Badut yang Seneng Khotbah

kontributor: pramuka lazuardi

Siapa bilang cari uang di Jakarta susah? Jakarta gudangnya duit!

Boleh jadi satu paket pertanyaan lengkap langsung dengan jawabannya tersebut begitu mudah keluar dari mulut orang yang ekonominya mapan. Sementara di lain pihak; si orang miskin yang muncul hanya kalimat datar yang berat, susah cari uang di Jakarta.

Bagi orang yang terhimpit hutang dan kebutuhan sehari-hari, bukan tidak mungkin mengambil jalan pintas yang picik, apalagi jika seorang perempuan berwajah cantik dan fisik bagus. Pilihannya jelas: jadi keple! (aku pake kata “keple” biar bangsa Indonesia tahu bahwa di Jogja ada kata lain yang lebih estetik selain kata “jablay”).

Tapi bagi pasangan suami istri Deddy dan Menul semua jalan pintas picik diatasi dengan iman dan taqwa mereka (Wah… kaya pelem Oma Irama). Deddy adalah bapak dari seorang anak laki-laki yang bekerja sebagai badut di sebuah tempat hiburan. Kadangkala ada juga kerjaan membadut pada pesta-pesta orang kaya (nah, ini bedanya sama Oma: kalo Oma Irama kan gak pernah memainkan karakter tokoh yang menjadi badut, walaupun kalau dipikir-pikir, makin tua Oma juga makin kaya badut).

Begitu susahnya keluarga itu hingga untuk membelikan buah apel yang diinginkan anaknya tak jua kesampaian. Buah surga itu sempat dicicipi Bimo dari seorang ibu dari dalam mobil yang marah akibat Bimo menyeberang sembarangan dan hampir terjadi celaka. Namun Bimo menyikapinya dengan menganggap Ibu tersebut adalah wujud terkabulnya doa untuk makan buah apel. Padahal apel yang dilempar itu sudah tergerigit si Ibu dan jatuh ke tanah.

Saya menonton film ini sudah lama sekali, sekira ketika saya masih sekolah di kota kecil Banjarnegara. Pada waktu itu saya menyaksikannya siang hari di televisi. Beberapa bulan lalu saya pergi ke glodok untuk mencari keping cakram lagu-lagu format MP3 dan beberapa film luar. Saat itu terpampang lumayan banyak film indonesia seperti film-film Rhoma Irama yang diborong teman saya (siapa lagi orangnya kalau bukan Gus Muh Irama).

Ketika terselip sampul film ini yang ada dalam pikiran saya adalah harus membelinya. Maka sepulangnya dari glodok, saya menenteng tas kresek berisi cakram film badut-badut kota dan beberapa cakram berisi lagu. Film ini baru kutonton lagi semalam, meski sudah lama kubeli. Ada perasaan bahwa kita bisa belajar banyak tentang kehidupan dari tontonan ini.

Jika pernah menyaksikan film Life is Beautiful yang dibintangi Roberto Benigni, maka saya seperti melihat kesamaan bagaimana seorang ayah selalu berusaha untuk menyenangkan anaknya dalam keadaan yang susah sekalipun (Nah, di sini pula bedanya dengan Oma. Oma jarang banget kan memerankan diri jadi ayah. Bernainya kalo main film cuma pacaran doang. Kagak berani tanggung jawab. Pas udah tua juga gitu. Cuma ada kemajuan dikit sih, gak cuma berani pacaran doang, tapi dah meningkat berani kawin. Kawin siri maksudnya. Hehehe….).

Salah satu adegan yang menceritakan sakitnya Bimo misalnya, Deddy yang tak mampu membawa anaknya berobat menyuruh Menul menyiapkan bawang merah dan minyak lentik. Kemudian Deddy bertingkah laiknya dukun sambil mengucap mantra dan mengusapkan minyak lentik yang dicampur bawang merah ke sekujur dada dan punggung Bimo. Sebuah usaha membuat anaknya tertawa kala kondisi tak mendukung untuk tertawa, membuat saya belajar menertawakan hidup itu sendiri.

Pesan moral (waduh, kok jadi kaya Oma lagi?) yang digelontorkan dalam perbincangan tokoh-tokohnya sangat terasa sederhana seperti biasa kala kita mendengar wejangan dari orang tua tentang baik dan buruk, sebab-akibat, maupun tentang laku proses dalam mencapai sesuatu. Salah satunya tentang judi, diceritakan bahwa teman sesama badut yang gemar memasang lotere dan berkali-kali kalah (bener kan kaya Oma? Judi… jreng…jreng… meracuni keimanan….).

Nasihat dari temannya, Tarjo, bahwa dalam judi menang belum tentu namun kalah itu pasti tak dihiraukan oleh si badut yang suka judi ini. Suatu ketika dia menang judi dan mendapat uang sekitar tigaratus juta rupiah, segera dia berfoya-foya, beli mobil mewah, memelihara perempuan cantik yang ternyata dari lokalisasi. Tak sampai 3 bulan seluruh hartanya ludes, dan kembali menjadi pengangguran.

Terselip juga pesan satire tentang kenyataan begitu banyak sarjana yang ikut menjadi badut karena begitu sulitnya mereka mendapat kerja. “Biar badut tapi ‘kan sarjana.…”

Kalimat itu terlontar masih dari teman Deddy yang gemar judi tadi. Setelah Deddy sukses dengan bisnis restorannya, datanglah si teman penjudi ini minta kerjaan dan yang tersisa tinggal menjadi tukang parkir. Segera dia menggerutu kepada Deddy cs kenapa tega memberi pekerjaan tukang parkir kepada teman sendiri. Hal itu diceletuki Tarjo, “Biar tukang parkir tapi kan sarjana.…”

Kesenjangan antara si kaya dan si miskin berulangkali terselip dalam jalan ceritanya. Inilah wajah Indonesia yang sebenarnya, tak cuma dalam film ini. Realita yang bisa ditemukan secara kasat mata. Saya terkadang jadi berpikir bagaimana jika keadaan tersebut berbalik, si kaya jadi miskin dan si miskin jadi kaya.

Entahlah, toh semua hanya bagian dari hidup yang tidak langgeng seperti yang diungkapkan beberapa kali dalam dialog Deddy dan Tarjo. Kita harus berpikir dan bertindak untuk mencapai apa yang kita mau, untuk kehidupan yang lebih baik. Jerih payah, kejujuran, dan kesabaran merupakan pesan moral yang paling ditonjolkan dalam film yang mendapat penghargaan khusus pada Forum Festival Asia Pasifik di Sydney Australia.

Andaikata banyak pejabat, orang berpengaruh, serta orang-orang kaya menonton film ini dan tak cuma menonton film indonesia yang kebanyakan mengangkat roman remaja kaya dan serba instant, mungkin Indonesia tak akan seperti sekarang ini, begitu banyak persoalan yang berakar dari rendahnya moralitas orang-orang kalangan atas yang mampu mengubah kondisi kehidupan masyarakat. Yah…banyak yang memakai topeng untuk menutupi wajah asli mereka, seperti para badut.

Andaikata semua orang menonton film ini. Sayangnya mereka lebih suka nonton film Begadang. Makanya, bener kata Gus Muh Irama: Jangan Banyak (Nonton) Begadang. Nonton Badut wae!

NB: Zen…tulisanku ketoke serius banget mbangane sing liyane, arep diedit po ora terserah kowe….,kok serius yo…kowe ra ngomong sihhh, hehehe…. (tulisan ini dikirim ke redaktur nonton-film.blogspot.com. sengaja dipasang. Biar agak lucu. Soalnya reviewnya serus banget sih….)

0 comments: