Tak Ingin (Menonton) Lagi

kontributor: agung de ha

Sebuah cerita kecil dari manusia yang dulu pernah jadi bocah. Cerita tentang sebuah film yang menyeramkan: film PKI! Begitu kami dulu menyebutnya. Film yang memiliki daya “magnetis” luar biasa. Menarik berjuta-juta pasang mata dari Sabang hingga Merauke untuk memelotinya.

Selalu saja saya (mungkin juga Anda) ingat sebuah adegan di mana bibir tebal menghisap sebatang kretek di ruangan temaram dan suara berat terdengar dari bibir yang dishoot memenuhi layar.

“Negara dalam keadaan hamil tua” Kata-kata itu terlontar beringan dengan hembusan asap kretek dari si pemilik bibir tebal. Sosok itu (Aidit) mondar-mandir di ruang temaram. Di atasnya lampu menggantung. Ruangan penuh asap. Beberapa orang duduk menghadap meja dengan rokok di bibirnya. Sementara di luar, suara burung hantu terdengar. Fragmen itu melekat di ingatan hingga kini.

Apalagi jika sampai pada adegan penyiksaan. “Darah itu merah Jendral!” diiringi adegan sayatan silet seorang perempuan di pipi mulus para Jendral. Dan saya, akan segera bersiap menutup muka dengan kesepuluh jari yang direngganggkan. Bibir, digigit. Tubuh merapat ke ketiak emak.

Esok hari, 1 Oktober, di sekolah upacara bendera menunggu. Teman-teman bersiap berdiri tegap. Berbaris rapi dengan seragam baju putih dan celana pendek merah. Pagi itu, semua menundukan kepala. Sebuah peringatan atas matinya 6 Jendral dan 1 perwira Angkatan Darat, 1965 lalu.

Kisah setelah upacara akan tiba pada sebuah percakapan kecil dan renungan kecil. “Neng tivi berwarna getihe medeni loh,” kata seorang karib di pelataran gedung SD inpres, kala itu. Saya terdiam. Emak belum punya tv. Malam sebelum upacara, kami sekeluarga nonton film G 30 S/PKI di tempat Pak De’. Itu saja tv-nya masih hitam putih dengan tenaga accu. Tak ada lampu neon, kecuali lampu teplok di sudut ruangan.

“Neng tivi berwarna getihe medeni (di tv berwarna darahnya menakutkan),” kata seorang karib di pelataran gedung SD inpres kala itu. Saya terdiam. Emak belum punya tv. Kami sekeluarga nonton film G 30 S/PKI di tempat Pak De’. Itu saja tv-nya masih hitam putih dengan tenaga accu. Di tv hitam putih saja menakutkan, apalagi berwarna, batinku.

Film itu, bagi saya kala itu, memberi kesimpulan: PKI itu kejam dan Pak Harto itu pahlawan. Kesimpulan itu lahir dari mulut yang penuh dengan bakwan di dalamnya. Kesimpulan yang terlontar dari bibir mengkilat oleh minyak dari bakwan yang dikunyaha. Dari pemilik kaki berdebu, dengan kaos kaki kumal, sepatu butut, baju putih penuh noda, dan celana pendek merah yang lupa resletingnya ditutup.

Sepuluh tahun selepas Sekolah Dasar, kesimpulan yang pernah kuamini runtuh. Kesimpulan baru muncul, tak ada pahlawan tak ada pecundang dalam peristiwa yang digarap menjadi film apik oleh alm. Arifin C. Noor itu.

Pak Harto yang dulu saya sebut sebagai pahlawan di kemudian hari ketahuan boroknya. PKI yang dulu dikatakan pemberontak, kini diketahui tak sepenuhnya salah. Mereka dipelintir oleh sejumlah kekuatan lain. Tak ada dalang tunggal, kata Aswi Warman Adam, dalam gerakan 30 September 1965.

Pak Harto yang dulu, di film itu, tampak gagah dengan kaca mata hitam berpidato di depan penggalian jenasah pahlawan revolusi, kini konon kabarnya sakit. Beberapa kali, bahkan, diundang ke pengadilan untuk diperiksa korupsi.

Mendengar nama DN. Aidit yang dulu seperti mendengar kata gendruwo, kini namanya malah disebut-sebut lantang. Bahkan anaknya terang-terangan bikin buku tentang bapaknya. Dan Pak Arifin, tentu saja, kini sudah sampai di akhirat.

Menyaksikan film G-30-S PKI di hari ini, barangkali, akan mengembalikan ingatan pada beratus-ratus kenangan. Tentang kekejian manusia, kemenangan, pahlawan, pecundang hingga listrik dan teknologi.

Barangkali juga sebuah tragedi kemanusiaan paling parah setelah Aceh dan Timor Leste. Empat ribu tewas di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Tetapi setelah itu derap pembangunan terjadi.

Sebuah film, sebagaimana G 30 S/PKI menjadi titik balik manusia. Penanda atas kemenangan dan kekalahan manusia. Pembangunan dan pembantian. Kengerian dan rasa penasaran.

Dari situ saya sadar: film yang baik, ternyata, film yang mampu menggerakan. Saya ingin menonton lagi film itu. Tapi ingin lagi ada pembataian dan pertikaian. Juga trauma itu.

0 comments: