Dari Pesta Kembang Seruni

kontributor: agung de ha

Menyaksikan Curses of The Golden Flower sama halnya menyibak isi dibalik tirai bambu Cina. Hamparan warna emas dari perabot istana hingga kostum pada film itu laksana membawa kabar bahwa Cina adalah negeri semilyar manusia yang melejit menuju era keemasannya.

Sebuah pekabaran baru dari Zhang Yimo, berdurasi 120 menit lahir di akhir 2006. Sutradara yang terobsesi mengalahkan Hollywood itu menampilkan pelanggengan kekuasaan. Untuk melanggengkannya, sang peguasa mengamini taktik licik Machiavelli sebagai strategi terbaik.

Sederhananya, untuk mengamankan kekuasaan semua aral ditebas tuntas sebelum berubah menjadi penindas. Rawe-rawe rantas malang-malang putung, begitu Machevellian langgam Jawa bilang. Rawe-rawe itu meski datang dari tubuh sendiri, dari dalam keluarga, dan orang terdekat, tetap ditebas sampai tuntas. Orang Jawa menyebut tumpes kelor.

Dalam logika kekuasaan Machiavelli, tumpas kelor hukumnya halal. Pertimbangan perasaan, cinta, dan keluarga, tak berlaku demi menghidupi semilyar rakyat, pasukan segelar sepapan, tradisi, dan kedaulatan negeri.

Toh akhirnya, jika tiba waktunya, kekuasaan itu akan dilengserkan dengan cara baik-baik. “Jangan ambil yang belum menjadi hakmu,” kata Kaisar (Cho Yun Fat) kepada Putera Mahkota Hun. Di babak lain, Kaisar menyampaikan niatnya kepada pangeran Han perihal penggantinya kelak jika Kaisar lengser keprabon. Ketika ditanya seperti itu, putera mahkota menjawab, “Bukan saya yang pantas, tapi kakak”.

Ada semacam perasaan legowo terungkap dalam ucapan Han. Han tak ambisius berkuasa. Ia sadar memimpin bukan seperti membeli bak pao. Memimpin dan berkuasa di atas negeri dengan berjuta kepala di dalamnya butuh orang yang telah mengalami beribu-ribu tempaan mental dan fisik.

Di adegan lain, Curses of the Golden Flower menampilkan bagaimana tradisi “demokrasi” dibangun. Kaisar menggelar makan bersama sekeluarga. Di jamuan makan, satu persatu anak dan permaisuri dipersilakan mengajukan keinginannya. Kaisar dengan mimik serius mendengar penuh seksama tiap keinginan anggota keluarganya.

Meski sebenarnya sang Kaisar, pemimpin negara dan keluarga itu, sudah memiliki jawaban tersendiri. Seperti pangeran bontotnya yang minta ditugaskan ke perbatasan Utara. Kaisar menolak. Anak kecil yang miskin tempaan pengalaman itu belum layak memimpin.

Ini sama saja dengan sebuah demokrasi terpimpin yang dulu pernah dipraktikan di Indonesia semasa Soekarno. Tapi di Indonesia demokrasi macam itu gagal dipraktikan. Hanya sang Kaisar yang berhasil memerankannya dengan baik.

Mungkin otoriterian model itu, bagi Kaisar, tak bisa dikategorikan sebagai pengkhianatan atas nilai demokrasi. Tapi tindakannya bisa jadi sebentuk metode mendapatkan kebenaran fungsional demokrasi. Kebenaran filsafati atas demokrasi, bagi Kaisar, bisa jadi direngkuh setelah kebenaran fungsional terlampaui: mendengarkan dengan baik tiap suara manusia, sekecil apapun ia.

Apa sebab keluarga (istana) menjadi tumpu demokrasi? Keluarga, tumpuan kekuasaan dan cinta. Keduanya bertumpang tindih. Bisa menyangga, sebaliknya merongrong kekuasaan. Sama saja peran permaisuri bagi seorang Kaisar dalam sebuah tata pemerintahan. Permaisuri merupa dalam dualisme hidden power: pembentuk sekaligus penghancur. Tapi kedua kekuatan tersembunyi bisa dijinakkan dengan tangan besi. Tujuannya jelas, demi semilyar rakyat, pasukan segelar sepapan, tradisi, dan kedaulatan.

Hidden power lain dalam kekuasaan Kaisar lahir dari masa lalu. Masa lalu, bagian dari citra dan wibawa. Bagi kaisar, sejarah kelam masa lalu hanya bisa dijinakkan bila aktor-aktor yang terlibat diberi peran lebih atau ditiadakan dalam panggung sejarah. Tapi meniadakan aktor masa lalu (yang itu menentukan alur sejarah Kaisar) justru jadi bumerang. Masa lalu, hidden power itu, penghancur kedua setelah anak dan permaisuri itu. Ini penting sebab masa lalu bisa bermetamorfosa menjadi penghancur maha dasyat!

Tapi dari tangan Zhang Yimo, Kaisar terasa manusiawi. Kaisar seperti penguasa lazim. Ia lupa bahwa meniadakan aktor lama di panggung sejarah hidupnya, sama dengan menusukan pedang pada ulu hati sendiri. Ia coba lari dari masa lalu. Tapi di situlah justru letak “kemanusiawian” Kaisar. Ia gagal “menyulap” masa lalu menjadi kekuatan tersembunyi.

Dari Zang Yimo, sekali lagi, diketahui bahwa jujur pada masa lalu lebih penting daripada bersembunyi di balik topeng kebohongan. Kebohongan pertama selalu melahirkan kebohongan-kebohongan berikutnya. Maka Sebelum kebohongan terus berlanjut, segera pemicu kebohongan ditebas!

Keterlemparan Kaisar ke kelam masa lalu terlihat jelas tatkala istri pertamanya, yang dulu diusir dan dikabarkan mati, tiba-tiba datang menuntut balas. Istri tua memang tak membawa pasukan segelar sepapan. Tapi cukup dengan datang dan mengancam akan membeberkan masa lalunya. Inilah penghancur terkuat yang luput dari mata jeli pemimpin sekaliber Kaisar. Kaisar terpaksa menerjunkan pasukan terbaik hanya untuk membereskan slilit di taring kekuasaanya.

Slilit lain muncul dari pembantu Kaisar. Orang istana itu sekalipun dekat dan tampak loyal justru yang berpotensi jadi slilit di taring kekuasaan. Tabib, pembantu setia Kaisar di film itu, meski loyal tapi dia mau diajak berbuat jahat. Pembantu loyal yang mau diajak jahat penguasa adalah orang yang berpotensi berkhianat. Kaisar punya jawaban: menyingkirkannya dari istana dengan eufimisme memindahkantugaskan sebagai imbal balas jasa. Meski tampak diberi keleluasaan bertindak, geraknya selalu dibayangi seribu mata telik sandi.

Seperti juga tabib dalam film itu yang dipindahkan memimpin provinsi baru di perbatasan utara dengan Mongolia, musuh bebuyutan Cina di masa kuno. Tabib ini yang membantu Kaisar memberikan ramuan penghilang kesadaran kepada permaisuri. Tapi ujungnya nyawa tabib berakhir di pedang para prajurit pilihan, penjaga Kaisar.

Inilah film yang mencerminkan parade mempertahankan kekuasaan. Juga percintaan tabu di kalangan isatana hingga pemberontakan tentara yang disusun rapi. Tapi Kaisar yang lama memimpin tak gagap menghadapi “gairah terlarang” di kalangan isatana dan para pemberontak di sekitarnya. Meski yang selingkuh istrinya sendiri. Meski yang memberontak anaknya sendiri, Pangeran Hun yang digadang menggantikannya kelak jika wafat.

Anaknya memang tentara cerdas. Tapi tentara butuh senjata, tentara juga bergantung pada pemimpin, tentara pun butuh pengalaman perang. Seperti juga dalam film ini, ketika pangeran melakukan pemberontakan bersama ibunya (permaisuri) menjelang pesta bunga seruni. Beribu-ribu parajurit di bawah pimpinan pangeran kandas di tentara berpanah Kaisar punya. Tentara Kaisar yang ditempa banyak pengalaman perang jauh lebih unggul daripada tentara Pangeran Hun yang minim pengalaman.

Tentara berpanah, pimpinan Kaisar, lebih ampuh dibanding prajurit infanteri Pangeran Hun. Dengan mudah, dalam film itu, ribuan mata panah meluncur dari atap dan benteng istana menembus dada para prajurit infanteri di pelataran yang dipenuhi kembang seruni. Ribuan prajurit infanteri seperti melawan angin. Darah merah prajurit infanteri mewarnai hamparan kuning bunga seruni.

Luncuran panah dari atap dan benteng (tempat yang tinggi) istana Kaisar sama saja menyimak klaim Hua Jintao atas Jian-10. Konon menurut Cina, Jian-10 mampu menandingi F-16 Amerika Serikat. Untuk bisa bikin Jian-10, Cina menuntut ilmu sampai negeri Rusia.

Jian-10 bersesuaian dengan strategi militer modern di mana pesawat tempur menjadi senjata terampuh. Jian-10 bukan saja show air force tapi juga perhitungan taktis dan jitu militer Cina. Pilihan membuat pesawat tempur made in dalam negeri dan tak kalah canggih, tepat untuk mempertahankan wilayah Cina yang maha luas itu.

Cina tak hanya luas tapi juga dijejali dengan milyaran penduduk. Milyaran penduduk tiap hari butuh uang untuk beli gandum. Biar mie selalu tersedia di meja makan rakyat yang bermata sipit.

Dari mana uang didapat? Kerja keras masyarakat didukung dengan penyediaan lapangan kerja yang mencukupi oleh pemerintah, menjadi jawabanya. Pemerintah Hua Jintao menjawab dengan memobilisir industri massal. Padat karya ala Cina.

Memahami industri massal ala Hua Jintao, sama saja dengan mememeloti ratusan dayang (yang cantik dan seksi itu) dan ratusan peracik obat istana di Kaisar dalam Curses of the Golden Flower. Ratusan dayang dan peracik obat disiplin berkerja. Sampai tak hirau pada tabib yang berbisik pada puterinya untuk mendekati Pangeran Han.

Cina di masa kuno bertradisi bekerja keras dan berdisilipin, tak hirau pada sekeliling. Cina di hari ini melahirkan bentuk baru dalam mengelola tradisi. Orang Cina tak cukup hanya kerja keras tapi juga butuh lapangan kerja yang luas. Semilyar penduduk Cina membutuhkan semilyar pekerjaan. Cina tak tergoda dengan mesin-mesin Industri. Mereka berfokus pada industri padat karya. Sebab mesin, bagi Hua Jintao, akan mengurangi lapangan kerja. Sebab industri rumah tangga yang butuh banyak tangan lebih tepat dibanding memesinkan industri tapi malah menganggurkan rakyat sendiri.

Zhang Yimo tepat membaca gerak sejarah, akan ada dua matahari di Asia Timur. Cina akan segera menyusul Jepang, musuh bebuyutannya di era modern. Pesta keemasan Cina akan segera digelar di pelataran istana Beijing. Zhang Yimo akan segera merobek layar lebar Hollywood.

0 comments: