kontributor: kotho ben pundjabi (dari bioskop panas kelas ekonomi di sebelah)
“Ya, kita nonton Ayat-ayat Cinta, ya?” rengek pacarku jauh sebelum film ini diputar. Pacarku, sebagaimana pacar-pacar siapa pun di hampir seluruh negeri ini tahu bahwa Ayat-Ayat Cinta sedang dalam proses penggarapan ke film waktu itu. Wong di kampungku, nun jauh di pesisir pantai Sumatera Barat yang aksesnya terbatas itu saja tahu bahwa ada Novel dasyat yang berjudul Ayat-ayat Cinta. Yang ini aku yakin, mereka tahunya dari acara infotaiment yang digemari nyaris sebagian besar mabnusia Indonesia.
Tak lama berselang, (cieeh.. bahasanya) film itu diputar juga. Aku sudah baca resensinya di Kompas minggu yang ditulis Susi Ivvanti (kira-kira begitulah namanya) yang kemudian aku tahu bahwa dia telah melakukan sebuah kesalahan besar dalam menceritakan alur film tersebut. Susi, dalam resensinya bercerita bahwa Nurul menuduh Fahri memperkosanya, yang baik dalam novel dan filmnya tokoh itu bernama Noura. Adakah karena kedekatan nama tersebut membuat Susi lupa dan media sebesar Kompas luput mengeditnya. Atau jangan-jangan Mbak Susinya belum tahu itu novelnya. Kha..kha..kha..
Demikianlah, sebagaimana yang ditakdirkan aku menantang pacarku. “Gimana, hari ini diputar perdana loh, mau nonton gak.” Kataku pada sang pacar. Sumpah, di kantongku hanya ada uang tujuh ribuan saja yang hanya bisa untuk sekedar makan malam saja.
“Gak lah. Pasti antri. Lagi pula mahal,” tolaknya.
“Lalu?”
“Kita tunggu saja CD-nya. Paling bentar lagi yang bajakan pasti ada.”
Dan batallah kami ke Ambarukmo Plaza Jogja dan jadilah aku makan malam yang lebih enak sendirian.
Ramalannya sepenuhnya benar. Beberapa hari kemudian, ketika filmnya masih diputar di bioskop, kawan tetangga kamarku datang menenteng dua keping CD.
“Ayat-ayat cinta,” teriaknya. “Cuma boleh minjam sehari saja.”
Apa lacur. Banyak yang antri. Pelem baru lagi. Kami sepakat akan menontonnya sehabis magrib.
Meski bajakan, saudara; dengan mutu gambar dan suara yang lumayan parah, toh aku bisa juga menikmati keseluruhan ceritanya. Nanti, pada bagian akhir CD kedua, film ini tak sepenuhnya selesai. Ending yang aku ketahui hanyalah ketika Aisya kembali ke rumah dan Maria tersenyum di balik pintu. Disk ketiganya aku dapatkan juga di sebuah warnet, ketika aku hendak mengoleksi film-film porno sebelum pemerintah turun tangan mengenyahkan barang-barang tersebut. Selebihnya yang bersisa hanya gerutu dan kekesalan.
Betapa tidak, lihatlah Fahri, tokoh kita yang satu ini. Betapa pasifnya dia sebagai bintang utama. Nyaris dalam keseluruhan film ia tampak diam dan menunduk. Karakter muslim pun tidak sempurna melekat pada dirinya. Tak ada janggut, tak ada pakaian dan sikap yang mencerminkan dia anak al-Azhar kecuali pada bagian di mana dia tak mau bersalaman dengan perempuan lalu dia tampak khusuk di tempat yang remang, pengajian. Ha..., Ndika Mahrendra, temanku penyair itu saja lebih terlihat lebih Islami ketimbang dia. Atau mungkin lebih pas An Ismanto yang berperan menjadi Fahri.
Lalu Maria sebagai gadis Kairo dan Aisya sebagai gadis Jerman tak terlihat karakternya sekali. Belum lagi bahasa yang mereka gunakan, bahasa Indobnesia yang Jakarta banget. Kesan bahasa ini sepenuhnya amat mengganggu. Kita seolah menonton film yang sedang di dubbing. Tiap awal adegan, kita ditawarkan pada bahasa Arab sebagai pengantar, seolah memaksa kita untuk menyadari bahwa “Ini di Mesir lo, ihwan-ahwat!” Saya seperti melihat film yang ditayangkan Indosiar tentang legenda-legenda itu. Kenapa tidak sekalian bahasa Arab saja? Kenapa hanya bahasa-bahasa pengantar saja menggunakan bahasa Arab? Kalo yang itu, tak usah jauh-jauh ke Mesir segala. Di sini, main saja ke markas organisasi-organisasi Islam, bahasa semacam itu bukan barang baru lagi, kok. Aku tak habis pikir juga, bagaimana para pemain yang diwawancarai itu bilang, itu karena kursus bahasa Arab lah dan semacamnya. Gus Muh saja lancer kok kalau cuma bicara “ikhwan-akhwat-afwan-ukhti-dsb” semacam itu.
Aisyah, kita kembali pada cewek cantik ini. Dalam resensi di situs resminya saya dapatkan keterangan semacam ini, “Aisha, 25 th (Rianti Cartwright). Mahasiswi asing keturunan Jerman dan Turki, cerdas, cantik dan kaya raya. Latar belakang keluarganya yang berliku mempertemukan dirinya dengan Fahri.” Indo Jerman Turki? Terwakilikah karakter ini menurut saudara? Lalu soal kaya rayanya itu lo. Saya tidak menemukan hubungan kekayaannya dengan jalinan cerita yang dibangun. Apakah kekayaan itu ingin ditampilkan ketika Fahri dalam penjara dan dia berusaha menyelamatkan sang suami dan menghabiskan banyak uang? Di sini pun, siapa pun akan melakukan hal yang sama, saya rasa. Meskipun harus menggadai sawah dan tanah mereka.
Kesan Islami pada perempuan ini hanya muncul ketika dia masih gadis saja. Begitu menikah, dia terlihat menjengkelkan dan pongah. Sikapnya pada sang suami juga tak terlampau mewakili bahwa dia istri yang baik dan santun. Dialog-dialog dia dengan fahri di amna dia mengganti komputer tua lakinya dengan laptop misalnya atau ketika mereka bersoal akan tinggal di mana, malah terlihat sikap sombong dan arogan.
Dan kematian Maria. Betapa terburu-buru digarap. Ketika dia menikah dengan Fahri, dalam waktu sekejap dia sembuh dari sakit yang parah. Tapi begitu menceritakan kematiannya, dalam waktus sekejab dia meninggal dunia. Wah... takdir bung, takdir, teriak kawan jengkel.
Lalu mengenai gadis Nurul binti Ja'far Abdur Razaq yang berasal dari Jawa Timur ini, kehadirannya di film sama sekali tidak mempengaruhi jalan cerita. Dia hadir atau tidak saya pikir sama saja. Justru kehadiran tokoh ini membuat saya harus berkomentar buruk lagi. Betapa tidak, tak terlihat keakrabannya dengan Fahri, tiba-tiba saja, entah karena apa dia kagum, jatuh cinta, dan hendak menikahinya. Dan tiba-tiba saja ngambek dan marah. Kenapa dia? Ada bagian yang dipotong lembaga sensor ya?
Sudahlah, sudah begitu banyak resensi mengenai ini saya kira. Kritik dan pujian tentu saja. Benar itu semua. Saya juga ingin berkata, mana Mesirnya? Apa yang khas selain kacamata hitam dan keranjang Maria? Tokoh-tokoh yang berperan jadi orang Mesir pun sepertinya dimainkan oleh orang-orang India Pasar Baru. Soal bahasa dan seting yang terburu-buru digarap dan melupakan detail soal Mesir dan sebagainya semakin memperparah cerita ini. Atau tengoklah ketika Fahri meraung-raung di penjara dan seorang kawan terpidana lainnya menghajarnya dengan nasehat. Mahasiswa S2 itu pun tersadarkan oleh napi yang tak diketahui indentitasnya itu, apakah dia seorang rektor atau kyai sebelumnya?
“Tak bisa. Ndak layak itu. Tidak masuk akal,” giliran pacar saya yang marah melihat Fahri yang tiba-tiba tersadarkan. “Semula dia hero, membela perempuan Barat di bis dengan firman Tuhan, kok tiba-tiba justru disadarkan oleh seorang narapidana yang tak jelas semacam itu?” kembali dia meradang.
“Kebenaran datangnya kan dari mana saja. Kita juga bisa belajar dari orang-orang semacam itu. Orang-orang yang tak diduga dan luput dari amatan kita,” saya mencoba membela.
“Tapi merusak logika filmnya tau,” pacar saya mengaum lebih keras dan mulai tak terkendali. Kalau sudah begini saya lebih baik diam saja.
Tapi begitulah. Sebuah film dan Indonesia pula, tentu tak habis dibicarakan segala kekurangannya. Jika boleh memuji saya suka dengan ilustrasi musiknya, tetapi tidak dengan cerita dan setingnya. Itu saja.
Lalu suatu kali teman perempuan di kampus saya yang diakuinya sendiri jarang nonton film mengatakan kepada saya, “Pelem yang bagus itu ya kayak Ayat-ayat Cinta, Tauk!”
“O....” Dan saya pun melongo. Saya masih belum bisa menjawab ini tentang benar atau tidaknya. Permisi!
AYAT-AYAT CINTA (2008)
Pemain: Fedy Nuril, Rianti Cartwright, Sazkia Mecca, Melanie Putri, Carrisa Putri, Surya Saputra, Oka Antara
Penulis Naskah: Salman Aristo & Ginatri S. Noer dari Novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy
Produksi: MD Pictures
Sutradara: Hanung Bramantyo
How Web Search Engine Works
15 years ago
0 comments:
Post a Comment