Tak Butuh 3 Hari untuk Menyesal

kontributor: yandri

Karena saya orangnya mudah percaya, maka ketika banyak media memuji-muji film garapan Riri Riza yang terbaru (saat itu 2007), “Tiga Hari untuk Selamanya”, sayapun ikut penasaran untuk segera menyaksikan. Waktu itu filmnya sudah diputar di 21, tapi karena belum punya duit dan begitu pendeknya nafas hidupnya di Yogya, saya gagal menyaksikan film tersebut.

Singkat cerita, karena masa tayang yang begitu cepat, dengan perhitungan dan analisis yang --alhamdulilah ngawur--, saya pikir film ini pasti begitu beratnya, hingga orang-orang tidak tertarik nonton. Belum lagi melihat sekilas review-nya oleh Susi Ivaty di kompas, tema perjalanan yang jarang diangkat oleh sineas Indonesia ini menurut saya cukup menarik.

Namun setelah kemarin mendapatkan VCD originalnya, dengan menghabiskan seluruh sisa duit yang ada untuk meminjam di rental langganan, harapan saya yang cukup tinggi langsung musnah.

Oh tidak, film ini tidak jelek, tidak separah film aliansi setan dan demit Indonesia yang biasanya muncul sekilas itu.

Hanya saja, ah, Riri Reza selalu saja tidak sabar, tidak mencurahkan energinya untuk menggarap film secara maksimal. ‘penyakit’ macam GIE muncul lagi di film ini.
Banyak detail yang percuma kalau tidak kabur (semoga karena sensor). Kelemahan utama tentu pada alasan perjalanan itu sendiri. Mengantar porselen hanya karena sudah tradisi dan tidak percaya pada maskapai penerbangan ??? Macam orang LDII di Kabupaten saya yang menolak diberi vaksin polio karena buatan Amerika (ampun bang munarman, eh anda bukan LDII ding, anda kan sarjana hukum).

Terus adegan gelap di sekitar sepertiga akhir film apa maksudnya?! Gempa-kah? Kok masih bisa beli wedang di angkringan setelah hari H gempa?

Ah, pokoknya banyak potensi yang terlewatkan untuk digarap lebih sabar dan detail.

Sisi positifnya barangkali akting Nico dan Ardinia Rasti (Ngganja dan mabok, jangan-jangan akting mereka natural karena mereka sudah aslinya memang satu aliran dengan Jackie Chan di Drunken master?). Chemistry atawa hubungan kimia (entah apa mangsudnya, tapi orang –orang yang ngereview film sering pake’ kata ini, saya comot saja biar kelihatan pinter) mereka sangat terasa. Sayang, bocoran di internet bilang mereka akhirnya ber’zina’ tapi demi tujuan mulia melindungi generasi muda Indonesia dari hal-hal yang negatif, maka adegan itu terpaksa disunat (terkutuk anda Titie Said).
Saya kemudian cari-cari apa maksud sebenarnya film ini.

Kata orang-orang pinter di internet, film ini bercerita tentang perbenturan budaya di Indonesia, si Nico dan Ardinia Rasti adalah representasi manusia Indonesia modern, sementara di sepanjang perjalanan, yang kurang lebih memang tiga hari lebih beberapa jam itu, (saya benar-benar menghitungnya, suer!) mereka berinteraksi dengan budaya lokal (maksudnya orang kota yang jijik makan di warung pinggir jalan, cari hotel murah di Tegal yang seharusnya banyak tapi malah menginap di rumah Haji yang maniak poligami, atau nafsu lihat ronggeng nari di pinggir pantai, dll).

Pada intinya, tolong jangan dibandingkan dengan “On The Road”-nya Jack Keruoac, yang sama-sama cerita tentang perjalanan ‘orang mabok’(walau yang ini sih tentang penyair ‘Beat’ dan di setting-nya Amerika), karena memang substansi ceritanya beda.

“Heartland”? jangan ah, kurang lucu, karena memang tidak jelas film ini mau dibikin humor atau tidak. “motorcycle diary”? apalagi. Penyakit orang Indonesia ialah suka mengidentifikasi diri dengan produk barat. Tugiyo dibilang “maradona-nya Indonesia”, atau lotek dibilang “salad-nya jawa”.

Oh tidak baik membanding-bandingkan. Apalagi hanya menghina film karya lokal, oh sungguh tidak konstruktif dan tidak adil. Kalau memang ada kesamaan dengan produk Holywood, maka film ini memiliki elemen yang serupa dengan “Darjeeling Limited”, film perjalanan naik kereta menyusuri India (bintangnya si Adrien Brody ‘The Pianist’ dan Owen Wilson) berkisah tentang perjalanan spiritual yang dipaksakan.

Terus persamaannya apa? Ya perjalanan di Film ini juga dipaksakan harus hadir. Elemen utama inilah yang sebenarnya tidak terlalu penting dari semua bangun cerita. Oh sayang, oh mama oh papa. Gapapa, daripada ndak ada sama sekali. Barangkali Riri perlu bikin film perjalanan “Ekspedisi Tali pocong perawan via Benjeng Kruwul – Surabaya PP”. Pasti laku, rekor AAC saya yakin lewat.

Insayaallah. Masak Insyaadong!

MAY (2008)

Sutradara : Viva Westi
Penulis : Dirmawan Hatta
Pemain : Jenny Chang, Yama Carlos, Jajang C. Noer, Lukman Sardi, Niniek L. Karim, Tutie Kirana, Ria Irawan
Produser : Heru Winanto
Produksi : Flix Pictures
Homepage : http://may-themovie.com/

Akhirnya ada juga film Indonesia yang berani mengambil kerusuhan Mei 1998 sebagai latar belakang kisahnya. Sebelumnya sih ada film Pocong (1) -nya Rudi Sujarwo yang mengambil setting itu, cuma sayangnya tidak lolos sensor dan tidak jadi diedarkan. Pertama sih nggak terlalu tertarik dengan film ini, karena capek lah nonton dokumentasi dari kerusuhan yang memilukan itu. Tapi ketika membaca review positif di internet yang berani memberi rating tinggi untuk film ini, kok jadinya kepengen nonton.

Kisah di Antara Kerusuhan Mei

May (Jenny Chang) tokoh utama dalam film ini adalah seorang gadis keturunan Tionghoa. Dengan setting cerita pada Mei 1998, akan langsung bisa ditebak bahwa May adalah salah seorang yang menjadi korban kebiadaban peristiwa rusuh di Jakarta. Pada saat terburuk itu May terjebak di tengah huru hara massa. Antares (Yama Carlos), pacarnya yang anak pribumi, sibuk dengan kegiatannya merekam dokumentasi sejarah dan mengabaikan telepon May yang menangis meminta tolong. May yang tak berdaya akhirnya menjadi korban kebuasan manusia gelap mata. Seorang jurnalis asing bernama Raymond yang kemudian menolongnya. Ketika kembali ke rumahnya, May mendapati rumahnya porak poranda dan Mamanya entah kemana. Semakin terpuruk lagi kehidupan May, saat kemudian ia kedapatan hamil.

Sepuluh tahun kemudian. May telah menutup luka lamanya dengan tinggal di Malaysia menjadi penyanyi. Namun malam itu, ketika May sedang menyanyi di cafe, Antares muncul kembali. Membawa penyesalannya dan setumpuk rasa bersalah. Luka May semakin terkoyak lagi ketika Raymond juga mendatanginya dengan membawa Tristan anak kandung yang ia tinggalkan.

Di plot yang berbeda, Gandang (Lukman Sardi) seorang pegawai Hotel terseret teman-teman kerjanya yang mengambil kesempatan pada saat terjadi kerusuhan. Mereka memeras para pengungsi warga keturunan yang ingin segera meninggalkan Jakarta. Orang-orang yang sedang kalut itu bersedia menyerahkan hartanya asal bisa mendapat tiket untuk eksodus ke luar negeri. Mama May (Tutie Kirana) yang masih bingung karena May belum pulang selama kerusuhan itu, tak punya pilihan ketika saudaranya memaksa menyerahkan sertifikat rumah kepada Gandang demi selembar tiket. Dari hasil penjualan rumah Mama May itu, Gandang membuka usaha sendiri dan sukses.

Sepuluh tahun kemudian, Gandang bertemu lagi dengan Mama May di sebuah kedai kopi di Malaka. Keadaan Mama May yang setengah linglung karena terus mencari-cari May, memunculkan perasaan bersalah pada diri Gandang yang merasa telah memanfaatkan kesengsaraan orang lain.

Bagus, Nggak Klise

Meskipun berlatarbelakang kerusuhan Mei 1998, film ini bukanlah film tentang kerusuhan itu. Ini adalah film drama tentang cinta dan keluarga yang konflik2nya terjadi sebagai akibat dari peristiwa Mei 98. Kejadian-kejadian brutal dari hari-hari berdarah cuma ditampilkan sebagai berita di televisi. Tidak ada reka ulang peristiwa kerusuhan tersebut yang ditampilkan secara frontal dalam film ini. Penggambarannya cukup dengan sedikit asap dan api, dan orang kalut berlari-larian yang melengkapi interaksi antar tokoh, sudah bisa menyampaikan kondisi kacau pada saat itu dari sisi yang lebih humanis. Tanpa perlu mengorek luka lama terlalu dalam.

Dari sisi penuturan film ini berani bereksperimen dengan menyampaikan cerita dalam plot maju mundur. Bukan sekedar plot maju mundur biasa, tapi dalam film ini ditampilkan beberapa kisah paralel dari sejumlah tokoh secara bergantian yang masing-masing bergerak dalam plot yang maju mundur. Kedengarannya bakal berantakan dan membikin bingung penonton, apalagi sama sekali tidak disampaikan atau dituliskan keterangan tempat dan waktu yang menuntun penonton. Tapi berkat kepiawaian sutradara yang dibantu oleh penata rias, setting, dan busana, penonton akan dengan mudah menebak lokasi dan kronologi waktu dari adegan yang sedang ditampilkan. Permainan plot yang dengan cerdas menggiring penonton untuk memahami cerita dengan lebih baik kayaknya adalah kekuatan utama film ini, walaupun ada beberapa segmen yang terlalu bertele-tele.

Pengambilan gambarnya tidak monoton ala sinetron, bukan cuma asal bagus tapi juga sanggup bercerita melengkapi dialog tokoh2nya. Setting klenteng dan pantainya cantik, juga setting rumah di dekat Prambanan. Sayang tata suaranya kurang sempurna. Lagu yang dibawakan May di cafe juga kurang pas dengan mood cerita.

Permainan akting Jenny Chang sebagai May lumayan bagus meski belum cukup prima. Akting Jenny paling kedodoran saat ia harus berdialog dalam bahasa Inggris. Sementara Yama Carlos tidak bisa mengeksplore terlalu jauh karena memang karakter Ares adalah orang yang datar menyimpan emosi. Malah aktris gaek Tutie Kirana yang berhasil membuktikan kepiawaiannya berakting sebagai wanita tua yang tertekan. Lukman Sardi sebagai Gandang terlalu datar dengan ekspresi yang nyaris sama sepanjang cerita. Ria Irawan yang menjadi istri Gandang sempat memberikan penyegaran sebagai istri cerewet, meski di beberapa bagian agak overacting :p

Cerita dari film ini sendiri cukup menyentuh, beberapa adegannya akan sanggup menghanyutkan emosi penonton. Alur cerita utama antara May dan Ares terasa agak bertele-tele, walaupun nggak sampai jatuh jadi cerita ala sinetron. Yang lebih kuat malah alur cerita dari kisah Gandang - Mama May, lebih menyentuh dari sisi humanis.

Perkembangan cerita dalam film ini seringkali tidak disampaikan secara langsung dalam dialog atau narasi, kadang cukup dengan sedikit adegan tanpa dialog saja telah bisa bercerita banyak. Penonton dianggap cukup cerdas untuk mampu menangkap itu tanpa harus didikte oleh narasi. Cuman menurutku untuk endingnya, cara penyampaiannya kurang keren, mestinya dibiarkan saja menggantung tapi dengan sedikit petunjuk ke arah ending.

Kesimpulannya. Untuk kelas film Indonesia, film ini kereeeen. Permainan plotnya cerdas. Kisahnya menyentuh tapi tidak cengeng. Sayang kurang promosi, jadi yang nonton dikit :(