Fox kembali garap film lawas

27 November 2008
Lagi-lagi film remake dibuat kembali, mungkin hal ini dipicu karena kesuksesan film sebelumnya yang menarik minat para pembuat film untuk meraih keuntungan besar. Bayangkan saja di tahun 2008 ini sudah lebih dari 5 judul film remake yang diantaranya adalah Death Race dan Bangkok Dengerous.

Hal ini juga ikut dilakukan oleh Fox yang mendaur ulang film lawasnya yang dirilis pada tahun 51 an. Film yang berjudul The Day The Earth Stood Still adalah sebuah film klasik yang kembali dibuat oleh sutradara Scott Derrickson yang diberi judul yang sama.

Menceritakan tentang penduduk Amerika yang dikejutkan dengan kehadiran sebuah bola cahaya yang terlihat bercahaya terang di langit. Anehnya sesosok pria mucul dari dalam bola tersebut. Dan ternyata kahadiran makhluk luar angkasa yang merasuk kedalam tubuh manusia ini memiliki tujuan mulia, yaitu mengembalikan keseimbangan bumi yang telah rusak oleh manusia. Tapi, konsekuensinya adalah, manusia harus dileyapkan dari muka bumi.

Jika kita melihat list pemain yang membintang film ini, saya rasa cukup menjanjikan seperti Keanu Reeves, Jennifer Connelly, Jaden Smith, dan John Cleese. Tapi ada sedikit kekhawatiran dimana sutradara Scoth Derrickson bukanlah sutradara kenamaan yang menghasilkan film-film box office. Walaupun begitu kita belum bisa menilai jika kita sendiri belum menonton film ini bukan?

Reboot film Punisher akan segera hadir!

26 November 2008
Setelah Iron Man dan Hulk, satu lagi pahlawan dari komik Marvel akan kembali beraksi kelayar lebar. Ia adalah Punisher, seorang superhero yang tidak memiliki kekuatan super sama sekali. Pada tahun 2004 lalu film ini memang pernah dibuat dengan judul The Punisher yang disutradarai oleh Jonathan Hensleigh, tapi sayang film ini kurang sukses. hollywood

Melihat kesempatan ini pihak Lionsgate tidak lagi banyak berfikir untuk membuat reboot film tersebut, melihat reboot film Hulk yang berhasil dipasaran, semakin menambah percaya diri Lexi Alexander untuk menyutradarai film ini.

Agar terlihat beda dengan image film sebelumnya, seluruh pemain dan kru dari film terdahulunya diganti. Sekarang film Punisher: War Zone dipercayakan kepada sutradra wanita Lexi Alexander, sedangkan pemeran utama tokoh Frank Castle atau si Punisher sendiri akan dimainkan oleh aktor Ray Stevenson.

Mungkin jika kita nonton film ini, kita dipastikan tidak akan melihat kembali sejarah asal muasal Punisher, tapi yang jelas kita akan melihat film ini penuh dengan aksi, lebih brutal, kelam, dan lebih berkiblat ke komik aslinya. Jika tidaj ada halangan film ini akan dirilis pada awal bulan Desember 2008.

Jason is back!!!

21 November 2008
Masih ingatkah anda dengan karakter bertopeng hoki yang gemar membunuh manusia yang pernah tenar pada tahun 80an? Jika anda menjawab Jason, tentunya tepat sekali jawaban anda tersebut.

Setelah sempat muncul di tahun 2003 lalu dengan judul Freedy vs Jason, kita akan segera akan melihat aksi brutal Jason dalam bentuk reboot dari film Friday the 13th. Kisah Jason Voorhees ini akan kembali dalam berbagai versi, mulai dari serial televise, novel sampai komik. Dan ceritanya akan mengambil dari 3 seri Jason pertama dari tahun 1980 hingga 1082.

Film yang diproduseri oleh Michael Bay ini akan disutradarai oleh Marcus Nisple (The Texas Chainsaw Massacre).

Karakter Jason sendiri akan diperankan oleh stuntman Derek Mears. Untuk menciptakan karakter mengerikan ini, Mears harus rela seluruh tubuhnya dipermak untuk mendapatkan gambaran yang sempurna dari Jason.

Kisah ini akan berlatar belakang kota Texas, dan produksi film ini sendiri menghabiskan dana sebesar 16juta dollar. Kalo kalian memang penggemar berat film-film Friday the 13th ini tentunya tidak akan melewat kan film yang akan ditayangkan pada 13 Februari 2009 mendatang ini bukan?

Fox kembali garap film lawas

27 November 2008
Lagi-lagi film remake dibuat kembali, mungkin hal ini dipicu karena kesuksesan film sebelumnya yang menarik minat para pembuat film untuk meraih keuntungan besar. Bayangkan saja di tahun 2008 ini sudah lebih dari 5 judul film remake yang diantaranya adalah Death Race dan Bangkok Dengerous.

Hal ini juga ikut dilakukan oleh Fox yang mendaur ulang film lawasnya yang dirilis pada tahun 51 an. Film yang berjudul The Day The Earth Stood Still adalah sebuah film klasik yang kembali dibuat oleh sutradara Scott Derrickson yang diberi judul yang sama.

Menceritakan tentang penduduk Amerika yang dikejutkan dengan kehadiran sebuah bola cahaya yang terlihat bercahaya terang di langit. Anehnya sesosok pria mucul dari dalam bola tersebut. Dan ternyata kahadiran makhluk luar angkasa yang merasuk kedalam tubuh manusia ini memiliki tujuan mulia, yaitu mengembalikan keseimbangan bumi yang telah rusak oleh manusia. Tapi, konsekuensinya adalah, manusia harus dileyapkan dari muka bumi.

Jika kita melihat list pemain yang membintang film ini, saya rasa cukup menjanjikan seperti Keanu Reeves, Jennifer Connelly, Jaden Smith, dan John Cleese. Tapi ada sedikit kekhawatiran dimana sutradara Scoth Derrickson bukanlah sutradara kenamaan yang menghasilkan film-film box office. Walaupun begitu kita belum bisa menilai jika kita sendiri belum menonton film ini bukan?

The Uninvited


The Uninvited is a horror movie from the same director of the Ring and Disturbia. The movie is remake of a Korean horror with the same title. The story is about a woman named Anna Rydell who returns home to her sister (and best friend) Alex after a stint in a mental hospital. But her recovery is jeopardized because of her cruel stepmother, aloof father, and the presence of a ghost in their home.

Release Date : January 30, 2009

Director :

Writer : Craig Rosenberg, Doug Miro, Carlo Bernard

Cast : Emily Browning, Elizabeth Banks, Arielle Kebbel, David Strathairn

Studio : dreamworks / paramount

IMDB : link

Runtime :

Website : uninvitedmovie.com

Trailer :

Quick Time : (1080p) - (720p) - (480p)

Yahoo : (1080p) - (720p) - (480p)

AOL : (1080p) - (720p) - (480p)



Documentary Competition 2005 ‘Mencari Indonesia’

12 July 2005

Jika anda :

• pembuat film pemula
• berusia 18 – 30 tahun
• warga negara Indonesia
• memiliki motivasi dan komitmen tinggi untuk mempelajari pembuatan film dokumenter
• bersedia mengikuti workshop di Jakarta

Daftarkan diri anda dalam tim beranggotakan maksimal 2 orang
Mulai 25 Juni – 30 Juli 2005

Sertakan juga proposal film sebanyak 2 halaman A4 yang menjawab pertanyaan “ Apa arti Indonesia bagimu?”


Rachel Weisz sebagai Catwoman?

17 December 2008
Belakangan ini banyak kabar simpang siur mengenai film Batman 3 yang beredar di internet dan beberapa media pemberitaan lainnya. Sekarang gossip terbarunya adalah, sekuel ini sedang dalam proses penulisan naskah dan pihak Warner Bros. bakal memakai aktris pemenang piala Oscar untuk bermain sebagai Catwoman dalam film Batman tersebut.

Menurut kabar yang sempat bocor, bintang yang akan bermain sebagai Catwoman tersebut adalah Rachel Weisz.

Weiz yang pernah membintangi film The Mummy pertama, The Fountain, Constantine, About a Boy, dan The Constant Gardener sempat mendapatkan penghargaan Academy Award sebagai Best Supporting Actress.

Jika Weiz memang benar akan bermain sebagai Catwoman, ia bukanlah orang pertama yang akan bermain sebagai tokoh kucing maut ini. Sebelumnya ada Michelle Pfeiffer dan Halle Berry.

Film Batman 3 ini juga rencananya akan disutradari kembali oleh Christopher Nolan, dan Christian Bale juga akan kembali membintangi tokoh pahlawan kegelapan tersebut. (Af)


Jason is back!!!

21 November 2008
Masih ingatkah anda dengan karakter bertopeng hoki yang gemar membunuh manusia yang pernah tenar pada tahun 80an? Jika anda menjawab Jason, tentunya tepat sekali jawaban anda tersebut.

Setelah sempat muncul di tahun 2003 lalu dengan judul Freedy vs Jason, kita akan segera akan melihat aksi brutal Jason dalam bentuk reboot dari film Friday the 13th. Kisah Jason Voorhees ini akan kembali dalam berbagai versi, mulai dari serial televise, novel sampai komik. Dan ceritanya akan mengambil dari 3 seri Jason pertama dari tahun 1980 hingga 1082.

Film yang diproduseri oleh Michael Bay ini akan disutradarai oleh Marcus Nisple (The Texas Chainsaw Massacre).

Karakter Jason sendiri akan diperankan oleh stuntman Derek Mears. Untuk menciptakan karakter mengerikan ini, Mears harus rela seluruh tubuhnya dipermak untuk mendapatkan gambaran yang sempurna dari Jason.

Kisah ini akan berlatar belakang kota Texas, dan produksi film ini sendiri menghabiskan dana sebesar 16juta dollar. Kalo kalian memang penggemar berat film-film Friday the 13th ini tentunya tidak akan melewat kan film yang akan ditayangkan pada 13 Februari 2009 mendatang ini bukan?


Kisah terakhir Underworld akan diputar awal tahun depan

21 November 2008
Setelah tiga tahun sejak film keduanya dirilis, kini bersiap-siaplah menyambut film terbaru dari kisah pertempuran antara dua ras vampire dengan manusia serigala, dan film ini adalah film terakhir dari film kedua film sebelumnya.

Proyek prekuel film Underworld: Ride of the Lycans merupakan film penutup dari film pertamanya yang dirilis pada 2003 lalu. Sayangnya tokoh utama Selena yang dimainkan oleh Kate Beckinsale tidak akan tampil lagi dalam prekuel ini.

Selain penggantian tokoh utama, film yang melakukan pengambilan gambarnya di New Zealand ini juga mengalami penggantian sutradara. Len Wiseman yang menyutradarai dua film sebelumnya kini hanya duduk di kursi sutradara serta penulis naskah saja. Posisi sutradara yang kosong tersebut sekarang diisi oleh Patrick Tatopoulos.

Bagi Tatopoulos ini adalah film kedua dalam karirnya sebagai sutradara, sebelumnya ia terkenal sebagai disainer produksi untuk special efek film-film Hollywood seperti 10,000 BC, I Am Legend, dan I Robot.

Beberapa pemain lama tetap akan bermain membawakan peran mereka terdahulu, seperti Michael Sheen yang berperan sebagai Lucian, serta Kraven yang akan tetap dimainkan oleh Shane Brolly.


Reboot film Punisher akan segera hadir!

26 November 2008
Setelah Iron Man dan Hulk, satu lagi pahlawan dari komik Marvel akan kembali beraksi kelayar lebar. Ia adalah Punisher, seorang superhero yang tidak memiliki kekuatan super sama sekali. Pada tahun 2004 lalu film ini memang pernah dibuat dengan judul The Punisher yang disutradarai oleh Jonathan Hensleigh, tapi sayang film ini kurang sukses. hollywood

Melihat kesempatan ini pihak Lionsgate tidak lagi banyak berfikir untuk membuat reboot film tersebut, melihat reboot film Hulk yang berhasil dipasaran, semakin menambah percaya diri Lexi Alexander untuk menyutradarai film ini.

Agar terlihat beda dengan image film sebelumnya, seluruh pemain dan kru dari film terdahulunya diganti. Sekarang film Punisher: War Zone dipercayakan kepada sutradra wanita Lexi Alexander, sedangkan pemeran utama tokoh Frank Castle atau si Punisher sendiri akan dimainkan oleh aktor Ray Stevenson.

Mungkin jika kita nonton film ini, kita dipastikan tidak akan melihat kembali sejarah asal muasal Punisher, tapi yang jelas kita akan melihat film ini penuh dengan aksi, lebih brutal, kelam, dan lebih berkiblat ke komik aslinya. Jika tidaj ada halangan film ini akan dirilis pada awal bulan Desember 2008.


Ryan Gosling jadi Green Lanter?!

24 November 2008
Tokoh superhero keluaran DC Comic, Green Lantern rencananya akan diangkat ke layar lebar. Bahkan faktanya pihak Warner Bros. sedang berupaya bergerak cepat agar bisa memulai proses casting pada bulan Februari 2009 dan mulai syuting sekitar musim gugur.

Lalu siapakah actor yang pantas memerankan sosok Green Lantern/Hal Jordan?

Aktor Hollywood bernama Ryan Gosling merupakan kandidat utama untuk memerankan tokoh tersebut. Alasannya cukup klise, karena Gosling mempunyai kesamaan umur dengan tokoh superhero DC tersebut, yaitu 27 tahun.

Selain itu Gosling juga dinilai mempunyai kelebihan dalam berakting, malahan ia disebut-sebut sebagai aktor bertaraf nominasi Oscar.


Rapi Films siapkan film komedi baru

1 December 2008
Belum lama ini Rapi Films menggelar acara sukuran film terbaru mereka yang akan dibuat bersama sutradara Rako Prijanto. Tepatnya pada hari sabtu lalu pukul 11.00 WIB bertempat di kantor PT. Rapi Films Jl. Cikini Raya II No. 7 Jakpus.

Sukuran yang dihadiri oleh para pemain film tersebut seperti Vincent Club80’s, Tora Sudiro, Poppy Sovia, dan Arie Untung ini berlangsung cukup meriah.

Jika dilihat dari deretan pemain memang benar jika kita menyimpulkan film ini adalah film komedi. Dan menurut pengakuan Rako, film ini sendiri masih sangat tentatif bahkan masih ada kemungkinan judul dan jalan cerita akan berubah di tengah jalan sesuai dengan improfisasi masing-masing artis-artis yang bermain dalam film tersebut.

Untuk proses produksinya sendiri, fim yang diberi judul Benci Disko ini rencananya akan mengambil lokasi pengambilan gambar di sekitar Jakarta saja dengan mengambl latar belakang gaya retro. Jika tidak ada halangan Benci Disko akan segera ditayangkan sekitar bulan Maret atau April 2009 mendatang


Fox kembali garap film lawas

27 November 2008
Lagi-lagi film remake dibuat kembali, mungkin hal ini dipicu karena kesuksesan film sebelumnya yang menarik minat para pembuat film untuk meraih keuntungan besar. Bayangkan saja di tahun 2008 ini sudah lebih dari 5 judul film remake yang diantaranya adalah Death Race dan Bangkok Dengerous.

Hal ini juga ikut dilakukan oleh Fox yang mendaur ulang film lawasnya yang dirilis pada tahun 51 an. Film yang berjudul The Day The Earth Stood Still adalah sebuah film klasik yang kembali dibuat oleh sutradara Scott Derrickson yang diberi judul yang sama.

Menceritakan tentang penduduk Amerika yang dikejutkan dengan kehadiran sebuah bola cahaya yang terlihat bercahaya terang di langit. Anehnya sesosok pria mucul dari dalam bola tersebut. Dan ternyata kahadiran makhluk luar angkasa yang merasuk kedalam tubuh manusia ini memiliki tujuan mulia, yaitu mengembalikan keseimbangan bumi yang telah rusak oleh manusia. Tapi, konsekuensinya adalah, manusia harus dileyapkan dari muka bumi.

Jika kita melihat list pemain yang membintang film ini, saya rasa cukup menjanjikan seperti Keanu Reeves, Jennifer Connelly, Jaden Smith, dan John Cleese. Tapi ada sedikit kekhawatiran dimana sutradara Scoth Derrickson bukanlah sutradara kenamaan yang menghasilkan film-film box office. Walaupun begitu kita belum bisa menilai jika kita sendiri belum menonton film ini bukan?


Mark Wahlberg ogah ngerap lagi

16 December 2008
Bintang Hollywood yang pernah tampil dalam film The Happening, dan Max Payne ini mengatakan niatnya untuk tidak akan kembali lagi kejalur musik lagi.

Merasa dirinya sekarang sudah betah di dunia perfilman Hollywood, Mark yang dulunya sempat dipanggil dengan nama Marky Mark ketika menggeluti karirnya sebagai rapper pada tahun 1991 ini mengatakan sumpahnya untuk tidak akan kembali ke jalur musik yang ditekuninya dahulu karena ia sangat yakin jika panggilan hidupnya adalah sebagai bintang film Hollywood.

Sebagai catatan, Mark Wahlberg adalah adik dari Donnie Wahlberg yang dikenal sabagai salah satu personil boyband yang terkenal pada eranya dengan nama N.K.O.T.B (New Kids On The Block).


Stiller akan jadi penjaga museum lagi!

16 December 2008
Entah kehabisa akal untuk membuat film fresh lagi atau memang ingin mengambil keuntungan dengan meneruskan kesuksesan film pertamanya, tampaknya inilah yang sedang marak terjadi dalam perindustrian perfilman Hollywood.

Tidak sedikit film-film Hollywood yang dibuat sekuelnya, ada yang sukses, ada jeblok, bahkan ada yang biasa-biasa saja. Kalo kita ingat dengan film Lord of the Rings, X-Men, Pirate of the Caribbean, hingga The Dark Knight mungkin kita melihat jajaran film-film yang sekuelnya meraup keuntungan sangat besar.

Tapi akankah, film The Da Vinci Code, dan Superman Returns, dan Night at The Museum akan sesukses seperti film-film diatas? Pertanyaan yang sama dilemparkan kepada sutradraa Shawn Levy yang sedang menggarap sekuel film Night at the Museum 2, akankah film garapannya tersebut mampu mengulang kesuksesan film pertamanya?

Hal ini langsung ditanggapi sangsutradara dengan memutuskannya untuk membuat sekuel film Night at the Museum dan meninggalkan proyek sekuel The Pink Panther demi film tersebut.

Film yang berjudul Night at the Museum 2: Battle of the Smithsonian masih akan mirip dengan film pertamanya. Ben Stiller akan kembali menjadi sebagai penjaga museum Larry Daley yang kali ini akan bertemu dengan beberapa tokoh baru seperti Wright bersaudara, mafia Al Capone, Napoleon, Attila the Hun, dan gosipnya juga akan ada Albert Einstein. Beberapa pemain lama seperti Owen Wilson juga akan meneruskan perannya sebagai koboi Jedediah.

Film komedi ini baru akan diputar dibioskop pada 22 Mei 2009 mendatang.


The Legend of Chun Li

4 December 2008
Belum lama ini kami mendapatkan sebuah image terbaru dari foto pembuatan film terbaru produksi 20th Century Fox yang berjudul Street Fighter: The Legend of Chun Li yang akan di rilis pada 27 Februari 2009 mendatang.

Film arahan sutradara Andrzej Bartkowiak merupakan film adaptasi dari video game terkenal, lagian siapa sih yang belum pernah dengar game Street Fighter. Nah di game tersebut ada salah satu karakter yang bernama Chun Li, di film ini karakter tersebut akan menjadi tokoh utama dan ceritana akan memfokuskan kepada perjalanannya dalam menegakan keadilan. Karakter Chun Li ini dimainkan oleh Kristin Kreuk. Nah dibawah ini kalian bisa lihat beberapa foto adegan yang ada di dalam film tersebut.










9 1/2 Weeks


Skenario: Sarah Kernochan & Zalman King

Pemain: Mickey Rourke, Kim Bissinger

Masa putar: 112 menit

Tahun: 1986


Sebelum menonton film ini, aku sudah sering banget mendengar tentang kehebohannya, bukan saja ketika diputar 22 tahun yang lalu, tetapi juga sampai kini. Di antara teman-temanku yang seangkatan (80-an gitu loh), film ini masih sering dirumpiin. Kata mereka sih ini film seks. Apa sih yang dimaksud film seks itu? Apakah film yang bercerita tentang pendidikan seks? Atau film yang melulu berisi adegan seks (yang berarti sama dengan film biru)? Atau film cerita dengan kategori "untuk dewasa" karena ada adegan-adegan seksnya yang tidak boleh dilihat anak-anak di bawah 17 tahun?

Sebelum menonton secara utuh film tersebut, aku sempat mencuri-curi mengintipnya lewat situs www.youtube.com. Penggalan-penggalan yang kulihat itu cukup mewakili dan membuat penasaran hingga akhirnya aku menyaksikannya secara utuh. Setelah melihatnya, kesimpulanku 9 1/2 Weeks ini jenis film dewasa yang memuat beberapa adegan "dewasa.


Namun, sungguh tidak seheboh yang pernah kubayangkan. Adegan percintaan dua orang tokoh utamanya, John (Mickey Rourke) dan Elizabeth (Kim Bassinger) adalah adegan seks biasa yang sering kita lihat di film-film dewasa. Jadi sama sekali tidak vulgar. Maksudku, bukan adegan seks seperti di film-film porno itu loh. Ada juga sih yang sedikit liar, tetapi menurutku itu tidak porno. Kalaupun ada scene yang memperlihatkan Elizabeth bugil, itu hanya disyut dari belakang (cuma bokong dan punggungnya yang terlihat dalam pencahayaan temaram).


Ceritanya juga tidak terlampau menarik, ihwal hubungan cinta John dan Liz yang dipertemukan secara tidak sengaja di sebuah keramaian kota New York yang sibuk. John seorang pebisnis yang menyembunyikan asal-usul serta latar belakang kehidupannya; sedangkan Liz bekerja di sebuah biro seni. Setiap kali bertemu, John selalu berupaya merayu Liz dan pada pertemuan yang ketiga, mereka bercinta. Barangkali bagian-bagian permainan cinta ini yang dianggap heboh, karena menampilkan "jurus-jurus" bercinta mulai dari yang romantis sampai yang paling liar (Tidak liar-liar amat sih sebenarnya).


Hari ke hari, dari jalinan hubungan itu, mulai tumbuh cinta di hati Liz. Setiap saat hanya John yang ia harapkan ada di sisinya. Setiap saat ia ingin bersama John. Ia juga ingin agar John mau mengetahul lebih jauh kehidupannya, mengenal teman-temannya. Namun, John menolak. Baginya cukup Liz saja. Biarlah siang hari Liz menjadi milik dirinya dan teman-temannya. John cukup puas memiliki Liz di malam hari, untuk sebuah permainan cinta yang menggairahkan. Lama kelamaan Liz mulai merasa relasi mereka bukanlah relasi yang normal. John hanya menginginkan tubuhnya. John hanya ingin menikmati seks dengannya. Liz tak bisa meneruskan hubungan tersebut meski John berusaha meyakinkannya dengan kata-kata cinta.


Film berdurasi hampir dua jam ini akhirnya terasa membosankan. Ceritanya tidak cukup nggreget. Satu-satunya hal yang membuatku bertahan sampai film usai adalah karena penasaran berharap akan tampil adegan "hot" yang nyaris menjadi cap buat film ini. Dan aku harus "kecewa" sebab adegan sejenis itu tidak ada, kecuali kalau adegan bercinta di bawah pancuran itu tergolong hot sih. Pastinya sewaktu diedarkan di bioskop kita dulu, adegan-adegan tersebut sudah kena gunting LSF (sekarang BSF). Lebih garing lagi kan?


Tetapi harus kuakui, gambar-gambar yang dihadirkan cukup keren. Juga soundtracknya. Sementara, akting Rourke dan Kim sih biasa-biasa saja. Tidak menonjol. Tapi yang jelas, aku sekarang tidak penasaran lagi sama film ini.***

Twillight (The Movie/2008)



Baiklah, Twillight. Seperti halnya buku-buku lain yang terlalu di-overrated (misalnya, Laskar Pelangi, Harry Potter and The Deathly Hallows, Ayat-Ayat Cinta), aku memang cenderung malas membaca. Dan kalau pada akhirnya filmnya main duluan, ya sudahlah nonton saja (eh, tapi aku ga nonton Ayat-Ayat Cinta karena sudah mencicipi bukunya dan muak sebelum habis sepertiga).

Twillight pun begitulah adanya. Seingatku, heboh buku ini sudah dimulai sekitar setahun yang lalu. Berbagai review mulai beredar dengan kekuatan berimbang antara yang memuja-mujanya dan mencela-celanya. Lalu, beberapa bulan terakhir ini, setelah terjemahannya beredar, makin santerlah demam Twillight ini. Ada yang bikin Klub Pecinta Edward, ada yang bikin Klub Pembenci Bella. Hingga di suatu titik, aku penasaran juga, macam apa sih sebenarnya ini buku, dan aku pun mengunduh keempat e-booknya. Belum sempat dibaca (tentu saja), filmnya sudah beredar. Jadi, kita tinggalkan saja bukunya, hahahaa.

Maka, tanpa ekspektasi apa pun (karena sama sekali belum baca bukunya dan nggak tahu karakter-karakternya), aku menonton film ini bersama Miss Icha (yang sudah membaca bukunya dan belum memutuskan apakah dia menyukainya atau tidak) di sebelah kanan dan seorang cowok tidak dikenal (yang tampaknya juga sudah membaca dan ngefans pada bukunya) di sebelah kiri. Yang aku tahu hanyalah, ini cerita tentang kisah cinta antara dua dunia, manusia dan vampir (bukan Isabella dong ya, hahaa.)

Baru setengah jam film berjalan, aku sudah memutuskan, aku nggak suka sama Bella Swan (Kristen Stewart). Sebagai tokoh utama, Bella ini terlalu nggak jelas. Maksudnya, karakternya yang nggak jelas. Yang terlihat olehku, dia gadis pemurung dan tertutup. Tapi, anehnya adalah, kenapa banyak banget yang suka padanya? Dia juga kadang-kadang cenderung kasar dan nggak menyenangkan dalam memperlakukan teman-temannya. Terlalu cantik tidak, terlalu pintar juga tidak, terlalu modis juga tidak, yah … hanya gadis yang sedang-sedang saja (yoah, kak Vetty banget). Dan cowok paling keren di sekolahnya jatuh cinta kepadanya? Owh, aku mengerti kenapa Prince Charming jatuh cinta kepada Cinderella. Tapi, kenapa Edward Cullen (dan beberapa cowok yang lain) jatuh cinta kepada Bella? Entahlah. Selain itu, biar pendiam begitu ternyata Bella agresif. Cenit sejati. Sigh.

Tapi, aku mengerti kenapa banyak orang (melirik banyak orang) jatuh cinta kepada Edward Cullen (Robert Pattinson). “Owwh … things like these,” beberapa kali terucap olehku dan segera diiyakan oleh Miss Icha. Misalnya, ketika Edward menggendong Bella dan melompat dari pohon ke pohon, atau ketika Edward melompat dengan gesit buat menyelamatkan Bella dari mobil yang mau menabraknya, atau kalimat-kalimat gombal mukiyo yang disampaikannya. (Ow, ternyata aku menganut “You don’t have to say it frequently, just say it at the right time” sehingga tidak terlalu terkesan juga pada pergombalan si Edward ini, hihihiii.) And he’s a vampire too.

Secara keseluruhan, sebagai sebuah film (ya, ini review filmnya, bukan bukunya loh ya!), Twillight ini biasa saja. Beneran, menurutku nggak ada yang oke banget dari film ini. Sebagai film remaja, kostumnya juga biasa saja (malah kata Miss Icha itu sudah lebih bagusan daripada yang diceritakan di bukunya). Karakter Bella yang pemurung juga jadi bikin betek yang nonton. Lagu-lagunya nggak ada yang nempel di telinga. Dan Edward, mmm, keren sih, tapi ya nggak sekeren itu. Dari segi cerita, ya biasa saja. Plotnya pun banyak lubang-lubang kecilnya. Make-up malah rada parah, karena vampir-vampir itu ya, kelihatan banget belangnya antara muka dan lehernya *tepok jidat*. Belum lagi, dialog yang kadang-kadang cheesy banget.

Yaahh … it’s just another teen movie. Tidak mengesankan buatku, tapi ini hanya masalah selera, bukan? Yang jelas, setelah nonton filmnya, aku sudah tidak penasaran lagi pada bukunya. Jadi, dua bintang saja deh. It’s just not for me, hahahaa ….

PEREMPUAN PUNYA CERITA


Cerita Pulau, Cerita Yogyakarta, Cerita Cibinong dan Cerita Jakarta. Empat cerita tersebut disajikan secara terpisah dan masing-masing berdiri sendiri tanpa ada kaitannya sama sekali namun tetap tergabung dan berdasarkan satu tema utama yaitu tentang perempuan (di Indonesia). Dan jadilah judulnya Perempuan punya Cerita (Chants of Lotus).

Disutradarai oleh empat sutradara wanita yaitu Nia Dinata, Upi, Lasja F. Susatyo dan Fatimah T. Rony. Film ini mengisahkan tentang berbagai macam masalah yang kerap dialami oleh perempuan-perempuan di Indonesia.

Kisah pelecehan seksual dan perkosaan yang terjadi di Kepulauan Seribu serta praktek aborsi oleh seorang Bidan yang kemudian di vonis menderita kanker payudara ada di Cerita Pulau. Rieke Diah Pitaloka yang bermain sebagai bidan Sumantri bermain cukup apik dan berhasil lepas dari sosok Oneng yang selama ini melekat padanya. Rachel Maryam juga berakting baik saat memerankan karakter gadis yang terbelakang mentalnya. Kisah klasik aborsi, perkosaan dan permohonan maaf melalui uang memang banyak menjadi dilema di negeri ini. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan ekonomi kerap membuat perempuan berada di pihak yang kalah.

Setting Kepulauan Seribu yang indah ditampilkan melalui komposisi dan angle-angle pengambilan gambar yang pas. Riak dan pantulan air laut, sepeda, perahu dan lainnya mengawali cerita film ini dan membuat film ini terasa semakin menarik.

Cerita Yogyakarta cukup membuat kita terhenyak dengan adanya realita seks bebas di kalangan pelajar kota besar seperti Yogyakarta dan mungkin di semua kota besar lainnya di Indonesia. Kirana Larasati sebagai tokoh utama yang masih berseragam abu-abu tampak bermain natural. Fauzi Baadilah yang berperan sebagai Jay, wartawan Jakarta yang menyamar jadi mahasiswa juga sedikit berbeda dengan peran-peran dia sebelumnya. Belia, dewasa tapi lugu. Itu mungkin kesan tentang kisah ini. Usia belia namun berperilaku seperti orang-orang dewasa karena menjadikan seks sebagai kebutuhan hidupnya namun juga lugu karena toh sebenarnya mereka masih polos dan kadang konyol. Misalnya saat mitos tentang nanas dan sprite yang bisa buat menggugurkan kandungan. Padahal mereka sehari-hari gemar berinternet ria. Rupanya kemudahan teknologi bagi kebanyakan orang belum dimanfaatkan buat kebaikan dan mendapatkan pengetahuan.



Selanjutnya di Cerita Cibinong, Shanty dan Sarah Sechan bermain gemilang. Berkisah tentang Esi (Shanty) yang bekerja di club dangdut. Meninggalkan Saroh, anaknya di rumah dengan pacarnya yang pengangguran. Sampai akhirnya ternyata si Saroh mengalami pelecehan seksual yang membuat Esi syok. Sementara Cicih (Sarah Sechan) adalah seorang penyanyi dangdut yang terobesesi untuk bisa hijrah ke Jakarta dan bermain di club dangdut yang lebih terkenal. Makanya saat bertemu Mansyur yang katanya bisa membuat dia dan Saroh menjadi terkenal di Jakarta dia begitu bersemangat. Cicih tidak sadar kalau sebenarnya Mansyur adalah seorang calo jaringan perdagangan anak. Bahasa dan logat Sunda yang dipakai oleh Esi dan Cicih sangat menarik dan membuat film ini menjadi semakin hidup. Ditunjang juga dengan musik dan penampilan yang “Dangdut banget” khas masyarakat kelas menengah ke bawah.



Susan Bahtiar di Cerita Jakarta tampil sebagai Laksmi, seorang penderita AIDS yang terlular dari suaminya yang semasa hidupnya pengguna narkoba. Dan cerita sederhana tentang seorang ibu dengan anak perempuannya itu pun berkembang. Stigma dan anggapan yang salah di masyarakat tentang HIV/AIDS mengemuka dan menjadi dilema serta beban yang berlipat buat Laksmi karena selain harus menghadapi penyakitnya dia juga harus menghadapi keluarga dan orang luar yang jauh dari mengerti. Tetap bersama anaknya dan hidup dalam kesusahan atau menyerahkan anaknya ke ibu mertuanya adalah pilihan sulit bagi seorang ibu seperti Laksmi ini.

Dalam Cerita Jakarta ini, detail-detail interior dan daerah pecinan dalam setting kisah ini berhasil ditampilkan menarik. Warung Chineese Food dengan daging babi yang tergantung, Vihara dengan detail dan warna merah serta emasnya sampai gang kawasan pecinan menjadi lebih istimewa di film ini.

==

Tidak ada bahasa yang menggurui dari semua kisah itu. Semua mengalir begitu saja. Malah sepintas semuanya memperlihatkan ketidakberdayaan perempuan. Kekalahan perempuan Indonesia karena satu dan banyak hal.

Namun menurutku disitulah Nia DiNata sebagai produser justru tengah membuka mata kita kalau masalah klasik seperti itu ada dan akan selalu ada di sekitar kita. Dengan kesederhanaannya kita diajak merenung dan semakin aware dengan apa yang terjadi.

Dan yang pasti, teriakan si Cicih di scene terakhir Cerita Cibinong memang benar adanya. Dengan berbahasa Sunda dia berteriak ke Esi, “Aya keneh harepan !” (Masih ada harapan !). Teriakan itu buat saya tidak semata-mata ditujukan kepada Esi agar terus berjuang mendapatkan kembali Saroh anaknya. Tapi juga teriakan buat semua perempuan Indonesia agar terus berharap serta berusaha untuk mendapatkan hak mereka agar menjadi lebih baik.


| imgar imama |

Mamma Mia!


Sutradara: Phyllida Lloyd
Skenario: Catherine Johnson
Pemain: Meryl Streep, Pierce Brosnan, Collin Firth, dll.
Masa putar: 108 menit
Tahun: 2008

Hey, Anda generasi 80-an, tentu masih ingat dengan baik - seperti saya - grup band asal Swedia, ABBA. Grup yang terdiri dari 2 orang cowok dan 2 orang cewek blonde ini sempat sangat ngetop ke seantero jagat pada era 70 dan 80-an. Lagu-lagu mereka yang berirama pop selama kurun waktu itu sangat digemari oleh generasi muda dunia, tak terkecuali Indonesia. Keempat anggotanya, Benny Anderson, Bjorn Ulvaeus, Anni-Frid Lyngstad, dan Agnetha Faltskog ini menamakan kelompok band mereka ABBA yang merupakan singkatan nama keempatnya (Anni, Bjorn, Benny, Agnetha). Merentang waktu sepuluh tahun (1972-1982), lagu-lagu hits mereka bercokol di anak tangga teratas radio-radio di Eropa dan Amerika Serika. Sebagaimana grup band lainnya, ABBA juga melakukan tur ke seluruh dunia, membawakan tembang-tembang legendarisnya, seperti : "Dancing Queen", "Chiquitita", "Fernando", "Waterloo", "Ring Ring", "Mamma Mia", dan masih banyak lagi.

Pada 1997, untuk pertama kalinya digelar sebuah pentas musikal bertajuk Mamma Mia! yang kemudian mengilhami Chaterine Johnson untuk menuliskan naskah bagi versi layar lebarnya yang akhirnya tayang sepuluh tahun kemudian di bawah arahan sutradara kelahiran Inggris, Phyllida Christian Lloyd, dalam bentuk komedi musikal. Film yang dibintangi antara lain oleh aktris gaek peraih Oscar, Meryl Streep ini seluruhnya memuat 22 buah lagu kelompok band tersebut.

Cerita filmnya sendiri bukan tentang grup musik ABBA dan para personelnya. Kisahnya sederhana saja, ihwal seorang perempuan paruh baya, Donna Sheridan (Meryl Streep) yang pernah memiliki tiga orang kekasih di masa lalunya. Dari hubungan percintaan tersebut, Donna hamil dan melahirkan seorang putri cantik, Sophie (Amanda Seyfried). Celakanya, Donna tidak tahu persis oleh siapa dia hamil. Dengan kata lain, Donna tidak tahu siapa dari ketiga pria yang mencintainya yang berhak menjadi ayah kandung Sophie.

Sejatinya, Donna tak pernah mempersoalkan hal tersebut hingga tiba hari pernikahan Sophie. Putrinya yang baru berusia 20 tahun itu, telah secara diam-diam mengundang ketiga pria dari masa lalu Donna : Sam Carmichael (Pierce Brosnan), Harry Bright (Collin Firtf), dan Bill Anderson (Stellan Skarsgard). Tak urung, kemunculan tiba-tiba ketiga lelaki yang kini sudah sama-sama menua itu,mengejutkan Donna dan mengusik ketenangan hidupnya yang selama ini dia jalani berdua putrinya sebagai pengelola hotel di sebuah pulau cantik di Yunani. Donna bertambah pusing saat ketiga mantan pacarnya itu sama-sama mengaku sebagai ayah kandung Sophie.

Sebagai sebuah film komedi musikal, peran musik dan lagu di film ini bukan sekadar tempelan atau ilustrasi, tetapi menjadi salah satu unsur yang menyatu dalam cerita. Seperti opera, gitu loh. Lagu-lagu menjadi bagian tak terpisahkan dari keseluruhan film. Tentu saja seluruhnya merupakan lagu-lagu dari album ABBA yang, kerennya lagi, dinyanyikan oleh para pemainnya, termasuk Meryl Streep dan Pierce Brosnan. Hampir di sepanjang pertunjukan, saya beserta penonton di kiri-kanan saya, ikut bersenandung melantunkan lagu-lagu kenangan tersebut. Begitu juga penonton di kursi belakang saya. Ah, rasanya jadi seperti sedang bernostalgia 80-an :)

Sebagaimana biasa, Meryl Streep kali inipun menunjukkan kepaiawaian aktingnya sebagai Donna Sheridan. Ia menyanyi dan menari layaknya seorang "dancing queen", ratu di sebuah pesta dansa remaja. Demikian pula sang James Bond, Pierce Brosnan. Vokalnya yang berat, cocok-cocok saja dengan lagu "S.O.S" dan "I Do I Do I Do I Do".

Film komedi bermasa putar 108 menit ini, benar-benar menghibur. Selain lagu-lagunya yang sudah akrab di telinga, juga lantaran dialog dan adegan-adegannya, meski beberapa ada juga yang dipaksakan sehingga terjerumus jadi slapstick. Namun, secara keseluruhan, Mamma Mia! menyuguhkan sebuah komedi segar yang membangkitkan kembali kenangan masa remaja mereka yang pernah mengenal dengan intim lagu-lagu ABBA itu.

Sambil menuju pintu keluar, beberapa penonton, termasuk saya, lamat-lamat masih menyenandungkan "Dancing Queen" : You are the dancing queen, young and sweet, only seventeen......"

Laskar Pelangi


Sutradara: Riri Riza

Produser: Mira Lesmana

Penulis Skenario: Salman Aristo

Musik: Titi & Aksan Syuman


Sinopsis :


Hari pertama pembukaan kelas baru di sekolah SD Muhammadiyah menjadi sangat menegangkan bagi dua guru luar biasa, Bu Muslimah dan Pak Harfan, serta 9 orang murid yang menunggu di sekolah yang terletak di desa Gantong, Belitong. Sebab berdasarkan surat pengawas sekolah jika tidak mencapai 10 murid yang mendaftar, sekolah akan ditutup.


Hari itu, Harun, seorang murid istimewa menyelamatkan mereka. Kesepuluh murid, yang kemudian diberi nama Laskar Pelangi oleh Bu Muslimah itu, menjalin kisah yang tak terlupakan. (dari website Laskar Pelangi The Movie )


Adaptasi Cerita :


Andrea Hirata tampaknya tidak terlalu kaku mematok bahwa film ini harus sepenuhnya sama dengan novel yang ia tulis. Terbukti ia membebaskan Riri Riza dan Salman Aristo membuat skenario sesuai interpretasi mereka sendiri. Dan menurut wawancara di media, Andrea bisa menerima dan puas dengan perubahan2 dalam skenario filmnya.


Riri dan Salman cukup berani membuat banyak perubahan. Tampaknya mereka juga merasakan banyak hal yang terlalu berlebihan di Laskar Pelangi versi novel, sebagaimana yang aku rasakan dan pernah aku posting di reviewku. Laskar Pelangi versi film ini menjadi lebih logis dan membumi. Hampir semua yang berlebihan dibabat habis dan dijejakkan kembali ke bumi. Pertanyaan2 di lomba cerdas-cermat telah disesuaikan dengan tingkat pendidikan peserta. Tarian di karnaval juga lebih sederhana hanya didramatisir dengan permainan kamera. Mahar juga lebih membumi dengan lagu "Seroja"-nya, bukan "Tennese Waltz". Grup Band Laskar Pelangi dengan electone, standing bas dll sama sekali tidak diceritakan. Petualangan ke pulau Lanun juga disederhanakan. Dan yang tersisa adalah sebuah kisah yang jauh lebih logis dan masuk akal, sesuai dengan setting cerita.


Jika di novel kita akan merasa bahwa yang bercerita adalah Ikal dewasa tentang Ikal kecil, dengan seabreg istilah bahasa latin dan bahasa inggris bertaburan disana sini. Di film ini semuanya kembali ke suasana yang seharusnya, suasana Belitong yang masih agak terpencil dan suasana kehidupan anak-anak.


Sementara penambahan2 cerita baru di beberapa tempat, bisa diterima dan menyatu dengan baik dengan cerita asli. Hanya saja tokoh baru Pak Mahmud yang diperankan Tora Sudiro itu apa memang perlu ya?


Lalu satu hal lagi, karena ada banyak adegan di buku yang dimunculkan hanya sekilas tanpa terlalu banyak detail, aku agak bertanya-tanya apakah mereka yang belum membaca bukunya akan bisa menangkap semua cerita?


Akting :


Secara keseluruhan akting pemainnya lumayan bagus. Rata-rata bisa bermain secara natural dan menyatu dengan setting Belitong tahun 70-an.


Yang paling menjiwai peran di film ini menurutku adalah Ikranegara sebagai Pak Harfan Kepala Sekolah SD Muhammadiyah. Dia bisa mewujudkan sosok seorang kepala sekolah sebuah SD sederhana yang idealis dan pantang menyerah, tapi tetap lembut, ramah dan sayang kepada anak-anak didiknya. Sedangkan Cut Mini sebagai Bu Mus, lumayan total aktingnya yang lengkap dengan logat melayunya yang kental itu. Meskipun pada beberapa adegan ada yang kurang lepas emosinya. Pemain dewasa lain seperti Mathias Muchus, Rieke DP, Alex Komang, Robby Tumewu, Lukman Sardi, Slamet Rahardjo, Jajang, juga bermain bagus tetapi karena porsinya tidak banyak ya tidak terlalu menonjol. Hanya Tora Sudiro yang terasa agak mengganggu pemunculannya disini karena tetap sebagai Tora Extravaganza yang tampak konyol.


Para pemain anak2 asli Belitong yang memerankan Laskar Pelangi, meskipun mereka baru pertama kali berakting, tetapi ternyata cukup berhasil bermain secara natural. Ikal (Zulfani), Lintang (Ferdian) dan Mahar (Veris Yamarno) tampil cukup meyakinkan. Yang paling bagus dan menjiwai karakternya adalah Veris Yamarno yang menjadi Mahar. Dia bisa bermain lepas tanpa beban sebagai anak eksentrik pecinta seni. Salut.


Setting :


Selain dari segi cerita, film ini tampaknya bakalan banyak dipuji dari segi artistik. Pengambilan gambarnya, lokasinya, dan sudut-sudut kamera yang diambil tidak sembarangan. Sisi-sisi indah dari pulau Belitong bisa dimunculkan dengan apik dan dramatis.


Dengan setting asli di Belitong dan bahasa asli setempat, film ini tampil lebih natural dibandingkan dengan novelnya yang agak sedikit dikacaukan dengan banyaknya perbendaharaan kata2 bahasa inggris daripada bahasa setempat.


Alur Cerita :


Karena berdasarkan sebuah novel yang merupakan memoar masa lalu seorang Ikal, dan bukan sebuah cerita dengan fokus pada satu kisah utama, maka wajar saja jika ada yang merasa kalau film ini agak meloncat-loncat dan kemana-mana. Dan di beberapa bagian cerita akan terasa datar tanpa emosi, hanya sebatas bercerita tentang kehidupan tokohnya.


Film ini memang adalah kisah kehidupan, bukan sebuah cerita dengan rentetan adegan2 yang membangun konflik lalu mencapai klimaks dan selesai. Ada bagian tentang cerianya dunia anak2, ada tentang betapa sederhananya kehidupan mereka, ada tentang perjuangan agar tetap sekolah, ada sedikit bumbu kisah cinta remaja, dan ada perlombaan untuk melambungkan kembali harapan. Semuanya disatukan untuk membangun sebuah gambaran utuh tentang kehidupan tentang anak-anak miskin yang berjuang untuk tetap bisa sekolah dan menggantungkan mimpi mereka setinggi-tingginya.


Pesan Moral :


Dalam rentetan gambar yang indah film Laskar Pelangi ini menurutku berhasil menyampaikan kisah tentang perjuangan sebuah sekolah sederhana untuk anak-anak miskin agar bisa terus hidup dan mendidik generasi penerus dengan akhlak yang mulia. Segelintir guru yang bekerja keras pantang putus asa dalam keterbatasan. Beberapa orang murid miskin yang tetap bersemangat tinggi dalam belajar. Bisa menginspirasi banyak orang untuk memajukan lebih tinggi lagi dunia pendidikan terutama di daerah-daerah terpencil dan untuk anak-anak miskin.

Salut.


[ tiga setengah bintang, dibulatkan jadi empat bintang :) ]



Laskar Pelangi


Sutradara : Riri Riza
Produser: Mira Lesmana
Skenario: Salman Aristo
Pemain: Cut Mini, Ikranegara, Tora Sudiro, dll.
Tahun: 2008
Masa Putar: 125 menit

Memfilmkan sebuah buku yang telanjur populer tentu merupakan beban tersendiri bagi sutradara dan penulis skenarionya. Ada semacam tuntutan untuk bersetia dengan yang tertulis di buku. Sebab, jika berani menyimpang salah-salah akan menuai kecaman dan protes dari para pembaca fanatiknya.

Novel laris karya Andrea Hirata, Laskar Pelangi, apa mau dikata adalah karya yang dua tahun belakangan ini telah berhasil meraih perhatian publik pembaca kita. Terbukti dengan penjualannya yang konon mencapai 1 juta eksemplar. Sebuah angka langka bagi penjualan buku fiksi lokal. Sukses tersebut tampaknya akan terus berlanjut dengan pembuatan filmnya yang beredar secara serentak hari ini (25/9) di seluruh Indonesia.

Lewat kolaborasi ciamik Riri Riza (sutradara) dan Salman Aristo (penulis skenario) jadilah Laskar Pelangi sebuah tontonan yang memikat justru berkat keberanian mereka “berselingkuh” pada novelnya atas seizin Andrea Hirata yang pada sebuah kesempatan pernah berujar, bahwa ia tak akan mencampuri pembuatan filmnya, sebab novel dan film adalah dua media yang berbeda, masing-masing memiliki keunikan sendiri.

Keberanian duet ini untuk tidak bersetia kepada naskah asli novelnya, justru telah membuat film tersebut lebih manusiawi. Mereka berhasil menutupi “lubang-lubang” pada bukunya. Misalnya, dengan menghilangkan beberapa adegan “tidak logis” di bukunya atau menghadirkan tokoh lain yang tidak ada di buku : Mahmud dan Bakri.

Kemunculan karakter Pak Mahmud (Tora Sudiro) dan Bakri yang tidak ada di buku, cukup menghidupkan film. Kisah Mahmud, guru SD PN Timah dalam upayanya menjerat hati Ibu Muslimah (Cut Mini) menjadi hiburan tersendiri. Siasat yang cukup berhasil untuk mencuatkan sisi lain Ibu Muslimah.

Tokoh Bakri yang materialistis sekaligus realistis adalah antagonis kecil yang dihadap-hadapkan dengan sosok idealis Ibu Muslimah, anak didik Pak Harfan (Ikranegara), sang kepala sekolah SD Muhammadiyah Gantong yang sampai akhir hayatnya mengabdikan diri pada sekolah miskin yang nyaris ditutup karena ketiadaan murid itu.

Film dibuka dengan narasi Ikal dewasa (Lukman Sardi) yang tengah pulang kampung guna mewartakan kabar gembira keberhasilan dirinya memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi master di Universitas Sorbonne, Prancis. Lewat narasinya, kita kemudian dilempar secara kilas balik ke masa kecil Ikal bersama kesepuluh orang temannya di SD kampung yang reyot dan mirip kandang kambing itu. Oleh Ibunda Guru mereka, Ibu Muslimah, kesebelas bocah dekil dan kumal ini (kecuali Flo yang pindahan dari SD PN Timah) diberi nama Laskar Pelangi.

Lalu adegan pertama yang menyentuh hati muncul di layar: Lintang, anak pesisir yang kelak jadi murid paling pandai, mengayuh sepeda menuju kelas barunya di Gantong. Ia menjadi murid pertama yang hadir di sekolah pada tahun ajaran baru 1974 itu. Tak lama kemudian, Ibu Muslimah tiba–juga dengan bersepeda–dan menghampiri Lintang. Terjadilah dialog sederhana dalam bahasa dan dialek Melayu yang membuat mata saya basah (Apa dialognya? Silakan nonton filmnya). Tapi mungkin juga ekspresi polos Lintang itu turut menebalkan keharuan.

Selanjutnya, film mengalir dengan sebagian besar memuat adegan murid-murid Belitong yang lugu namun penuh semangat menuntut ilmu. Dalam segala keterbatasan mereka tetap berusaha ceria. Tak lupa mata kita juga dimajakan sejenak oleh pemandangan indah sebuah pantai yang penuh bebatuan raksasa tempat untuk pertama kalinya mereka menatap pelangi.

Secara umum akting bocah-bocah itu lumayan natural. Tidak semuanya kebagian peran utama.Tiga yang menonjol adalah Ikal, Lintang, dan Mahar. Dan dari ketiganya, bintangnya adalah Mahar, si seniman yang selalu membawa radio transistor ke mana-mana dengan mengalungkannya di leher.

Akhirnya film ditutup dengan satu lagi adegan mengharukan. Paling mengharukan bagi saya, sama ketika membaca bukunya: Lintang berpamitan kepada teman-teman dan gurunya, memberitahukan bahwa untuk seterusnya ia tak akan pernah datang lagi ke sekolah itu karena ayahnya hilang ditelan ombak lautan saat pergi menjala ikan. Sebagai anak lelaki sulung di keluarganya, Lintang kini harus mengambilalih tanggungjawab menghidupi ketiga orang adik perempuannya. Ya, si murid yang lima tahun lalu menjadi murid paling pertama tiba di sekolah, kini harus menjadi murid paling pertama yang meninggalkan sekolah. Kemiskinan orang tuanya telah menutup pintu kesempatan mengecap pendidikan setinggi-tingginya seperti yang diharapkan ayahnya. Gambaran yang teramat ironis di salah satu pulau paling kaya di negeri ini.

Dan seraya diiringi lantunan vokal Giring Nidji yang menyanyikan soundtrack “Laskar Pelangi”, saya keluar gedung bioskop dengan air mata yang masih belum mengering. ***

Film Horor: Gua Nggak Takut Kok... Bener. Aneh. Emang Aneh. Napa Emang. Sinting.

kontributor: nahsi koto khan

Pernah membayangkan Riri Riza menenteng piala citra ke mana-mana? Dengan tingkahnya yang setengah kaku, setengah lucu, dia bertanya pada banyak orang, “Kalau mau mengembaliin piala ini ke mana, ya?” Dan pertanyaan itu terjawab ketika Gus Dur setengah kesel dan mengumpat mengatakan, “Piala kok dikembalikan. Gitu aja kok repot.”

Pada sebuah waktu dan tempat yang lain, Tukul ternyata juga merupakan masterpiece, orang Indonesia terpopuler dengan kata “puas, puas, puas…” nya. Lalu Maria Eva dengan gamblang dan vulgar bercerita teknik mengambil film di kamera handphone.

Lalu ada hantu yang berniat menakut-nakuti orang dengan menjatuhkan kedua biji matanya lalu berjalan terantuk-antuk. Atau mau lihat hantu jeruk purut dengan kepala dan badan terpisah itu menggoda cewek sambil terkentut-kentut?


Membayangkan itu semua mungkin semacam lelucon yang bisa membuat kita terpingkal-pingkal. Dan itu bisa Anda temukan dalam film komedi-horor dengan judul Film Horor. Konon pelem ini mengadopsi Scary Movie dengan memparodikan beberapa adegan film dan ternyata lebih banyak personil, sosok atau orang tertentu. Tak sampai di situ, konon produsernya juga mengangkut “tukang” dari luar sana untuk memoles pelem ini. Dan itu lumayam menjadi sorotan sebelum pelem ini bisa saya tonton dalam keping VCD dengan harga tiga ribu doang.

Ternyata setelah menonton ini saya merasa tak mendapat kebaruan yang berarti baik dalam sound effeck atau teknik gambar dan sebagainya, sebagaimana yang digembar-gemborkan. Entah saya nyang bodoh mungkin. Sama saja. Ada hantu, cewek nangis, adegan-adegan setengah mesum dan canggung (ntar ndak boleh tayang kalo terlalu ‘seru’. Resikonya dicekal, kan?), gelap ala Nayato dan melulu malam juga mewarnai adegan, cerita di kampus dengan tokoh-tokoh bermobil dan tak ada masalah dengan uang, ajep-ajep dan semacamnya. Gitu-gitu doanglah. Gambaran umum di banyak film dan sinetron di negeri ini dan tentu amat berbeda dengan dunia aslinya.

Saya mengajak Anda berpikir sejenak tentang ini. Apa benar sudah sebegitu mapannya mahasiswa kita? Ke kampus tanpa tentengan kecuali tas buat gaya-gayaan. Mungkin benar juga. Seperti itulah gambaran anak muda sekarang. Merdeka, bebas, kantong tebal dengan kepala yang kosong. Meski sebagian besar orang tak merasakan dunia itu. Setidaknya dengan menonton ini orang-orang bisa bermimpi sewaktu-waktu bisa hidup seperti itu (sebagaimana imaji Gus Muh dulu, ketika mahasiswa dapat cewek kaya, cantik dan baik hati. GUSMUH: KOTO, AWAS LU YA…!!!). Tapi hidup kan bukan sinetron sebagaimana Jibril turun di malam 17 ramadhan dan sibuk melinting ganja yang jauh-jauh ditenteng dari Aceh sana bukan, Gus Muh?

Kembali ke… pelem.

Ada upaya pembalikan fakta (bahasa kerennya tanya aja si Jejen) dalam film ini, di mana hantu bukan melulu makluk mengerikan tetapi juga makhluk yang konyol, bisa salah dan kesepian. Lihatlah Hantu Jeruk Purut yang kesulitan dgn kepalanya yang suka menggelinding dan ia tak punya teman. Atau tengok misalnya hantu yang berdiam di WC kampus diam-diam belajar memoles bibir dengan gincu. Biar modern ya, Ntuh? Atau tengok juga misalnya para Suster Ngesot yang tergila-gila sama dangdut (bikin tim cerlider aja Mbak!).

Yup! Para hantu berkumpul. Tapi lebih banyak menjadi pecundang. Malangnya dirimu duhai para Hantu.. ((H)an (Tu)Ismanto termasuk malang gak ya?

Tetapi bagaimana pun upaya memparodikan ini, kesan membikin pelem horor (hantu-hantuan) tak bisa ditepis. Sejak awal kita disuguhi keremangan malam, musik yang menggetarkan jiwa (bukan lagu Tompi lo), pekikan-pekikan dan kilatan-kilatan cahaya. Wah, kalau yang beginian mah ndak usah mengimpor ahli dari Holiwood segala. Nayato punya tim khusus tuh kayaknya.

Temanku ngamuk-ngamuk karena adegannya selalu malam dan malam. Kalau pun ada adegan siang, ya itu tadi, untuk memperlihatkan betapa konyolnya duplikan Riri Riza, Tukul, Maria Eva atau Cut Memey yang tiba-tiba begitu genit dan menggemaskan. Atau sekedar melihat aksi Feri Irawan (BENAR NGGAK NAMA INI KOTO, ATAU INGATANMU PAYAH—pemutar pelem yg galak!), seorang komandan muda yang suka bergaya di depan kamera dengan kepala yang kosong tapi suka mengoleksi barang bukti yang merangkak di garis batas polisi yang dipajang berseliweran. Nyindir pak polisi kita nih? (buat pak polisi: bukan menghasut lo pak, bener lo. Ini lebih dari sekedar sindiran LA Light lo yang bilangin Polisi (suka) tidur dan rokok nyari untung doang pak. Tapi ini tak hanya menghina kerja polisi dan isi otaknya tapi bakat dan tingkahnya juga ditiru eh, dijelek-jelekin di pelem ini. Masa pak polisi berkumis mondar-mandir terus di depan kamera kerjaannya).

Tapi adegan Feri ini lumayam asyik. Polisi ganteng yang cool beneran.

Jalinan cerita yang rumit juga menjadikan pelem ini bukan sekedar hiburan. Temanya lumayan berat dan dengan penyelesaian yang khas kita, terburu-buru. Jika di Scary Movie kita diantar pada lelucon-lelucon dan adegan konyol tanpa harus berkerut, sebenarnya di pelem ini tak melulu kita dapatkan ini. Porsi hantu sangat besar dalam pelem ini dan itu yang dijual. Bayangkan nyaris seluruh jenis hantu populer (yang terkenal maksudnya), diundang main. Aku jadi ingat Si Manis, dia gak diajak. Kalah sama hantu-hantu jenis baru. Kayak bintang pelem aja ya. Semua hantu ngumpul!

Upaya menampilkan sisi komedi dalam ketegangan ini memang patut diacungi jempol. Meski pun tidak sepenuhnya dianggap berhasil saya pikir upaya ke jalan itu sudah ada. Sebab bagaimana pun memparodikan dagelan umum, karakter dan semacamnya cukup menjual di sini, apalagi menghina fisik kan? Ada beberapa adegan film yang dicomot dan membuat kita tergelak juga. Heart, Ekskul, pelem esek-esek Maria Eva yang paling kentara. Tapi parodi semacam ini mungkin bagi pihak lain sangat menghina. Saya tidak tahu tuh reaksi Riri Riza asli jika tau dirinya menjadi tolol begitu (aslinya tolol ndak sih?), atau keluarga pasangan Maria Eva di pelem ehm-ehm itu menyaksikan adegan film semacam itu.

Maksudku, bisa ndak ya kita menyajikan pelem tanpa ada hujatan-hujatan yang memojokkan personal tertentu. Full kreativitas, gitu. Tapi memparodikan hantu mungkin sudah waktunya. Bukankah trend humor memang sedang laku? Dan hantu saya pikir juga tidak mau ketinggalan.

Tapi begitulah, kita memang tidak bisa memuji banyak untuk pelem kita apalagi nyangkut jalan cerita dan akting para pemainnya. Rada-rada gimana… gitu!

Jadi kalo orang hamil, lemah jantung & sakit hati, pikir dulu deh sebelum nonton pelem ini. Sumpah! Nggak seremmmmmmmmm. Lho.

FILM HOROR (2007)
Produser : Shankar Rs B.sc, lah
Produksi : Indika Entertainment dong
Pemain:Angie Vigin, Sheila Marcia, Andhika Gumilang, Reza Rahadian, Cut Memey, Frry Irawan, dan seluruh properti hantu.
Sutradara : Toto Hoedi

Stardust


Sutradara: Matthew Vaughn
Skenario: Jane Goldman & Matthew Vaughn
Pemain: Claire Danes, Charlie Cox, Michelle Pfieffer, Robert De Niro, dll.
Masa putar: 127 menit
Tahun: 2007


Terus terang, saya menonton film ini dengan sedikit apriori bahwa pasti deh film fantasi nggak jauh-jauh dari pameran efek visual, dongeng, dan cerita hitam putih tentang si baik yang mengalahkan si jahat. Kalau saja tak ada proyek nonton bareng Kubugil and friends, mungkin saya tidak akan pernah tertarik menonton film ini. Saya bukan penggemar film-film fantasi. Apalagi saya juga belum membaca buku karya Neil Gaiman ini. Biasanya sih saya mendahulukan membaca bukunya sebelum menyaksikan filmnya.

Saya tahu di film ini saya akan menyaksikan pameran efek visual seperti lazim terdapat dalam film-film fantasi. Saya juga sudah mengira bahwa saya akan mendapati banyak adegan sihir dan pertarungan. Tetapi bahwa ternyata filmnya sungguh keren, itu benar-benar di luar dugaan saya.

Awalnya saya masih menontonnya setengah hati. Saya benar-benar menonton begitu saja tanpa terlebih dulu memperhatikan para pemainnya. Padahal biasanya siapa yang main itu kerap menjadi pertimbangan utama saya dalam menonton film. Jadi saya pantas terkejut saat tiba-tiba aktris gaek yang masih saja cantik dan seksi, Michelle Pfeiffer, muncul di layar sebagai penyihir yang mendamba memiliki kecantikan abadi (Lamia). Oh, barulah setelah itu saya melotot seraya menegakkan tubuh saya yang tadinya menyender malas di sofa.

Kehadiran Michelle bukan saja berhasil mencuri perhatian saya namun juga membuat saya jadi membaca deretan pemain yang tercantum di sampul DVD-nya (bajakan dong hehehe). Oh..oh...kiranya ada juga Robert De Niro (Kapten Shakespeare) dan Claire Danes (Yvaine) serta oh..Peter O'Toole (King). Maka, kini perhatian saya bukan cuma tercuri tetapi telah terebut sepenuhnya.

Saya tidak akan mengisahkan ringkasan filmnya supaya tidak mengurangi keasyikan Anda menonton nanti. Tetapi percayalah, Anda akan mendapatkan hiburan yang sebenarnya dengan menonton film ini.
Dua jempol untuk efek visual dan make up-nya yang telah sukses menyulap Michelle menjadi nenek berumur 4 abad. Soal aktingnya, ya tentu tidak perlu disangsikan lagi. Michelle memang keren.

Yang juga tak kalah keren pastilah bintang favorit saya: Robert De Niro. Ia sukses memerankan tokoh Kapten Shakespeare yang gay (Salah satu dialognya: "Ingat Nak, reputasi itu dibangun sepanjang hidupmu, tetapi hanya butuh 1 detik untuk meruntuhkannya").

Adegan paling keren adalah saat kapal perompak Kapten Shakespeare berhasil mendarat mulus di atas permukaan laut setelah mengarungi angkasa raya. Adegan tersebut terlihat demikian riil. Yah, seharusnya sih gak perlu heran secara Hollywood gitu loh. Apa sih yang ga bisa dilakukan pabrik film itu?

Ceritanya sendiri sih gak istimewa. Biasa deh layaknya dongeng fantasi dengan sisipan pesan moral tentang pentingnya menjadi orang baik. Ya saya rasa hanya tinggal dongeng-dongeng itu saja yang masih meyakini bahwa pada akhirnya kebaikan akan menang melawan kejahatan.

Sudahlah, pokoknya nggak rugi deh nonton "Stardust". Buat yang belum nonton, tontonlah. Buat yang ingin nonton, selamat menonton. Buat yang sudah nonton, sepakat kan dengan saya bahwa film ini memang keren?


oleh : Endah Sulwesi