kontributor: kalangwan tanpo jati
Bapak Utuy pasti menyambut kedatangan kita. Dia pasti tersenyum di atas sana. Jadi kita taburkan saja bunga-bunga ke makan-makam yang tidak diperhatikan, makam-makam yang sudah tidak ada namanya.
Kata-kata itu diucapkan Prof. Ludmilla Demidyuk, pengajar sastra Indonesia di Universitas Moskwa. Ludmilla siang itu datang ke pemakaman umum Moskwa untuk berziarah ke makam Utuy Tatang Sontani, pengarang terkemuka Indonesia pada masa Orde Lama yang dikenal lewat novel berjudul Tambera. Sayangnya, seusai habis-habisan mencari, makam Utuy tak juga kelihatan. Ludmilla akhirnya ambil keputusan untuk menaburkan bunga-bunga setaman yang dibelinya ke makam-makam tak terawat atau (dalam kata-kata Ludmilla sendiri) “makam-makam yang sudah tak diperhatikan dan tak ada namanya.”
Ludmilla, saya kira, tepat sekali mengatakan itu. Utuy Tatang Sontani adalah satu dari sekian banyak anak negeri ini yang punya karya besar dan dihormati orang tetapi justru tak pernah dihargai secara adil oleh bangsanya, tak diperhatikan, seakan-akan seperti orang-orang tak bernama. Utuy ada di deret terdepan dari para anonim sejarah Indonesia.
Siapa yang kini ingat, misalnya, Semaoen atau Alimin atau Darsono? Mereka adalah nasionalis-nasionalis generasi awal yang bergerak lebih dulu daripada Soekarno-Hatta atau Sjahrir. Hanya karena mereka dianggap eksponen komunis, kita seperti memberi permakluman jika mereka tak diberi tempat yang lapang dan apa adanya dalam narasi sejarah Indonesia.
Maka sungguh mengejutkan jika film Gerimis Kenangan dari Sahabat yang Terlupakan (salah satu film buatan anak negeri yang diputar dalam Jogja Netpac Asian Film Festival yang berlangsung pada 7-12 Agustus 2006) produksi Indonesian Council for Caulture Relation (ICCR) bisa mewawancarai saksi hidup bagaimana para penubuh nasionalisme Indonesia generasi pertama itu beraktivitas dan hidup di pembuangan Rusia. Beberapa di antaranya bahkan pernah menjadi murid Semaoen.
Yuri Sholomov dan Lev Dyomin adalah salah dua murid Semaoen yang masih hidup dan berhasil diwawancarai. Keduanya adalah generasi pertama orang Rusia yang memelajari bahasa Indonesia. Semaoen bahkan merelakan diri menjadi pengajar bahasa Indonesia dan ia sendiri turun tangan langsung menyusun buku/diktat tata bahasa Indonesia khusus bagi murid-muridnya (buku itu ditunjukkan di salah satu adegan film ini). Siapa yang menyangka, Semaoen, penulis brosur Penoentoen Kaoem Boeroeh yang termasyhur itu pernah menulis buku jenis begini?
Semaoen sadar kerja macam itu bukan kerja sepele. Ia meletakkan penulisan buku itu dalam kerangka diplomasi politik kebudayaan. Dengan menulis itu, Semaoen setidaknya sedang menyiapkan sekelompok orang yang kelak bisa diharapkan menjadi jembatan dari saling pengertian dan kerjasama kedua negara. Semaoen paham Rusia (dulu Sovyet) adalah salah satu kekuatan yang potensial bisa men-support Indonesia. Itulah sebabnya, selain mengajar bahasa Indonesia, ia menulis surat pada Stalin untuk memperhatikan perjuangan Indonesia.
Surat itu berhasil. Indikasinya jelas: Stalin memerintahkan dibangunnya seksi Indonesia dalam kementrian penerangan Rusia. Dan hubungan politik dan kebudayaan kedua negara pun dimulai.
*****
Saya tak tahu bagaimana rasanya jika saya menyaksikan kejadian seperti ini langsung dengan mata saya sendiri. Lima orang lelaki tua berdiri di pojok sebuah taman di Moskwa. Cuaca ketika itu lumayan cerah. Dengan sisa-sisa tenaga renta, kelimanya menenteng klarinet. Tangan kiri memegang sehelai buku kecil. Dan mulailah mereka memainkan lagu.
“Indonesia, tanah air ku
Tanah tumpah darahku….”
Ya, mereka memainkan lagu Indonesia Raya. Saya yang hanya menyaksikannya lewat film mungkin tak tergetar-getar amat. Tapi bisakah anda bayangkan, ketika sedang menaiki taksi di Moskwa, tiba-tiba sopir taksi yang anda tumpangi bersenandung kecil memainkan nada yang begitu anda kenal, misalnya lagu Rayuan Pulau Kelapa. Atau ketika menyusuri rak-rak di sebuah toko buku, tiba-tiba salah satu penjaga toko, di sesela melayani anda, mendadak bersenandung lagu Rayuan Pulau Kelapa.
Adegan itu direkam dengan dingin dalam film ini. Menyaksikan Gerimis Kenangan dari Sahabat yang Terlupakan persis ketika kita hendak menjelang ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-61 mendatangkan sebuntal rasa haru. Sayangnya, itu rasa haru yang mengganggu. Mungkin juga malu.
Alexandra Kasatkina, misalnya. Anak muda Rusia yang sedang menyelesaikan program doktoralnya ini paham bahasa Jawa Kuna. Dia teliti kitab Kunjarakarna untuk memahami soal “agama asli Jawa” yang belum tersentuh Hindu/Buddha. Kasatkina kini fokus dalam subjek “atma” (dia menerjemahkannya sebagai soul/jiwa). “Agama asli Jawa”, kata Kasatkina, “percaya manusia terdiri dari lima lapis atma.”
Di bawah bimbingan Prof. Alexander Oglobin, Kasatkina dan sejumlah karib seusianya kerap mendiskusikan Ngarakrtagama, Kunjarakarna, hingga Pararaton (berapa anak muda kita yang pernah mendiskusikannya?).
Atau simak juga wawancara dengan DR Elena Revunenka, peneliti dan salah seorang pimpinan Museum Kuns Kamera St. Petersburg. Kini, entah ada berapa orang yang punya kompetensi macam dia: menguasai bahasa dan tulisan Batak Kuna sekaligus mahir menerangkan soal dunia (ke)batin(an) orang Batak.
Berkali-kali DR. Elena mengatakan bahwa di Batak nyaris sudah tak ada lagi yang bisa berbahasa dan membaca aksara Batak Kuna. Sepintas ada rasa bangga saat Elena mengucapkan itu. Tapi dari helaan nafasnya, kita juga tahu, Elena seperti menyesali kemungkinan lenyapnya lagi satu bahasa dan aksara dari muka dunia.
Film ini memang tak berpretensi gagah. Film yang disutradarai oleh wartawan budaya majalah Tempo, Seno Joko Suyono, ini meluncur tanpa narasi dan teks. Isinya hanya kelebatan gambar-gambar dan serangkaian wawancara. Tapi dari sana, dari rangkaian wawancara yang sinambung dan tak terputus itu, kita jadi mengerti betapa lumpuhnya strategi kebudayaan kita.
Kita bisa melacaknya dari Museum Kuns Kamera. Museum yang didirikan pada masa Peter I yang berkuasa di pergantian abad 17-18 ini punya kenangan hebat tentang Indonesia. Ketika hubungan Indonesia-Rusia masih kuat-kuatnya, koleksi tentang Indonesia (baik buku atau benda-benda) ditempatkan di sebuah ruang utama. Koleksi tentang Indonesia ketika itu menjadi koleksi Ketimuran yang terbesar.
Sayangnya itu sudah berlalu. Sebagian terbesar koleksi tentang Indonesia kini sudah “digudangkan”. Pelan tapi pasti, koleksi dan tema-tema tentang Jepang atau Korea mulai menggantikan subyek kebudayaan Indonesia. Mereka membangun pusat studi atau pusat kebudayaanya sendiri-sendiri. Studi atas Jepang atau Korea kini lebih diminati.
Kita terharu menyaksikan Indonesia Raya dimainkan serombongan lelaki tua di pojok lapangan St. Petersburg, sama terharunya ketika kita mendengar seorang lelaki tua supir taksi dan perempuan paruh baya penjaga toko bersinar-sinar parasnya ketika mereka menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa. Tapi pada saat yang bersamaan kita juga merasa malu begitu menyadari kita tak pandai merawat hubungan kebudayaan yang hangat itu dengan sebaik-baiknya.
Kita mungkin senang dan syaraf kebanggan nasional kita pun akan terangkat menyaksikan sejumlah kecil orang tua di Rusia dan lebih sedikit lagi sejumlah anak muda di Rusia mendiskusikan kitab Batak Kuna, Ngarakrtagama, Pararaton atau Kunjarakarna. Tapi pada saat yang bersamaan kita juga juga disergap rasa sedih yang mencengkau begitu menyadarai makin punah saja orang Indonesia yang bisa membaca kitab-kita tua.
Tanpa strategi kebudayaan yang lebih agresif dan serius, orang-orang seperti Elena atau Kasatkina bisa jadi akan menjadi orang-orang terakhir di luar negeri yang bisa membaca aksara Jawa atau Batak Kuna. Kita sedih jika mereka menjadi semacam the Last Mohicans-nya kebudayaan-kebudayaan kuna nusantara di dunia manca.
Aneh rasanya jika bayangan buruk macam itu justru datang di hari ketika bangsa ini hendak merayakan kemerdekaannya.
Gerimis Kenangan dari Sahabat yang Terlupakan adalah kabar dingin buat Indonesia dari Moskwa.
How Web Search Engine Works
15 years ago
0 comments:
Post a Comment