Kisah Cinta yang Nehi-nehi....

kontributor: nashi ben koto

Dia tidak cantik mak…
Dia tidak jelek mak…

Dulu saya mengira lagu dangdut manis yang dinyanyikan oleh Iwan, penyanyi Malaysia yang lahir di Medan itu tidak hanya sebentuk bangunan rasa percaya diri pada kekasih, tapi juga kehernihan inspirasi.

Tentu saja saya sering menyanyikan lagi itu dan mencintainya sepenuh hati.

Tapi kau akan dilanda rasa heran sekaligus bingung begitu film India yang berjudul Mann diputar. Airmata akan berhenti sejenak begitu lagu Tina Tik Tana mengalun. Apa pasal? Mak oi, kedua lagu itu mirip dan persis sama. Tentu liriknya saja yang berbeda.

Ini bukan analisis kelatahan dan kebiasaan mencontek—sebagaimana sinetron dan film kita semakin hari semakin merapat pada Jepang dan Korea. Jadi jangan tanya saya siapa yang lebih dulu mempopulerkan lagu tersebut. Jawab saya…. “nehi… nehilah….” Saya hanya ingin mengatakan, siapkan ember, selembar tisu, dan cemilan keras ketika Mann sampai di tanganmu. Karena adegan deraian bawang Bombay segera akan dimulai.

Begini ceritanya saudara-saudara:
Dev dan Priya bertemu di sebuah kapal pesiar luar negeri dan saling jatuh cinta satu sama lain. Mereka berdua akan menikah, dengan pasangannya masing-masing. Dan sepenuhnya sadar akan hal ini, mereka berpisah di akhir pelayaran, dan berjanji bertemu lagi sesudah setahun. Pertanyaannya, apakah cinta mereka akan hidup terus setelah setahun tidak berjumpa?

Selesai? Nei, nei, nei…

Di antara adegan itu, lagu-lagu sendu yang tak melewatkan goyangan tentu bermunculan. Aamir Khan berjoget di tempat yang berbeda-beda dengan Manisha Koirala dalam judul lagu Mera Mann. Anda tentu juga boleh ikut menari atau tersedu seperti Manisha Koirala yang cemburu. Ho.. ho.. ho.. lagu rancak ketika kapal mereka berhenti di pelabuhan, dekat tempat tinggal nenek si Dev di sebuah pulau. Jadilah lagu Kushiya aur gham yang sendu itu dengan arasemen piano yang rancak bana.

Sampai bagian ini bersiap-siaplah kau tersedu-sedu. Tapi cerita belum berakhir, sayang.

“Valentine nanti aku ingin kita bertemu di sana,” kata si Dev pada Priya menunjuk sebuah gedung pencakar langit di pinggiran pantai dengan bahasa Hindi yang fasih… Waktu itu mereka masih di kapal.

Intinya begini saudara-saudara, mereka janjian bertemu pada malam valentine beberapa waktu mendatang. Jadi, alamat dan nomor telpon menjadi tak penting. Duh… kok bisa gitu ya?

Selanjutnya adalah adegan pengisi waktu. Di mana Dev bekerja membikin mural, dia pelukis lo. Dan Priya bersibuk-sibuk di rumah menunggu tunangannya pulang. Bukan pelem India namanya jika tak ada adegan seperti ini: si Priya harus berkata jujur pada tunangannya yang namanya (katakanlah) Ajai—gak mungkinlah Agung, Jejen, Perca, atau Gusmuh kan?

Dan cerita pun bergulir. Ini baru dua disk kawan, jadi sabarlah. Nikmati aja lagu Tina Tik Tana ini dengan mengikuti lirik Iwan tadi. Dia tidak cantik mak… dia tidak jelek mak... dan bersiap-siaplah meluncur dengan mobil masing-masing menuju tempat yang dijanjikan.

Apa kata saya, kejutan belum berakhir. Sebuah mobil celaka tiba-tiba merusak kemesraan kita. Priya ditabrak begitu saja, kakinya harus diamputasi. Si Dev sebal, melempar bunga dan pergi. Lu sih, disuruh minta nomor HP gak mau.

Adegan selanjutnya adalah kesedihan dan kesedihan. Siapkan ember Anda, ukurlah seberapa besar simpati Anda pada seseorang.

Priya begitu murung dan tertekan. Hidupnya hanya diisi dengan mengajar anak-anak kecil menari, melukis, dan bernyanyi. Dia duduk di kursi roda ditemani Ajai yang setia. Sementara Dev? Dia rajin melukis bro. Dia akan melelang dan setelahnya dia akan pindah ke pulau di mana dulu neneknya pernah tinggal.

Tapi pertemuan itu terjadi juga. Pada sebuah pementasan yang entah apa. Ternyata India begitu kecilnya. Seusai pementasan Dev mendekati Priya yang masih duduk di bangkunya. Dev berkata-kata pedas dan memaki. Priya menanggapinya dengan tenang dan kesabaran tanpa ampun. Ini bagian yang paling banyak menguras tangis. Ember, udah penuh belum?

Setelah puas mencerca, Dev berlalu.

Dan tiba-tiba suatu hari, menjelang kepindahannya ke pulau, Dev muncul di rumah Priya. Perempuan itu tetap duduk di sofa agar Dev tak tahu kalau kakinya telah tak ada akibat perjanjian pertemuan mereka yang celaka itu.

“Seorang cacat telah membeli lukisan saya,” katanya di antara cercaan, makian, dan juga kata-kata sendunya.

Sebelum pergi dia berbalik dan berkata. (sebagai saran, tariklah napas Anda. Ini adegan yang jauh lebih sendu lagi). “Oh ya. Nenek sudah meninggal. Dan dia minta seseorang mau memakai gelang kaki darinya. Seseorang itu adalah kamu!” Begitulah kira-kira kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Priya terpekik. Dan…. “Saya juga penasaran dengan orang cacat yang memberi alamat di rumah ini,” kata Dev. Dan ia masuk ke kamar Priya. Lukisannya ada di sana. Bersegeralah Dev mendekat. Hendak memasang gelang kaki dan ingin tahu ada apa dengan Priya.

“Dev, please, jangan. Gue gak bisa….” begitu kira-kira kalau diterjemahkan ke bahasa anak muda.

“Tapi gue ingin memasangkan kalung ini ke kaki lu, sebagaimana pesan Oma sebelum jatuh di alam baka.”

“Tapi gue gak bisa Dev. Please deh ah....”

Pertengkaran dan paksaaan semacam itu membuat airmatamu akan terus mengucur. Dan….

Dev terpekik begitu tahu, Priya sudah tak punya kaki. Tak perlu kata-kata, Dev. Tak perlu penjelasan, Priya. Kebahagiaan ada di ruang tamui ini.

Adegan selanjutnya? Tentu saja Dev menggendong Priya dari pelaminan setelah sumpah sehidup-semati.

Puas… puas...puas…????!!!!

MANN
Sutradara: Indra Kumar
Produser: Indra Kumar & Ashok Thakeria
Pemain: Amir Khan, Manisha Koirala, Neeraj Vohra, Mushtaque Khan, Sharmila Tagore (bukan Robindranat lo), Anil Kapoor, Rani Mukherjee, Shama Gesawat, Deepti Bhatnagar, dan Dilip Tahil
Musik: Sanjeev Darshan
Tayang: 1999


0 comments: