kontributor: Nashi Kotho Khan
Pacarku suatu kali datang ketika aku tiduran di dalam kamar. Kuletakkan buku, dan dia menghadiahkanku satu kecupan, tak cukup sekali, berkali-kali dan ranjang dalam sekejap kusut dan berantakan.
Kami bertatapan penuh haru dan rasa senang. Kembali dia menghadiahkan sebuah pelem ia pinjam dari tetangganya yang baru pulang dari Malaysia.
“Pelem bagus. Mohabbatein. Dah nonton?” dia bertanya.
“Belum. Yang lagunya banyak diputar di vcd-vcd itu ya?”
Dia mengangguk dengan mata berbinar. Senang dia, bisa ngasih kejutan.
“Yuk, lihat. Awas loh nggak tahan nangis. Pelemnya kayak kita, loh, sayang. Duh terharu sekali.”
Aku memeluknya segera. Sudahlah, apa yang tidak “kayak kita” bagi sepasang anak muda seperti kami yang menganggap dunia akan runtuh esok pagi?
Kaset disetel. Pelem dimulai.
Ada daun-daun yang bertebaran setiap ia ditiup angin. Tittle pilem muncul, judul, para pemain, sampai sutradara. Sayangnya semua deretan tittle itu aku lupa, kecuali Sakhruk Khan dan Amithabaccan. Tak tanggung-tanggung, tiga kaset, Bung! Dan jangan harap untuk yang ini kami bisa bosan. Sebab ada goyangan, ada nyanyian, dan tentu saja ada (eng... ing... eng...): pusar, saudara-saudara. Sekali lagi pusar!
Dan tentu si Jhoni Lever yang lucu itu, selalu muncul di hampir setiap pelem Khakhakha.
Dimulailah kisahnya tentang tiga orang mahasiswa baru di sebuah College (betulkan lah tulisannya bung redaktur jika salah) yang semua mahasiswanya adalah cowok. Tak boleh ada perempuan pokoknya. Alasan ini mencuat ketika seorang dosen biola datang ke sana. Tentu saja namanya Rahul. Gak mungkin kan namanya Asep? Apalagu Dudung.
Sementara Kepala College menghadapi setiap orang dengan dingin. Dan tentu saja Sang Kepala ini perempuan. Dan akhirnya pacaran deh Si Kepala dan Si Dudung ini. Eh salah, si Rahul.
Wuih... jujur saja, kebencian begitu tebal pada si Amithabachan yang dulu selalu menjadi hero itu. Apalagi tiga laki-laki di pelem itu mendapatkan pujaan hatinya, yang masing-masing cantik dan seksi-seksi. Saya sebagai penonton harus mengikhlaskan mereka jadian. Dua orang mengalami permulaan cinta yang mulus, yang satu, duh malang nian dia, jatuh cinta pada seorang janda muda, mantan istri seorang pilot yang meninggal ketika mereka berulang tahun. Penyebabnya? Seperti di negeri ini, kecelakaan pesawat lah. Dan di malam pertama pula. Jadilah janda ini, perawan seumur hidup yang tak bisa mengecap birahi. Duh! Saya memeluk pacarku erat-erat dan berharap: “Musibah macam begituan tak akan terjadi pada kita, sayang.....”
Sejak kedatangan si Rahul yang pintar bermain biolah inilah College tersebut mulai mendapat tekanan. Si Kepala sejak awal tidak suka pelajaran kesenian. Dan cerita kemudian mengalir bak film Dead Poet society-nya Robin Williams. Persis banget.
Sudahlah, aku tak akan ceritakan bentuknya serupa apa, bayangkan saja anda tengah melihat sang guru mengajar puisi pada murid-muridnya, mengajarkan mereka sedikit membangkang dan sebangsanya. Hanya saja si Rahul ini lebih tampak gagah, muda dan selalu menenteng biola. Sisanya? Nyanyi-nyanyi lah, nari-nari, pacaran dan permainan biola tadi itu.
Pertanyaannya, kenapa aku begitu nikmat menyaksikannya? Jujur aku tak begitu suntuk nonton pelem Hollywood. Makanya aku gak kenal bener dengan si Robin Williams tadi.
Si guru biola, Rahul, menyarankan dan mendukung habis-habisan kalau sekolah itu menjadi sekolah umum, ada cewek dan cowoknya. Tapi itu berseberangan dengan Si Kepala tadi. Dan puncaknya, tiga murid tadi harus dikeluarkan dari sekolah.
Sebelum itu terjadi, bukan pelem india namanya kalau tidak mengasih kejutan yang berurai air mata. Si Rahul datang ke kediaman Si kepala. Dan, duh... (sebentar saya menghapus air mata dulu) ternyata dia adalah mantan kekasih anak kepala sekolah yang meninggal dunia karena bunuh diri.
Sebentar, pemirsa sekalian. Akan kita tengok masa lalu sedikit. Rahul ini ternyata mantan siswa sekolah ini juga dulunya, yang pacaran dengan si cewek (siapalah namanya), tapi ditentang sang ayah. Si Rahul diusir dari sekolah, si cewek bunuh diri, sejak itu Si Kepala jadi orang yang kesepian seumur hidup dan menutup diri dengan dunia luas. Setiap pagi dia datang ke depan kampus memberi makan burung-burung sendirian, dengan kesunyian seorang lelaki tua (kira-kira sesunyi si kolonel Aurelio Buendia di novel Marquez itu kagak ya?). Dan ternyata, Rahul adalah laki-laki itu, yang datang untuk menghabisi kekeraskepalaan Sang Camer, yang sekarang sudah jadi Si Kepala.
Dialog-dialog sengit dan romantis berpilin-pilin, tak satu kalimat pun bisa dilewatkan terjemahannya. Penuh haru dan menyedihkan.
Eit, saya lupa. Si Rahul ternyata selalu setia dengan perempuan yang sudah mati itu. Bayangkan, ia selalu dikuntit sang hantu kemana pun dia pergi. Itu pulalah yang menyebabkan Si Rahul menyukai hidupnya kini, sebab sang kekasih selalu ada di sampingnya, meski pun cuma dia selama ini yang bisa melihatnya. Dan tahukah kalian misi Si Rahul untuk sisa usianya?
“Saya ingin menyelamatkan cinta. Agar setiap pecinta selalu merasa bahagia....” Waw... heroik banget! Heroisme ala Hindia. Heroisme yang menangis-nangis. Beda banget ya sama heroisme Hollywood yang dar der dor.
Uh, para pemirsa sekalian, pacarku sekarang gantian memelukku erat, lebih dekat, lebih hangat.
Lalu cerita mengalir dengan debar dan menggetarkan. Tibalah masanya ketiga siswa itu dihadapkan di sidang sekolah. Semua murid berkumpul, ketiganya dipanggil. Adegan ini bak menyaksikan pelem Harry Potter. Ketengangan terasa di sekitar kami. Sebenarnya kami tak perlu deg-degan sebab sebagaimana lazimnya pilem india, semua selalu berakhir bahagia.
Dan begitulah memang, si murid tak jadi dipecat, Si Kepala dalam waktu satu malam telah mengubah banyak hal dalam hidupnya yang dilewatkan hampir selama puluhan tahun.
Bayangkan, cuma semalam dan sekat psikologis pun terbuka. Perempuan-perempuan, para gadis entah dari mana datangnya menyerbu ruangan itu. Dan berakhirlah pagi itu dengan nyanyi-nyanyi dan tari-tarian.
Besoknya, lihatlah, Rahul dan Sang Kepala begitu akrab. Mereka berjalan beriringan memberi makan burung-burung. Belum lengkap ending-nya kalau kemudian sang hantu tak kembali muncul. Dia memegang tangan sang bapak tanpa dendam sedikit pun. Sejak itu Rahul harus berbagi dengan mantan calon mertuanya (aneh ya, mantan calon. Piye toh?).
Dan selesailah... tinggal kami yang masih berpelukkan. Oh cinta, oh India, oh masa muda. Oh Rahul. Oh Amitabhachan. Oh semuanya.
Uh, pelem yang penuh gejolak, yang akan mengalir ke muara. Mohabbat adalah cinta. Ya, Cinta.
Kok saya jadi ingat si Pat Kay yang ada di serial Kera Sakti ya. Dia kan sering bilang: Beginilah cinta... deritanya tiada Rahul!
How Web Search Engine Works
15 years ago
0 comments:
Post a Comment