nama Shah Rukh Khan seperti aib jika disebut di lantai yang selalu meresensi film Hollywood itu.

Dia mengambil VCD dari tanganku lalu menyetelnya dengan ekspresi ingin mencari hinaan yang lebih ampuh.

Sebuah pedang melayang menembus sarang burung, menancap di tanah dengan bercak darah dan bulu yang melayang pelan. Orkestra bernada minor mengalun. “Pedang yang lepas dari sarungnya selalu akan mencari mangsa...” Seorang anak dengan tatapan shocked melihat bulu burung yang melayang pelan.

Teman saya duduk di kursi dengan tangan bersedekap

Setting kerajaan Magadha 273 SM – 232 SM. Perebutan tahta. Seorang perempuan tua yang nampak bijak bertapa membisu. Ashoka (Shah Rukh Khan) harus pergi meninggalkan kerajaan karena sang ibu selir itu tidak ingin ada pertumpahan darah. Pertarungan antara Pangeran Sushima yang ambisius dan Pangeran Ashoka harus dibatalkan. Di India, seorang ibu begitu berwibawa. Ashoka-pun menurut. Menanggalkan atribut kerajaan, berpakaian rakyat jelata dengan kadi dan celana kombornya, berkuda putih, sang pangeran meninggalkan gerbang kerajaan.

Muncul screen Kalinga Border. Banyak anak-anak berkepala botak sedang tersenyum riang. Shah Rukh Khan memotong rambutnya yang semula gondrong. Menjadi pendek rapi dan murah senyum. Sembari membagikan buah-buahan kepada para bikhu cilik itu.

“Kau orang baru di sini. Tetapi sinarmu takkan tertutupi oleh awan,” kata seorang bikhu tua.

“Hemmm..apakah saya seorang pangeran dengan pedang panjang. Atau seorang maharaja?!” canda Shah Rukh sembari menirukan lagak pendekar.

“Nasibmu lebih baik dari maharaja.”

“Wow... siapakah yang lebih baik dari seorang maharaja?”

“Seorang musafir yang telah mengakhiri perjalanannya,” kata bikhu itu sembari menjauh. Suara lonceng berdentang. Senja pun berubah menjadi malam.

Ketika layar memancarkan cahaya. Muncul hamparan pegunungan nan hijau. Kareena Kapoor menari dengan baju seksi.

‘San sanana Na Na...Ja Ja Re Ja Re ... Ja Ja Re Ja...Ja Re Pawan...’

Teman saya nyengir. Beranjak menyedu teh. Dengan asap panas mengepul di gelas, teman saya itu kembali duduk tersenyum lebar. Kurasa, dia telah menemukan fragmen hinaan yang lumayan.

Ashoka mengajari Putri Kaurwaki (Kareena Kapoor) yang saat itu sedang dalam pelarian, untuk memainkan pedang.

“Pandanglah musuh di satu titik. Pedang harus menyatu dengan jiwa. Gerakannya senafas dengan nafas kita...” Jurus-jurus pedang layaknya The Last Samurai.

Teman saya duduk memegang dagu. Satu teman yang lain ikut duduk.

Adegan perpisahan yang membuat terharu bombay bombay.

“Saya harus pergi. Ibu saya sakit,” kata Ashoka yang menyamar menjadi warga biasa dengan nama Pawan. “Percayalah, aku akan kembali menjemputmu. Dengan ribuan kuda dan ratusan gajah. Kau adalah ksatria putriku.” Lagu sendu mengalun. Mereka pun tak lagi pernah bertemu. Ashoka menemukan tempat persembunyian Kaurwraki telah menjadi abu. Ashoka mengira, Kaurawki mati dengan tragis. Ashoka kembali ke watak semula. Menjadi beringas dan tak terkendali. Pembunuh yang keji. Penakluk yang ambisius.

Teman saya melupakan tehnya. Wajahnya kaku menatap layar monitor. Teman yang lain melongo dengan wajah paling bloon yang pernah ditunjukkan.

Puluhan ribu tentara. Ribuan kuda. Ratusan gajah. Berkumpul dalam satu pertempuran. Antara Magadha dan Kalingga. Panglima perang yang gagah berani. Shakh Rukh Khan dengan rambutnya yang tiba-tiba gondrong, berhadapan dengan prajurit Kalinga. Tanpa sepengetahuan si Shakh Rukh..bahwa pemimpin pasukan Kalingga adalah Kaurwaki.

Di antara bangkai yang berserakan. Kereta yang patah rodanya. Senjata yang kehilangan tuannya. Ashoka berdiri dalam sunyi.
“Aku telah memenangkan pertempuran. Tetapi sebenarnya aku telah kalah...” Tokoh kita menunduk. Di antara setting bekas pertempuran yang mengerikan layaknya Brave Heart. Hingga tiba-tiba Kaurwaki muncul. Dengan amarah yang meluap. Kekecewaan yang tiada tara. Lalu roboh di tanah. Mereka berpelukan. (penonton tersenyum.. hiks seandainya itu gue gitchu loh..). Kemudian muncul anak kecil. Pangeran Arya, calon pemegang tahta Kalinga.

“Pawan, apakah pangeran itu jadi kembali? Dengan ribuan kuda dan ratusan gajah. Apakah pangeran dan putri itu akhirnya menikah ? apakah mereka hidup bahagia ?”

Wajah garang Shakh Rukh Khan lenyap diganti uraian airmata.

“Ya..mereka hidup bahagia.” Brug. Bocah laki-laki itu roboh tengkurap. Di punggungnya puluhan anak panah menancap. (Mati lo !) Film selesai.

Ashoka. Film yang diproduksi dan disutradarai Shakh Rukh Khan. Settingnya keren. Humornya canggih. Yang melibatkan ribuan orang, 6.000 kuda, dan 400 gajah. Menjadikan Ashoka sebagai film kolosal terbesar abad ini....

“Gila...ini sekelas Hollywood...gila....!” teriaknya sembari menatap layar yang menampilkan nama-nama kru film dalam huruf berjalan, seakan berharap tiba-tiba film itu muncul sekuelnya. Atau bersambung seperti sinetron ‘Tersanjung’ yang sambung menyambung itu. Lama ia tercenung sembari geleng-geleng kepala.

“Dimana lu beli ?”

“Pasar Senen... nape ?”

Temanku melongo. Nah lo!

“Lo kok abis. Sambungannya mane.”

“Sambungannye ya, kopaja itu lu tahan trus pulang deh peluk2 bantal. Hehehehe.”

Judul: Ashoka
Produksi: Bollywood, 2001
Sutradara: Santosh Sivan
Produser: Shah Rukh Khan
Pemain: Shah Rukh Khan, Kareena Kapoor




Ismail dan Pelacur Kencur

kontributor: gus muh ismailiyah

Samaritan Girl
Sutradara: Kim Ki Duk
Pemain: Seo Min-jung, Gwak Ji-min, Lee Eol, Gweon Hyeon-min, Oh Yong
Produksi: 2004 (juga diputar di bioskop para kutu www.kutubuku-ngomongin film.blogspot.com)

Saya sedang menonton film pemenang Berlin International Film Festival 2004 untuk Sutradara Terbaik ini, saat membaca potongan-potongan perdebatan antara Hudan Hidayat dan Taufik Ismail perihal Gerakan Syhawat Merdeka dan Fiksi Alat Kelamin di Harian Jawa Pos.

#1
Dua anak SMU di Korea Selatan. Kulit pualam dan daging-daging tubuh masih liat pejal. Keduanya mengejar impian ke suatu tempat yang jauh. Dan diam-diam keduanya menyiapkan sejumlah uang dengan cara yang nista sekaligus manis.

Dan, “Astaghfirullah,” suara parau Taufik Ismail tertahan di kerongkongan membaca esai Hudan Hidayat “Sastra yang Hendak Menjauhi Tuhannya” (6/5/2007). Lalu ia tak ambil peduli. Taufik mengambil pisau dapur dan mengiris bawang merah. Ia mulai melantur tentang praktik bejat sastrawan yang disebutnya Fiksi Alat Kelamin.

#2
Keduanya, cewek ingusan ini, sebagaimana galibnya dua pelacur profesional, membagi tugas. Jae-Young yang tampil feminin bertugas tidur dengan lelaki, sementara rekan dan sahabat karibnya, Yeo-Jin ambil tugas sebagai germo, manejer, dan sekaligus kasir dari semua keringat yang diperas Jae-Young. Satu lagi tugas Yeo-Jin: mencatat dalam diari mereka berdua kapan dan dengan lelaki yang mana Jae-Young melacur hari ini. Mereka pun mengincar motel. Jae-Young di kamar lantai tiga. Yeo-Jin di selasar untuk mengintai aparat keamanan yang selalu datang merazia transaksi seks yang dilakukan makhluk-makhluk di bawah umur.

Seperti polisi moral dunia akhirat, Taufik Ismail meneteskan airmata. Orang ini memang terkenal dengan mewekannya. Seakan-akan, sosoknyalah nabi baru yang menyelamatkan Indonesia ini dari kebrutalan Fiksi Alat Kelamin. Di usianya yang sudah magriban ia tampak gagah, tapi sekaligus cengeng. Ia sangat tahu bahwa tangisnya adalah modalnya untuk menaklukan hati siapa saja untuk bergerak melarang. Kalau sastrawan-satrawan Lekra dulu melarang semua yang tercela dari garis revolusi dengan suara lantang-lantang serak, kini Taufik Ismail melakukannya dengan menghamburkan airmata dan dengan suara serak-trenyuh menghiba-hiba belas kasih. Seorang diri maju tak gentar mengganyang sastra yang tak diridoinya. Ck. Ck. Ck.


#3
Beberapa kali memang Jae-Young dan Yeo-Jin bebas dari razia di motel itu. Namun rupanya dua petugas keamanan sudah mencium praktik itu. Praktik banal itu digerebek. Tapi Jae-Young cepat turun tangga belakang motel dan berlari bersama Yeo-Jin melintasi pasar yang ramai. Jae-Young hanya memakai beha berlari-lari di pasar kelontong itu.

Dulu, sebelum Taufik menjadi—dalam istilah Hudan Hidayat—nabi tanpa wahyu, adalah pengecam keras praktik-praktik kejam yang dilakukan sastrawan-sastrawan Lekra dan tanpa penjelasan yang njlimet melekatkan kepada Lekra stigma seratus prosen Partai Komunis Indonesia. Di mata Taufik, nyaris tak ada yang baik yang dilakukan sastrawan Lekra. Bacalah buku yang disusunnya, Prahara Budaya, niscaya Anda akan berkesimpulan: Lekra tak lain adalah segerombol algojo haus darah. Padahal, apa yang ia kampanyekan hari ini sudah dilakukan Lekra 52 tahun lalu. Bacalah Harian Rakyat di bundel Fabruari 1955 bagaimana Lekra Jogja mengumumkan jihad akbar terhadap pakaian-pakaian bikini di hadapan umum.

Baca pula artikel Iecha Akulara di lembar “Lentera” Bintang Timoer edisi Jum’at 2 Nopember 1962 yang diasuh Pramoedya Ananta Toer. Di sana Rendra dikecam habis-habisan karena menulis sajak-sajak kelamin. Setelah mengulas 6 sajak Rendra, artikel “Puisi Erotik: Bingkisan Ulangtahun Rendra” itu diakhiri dengan kesimpulan: “Tapi kita masih bisa merasa beruntung, karena erotika tak tumbuh subur dalam sastra Indonesia. Erotika jang berlebih2an hanja merugikan moralite bangsa kita, jang sedang sibuk dalam taraf pembangunan semesta berentjana. Dan sebaiknja dalam hal ini kita mengikuti pendirian dr. K. Heeroma, jang mengatakan bahwa puisi erotis adalah puisi hina. Sastra jang sematjam inilah jang mesti segera dibabat!”

Rupanya Taufik Ismail tak mau mengutip guntingan artikel itu supaya suatu saat akan dipraktikannya secara leluasa tanpa ada yang tahu. Generasi saya yang hadir belakangan betul-betul terkelabui. Sialan.



#4
Jae-Yung bernasib baik dan selalu bisa kabur dari razia yang pada akhirnya bunuh diri pada penggerebekan ke sekian kalinya. Bukan lantaran aparat ia meloncat dari lantai tiga, melainkan karena Yeo-Jin tak ingin dia mencintai teman kencannya. Yeo-Jin cemburu. Lantas karena itu Jae-Yung memilih mati. Tapi kematiannya adalah perubahan jalan hidup Yeo-Jin. Dia adalah anak aparat polisi moral Kota Seoul, Yeong-gi. Seusai diasupi ayahnya setiap pagi dengan masakan kesukaan almarhum ibunya, dia segera berangkat ke sekolah lalu melacur. Dia hubungi semua teman kencan Jae-Young untuk menidurinya di lantai tiga motel. Usai bercinta, dia ucapkan terimakasih dan uang pemberian lelaki kepada Jae-Yung dikembalikannya.

Ayahnya resah setelah tahu bahwa anaknya lonte. Dibunuhnya satu per satu lelaki yang meniduri anaknya. Kalau Yeo-Jin melacur untuk nazar membersihkan rasa bersalahnya melarang Jae-Young jatuh cinta, maka ayahnya membunuh semua lelaki girang itu karena martabat sebagai seorang ayah dan polisi. Selanjutnya film ini tak banyak bicara. Semuanya berjalan dingin dan tak mudah ditebak ujung emosi dan hubungan ayah dan anak ini. Yeo-Jin memang menyelesaikan nazarnya dan mencoret nama terakhir yang mengencani Jae-Young dan ayahnya juga mengakhiri pembataiannya atas lelaki terakhir dalam buku diari itu dengan cambukan borgol dan hentakan batu bata yang menghamburkan seisi kepala lelaki bejat itu. Yeo-Jin tersedu di kaki gunung. Ayahnya dengan tatapan kosong meninggalkan Yeo-Jin di gigir sungai yang teduh menuju penjara dengan dakwaan pembunuhan.




Di dapur rumahnya, Taufik Ismail terus berlatih menangis. Ia bawa juga tangisnya di ruang sidang DPR dan tangis itu berbuah kata PKI dilarang masuk kurikulum pelajaran sejarah SMP-SMU. Ia tumpahkan pula tangis itu di ujung-ujung mikrofon atas nama pidato kebudayaan; audiens terharu dan ia berharap dukungan membabat 13 aliansi Sastra Syahwat Merdeka. Tangisnya itu pula yang ia sebar di halaman-halaman koran dan huruf-huruf di koran pun luntur.

Politik tangis itu pula yang membuat saya iba hingga saya terkadang tak lagi mengenali siapa sih sejatinya Taufik Ismail ini. Masihkah ia seorang Humanis Universal atau Humanis Unilever. Masihkah ia seorang penyair yang melahirkan puisi pamflet Benteng dan Tirani, walau gaya realis itu sudah menjadi makanan sehari-hari penyair-penyair Lekra yang dia kutuk hingga ke liang lahat selama bertahun-tahun lamanya.

Saya berharap mewekan Taufik Ismail di atas hanya fiksi belaka dan salah satu adegan persiapan syuting film Ratapan Anak Tiri 3 yang penuh hujan airmata. Sebab jika terjadi di panggung kebudayaan yang sebenar-benarnya, Taufik Ismail hanyalah epigon dari salah satu projek Lembaga Kebudayaan Rakyat yang sudah teralpa: buang ke tong sampah majalah Playboy, singkirkan sastra yang mengabuti moralitas revolusi, pria berkeluarga haram hukumnya selingkuh dengan perempuan lain, dan perempuan berbikini dilarang berlenggak-lenggok di ruang publik karena merusak jalannya revolusi.